Jumat, 01 November 2013

Mewujudkan Kedaulatan Pangan

Mewujudkan Kedaulatan Pangan
Arif Dwi Hartanto ;   Peneliti pada Pusat Kajian Dinamika
Sistem Pembangunan (PKDSP), Universitas Brawijaya
SUARA KARYA, 31 Oktober 2013


Memang, persoalan paling kronis sektor pertanian adalah laju liberalisasi dan masih rendahnya keberpihakan pemerintah. Liberalisasi yang menggila membuat sektor pangan Indonesia se-makin tak berdaulat. Rendahnya keberpihakan kebijakan pemerintah membuat sektor pertanian semakin inefisien. Sehingga, kemandirian pangan seolah hanya pemikiran di senja esok hari.

Hempasan liberalisasi yang paling kentara adalah dilepaskannya pangan utama (beras, jagung, kedelai, gandum, gula, dan minyak goreng) yang awalnya di bawah pengawasan Bulog ke pasar. Bulog pun menjadi Perum yang berorientasi profit. Tugas Bulog yang membeli dan mengadakan produk dari petani saat musim panen secara maksimal hanya isapan jempol belaka.

Belum lagi, keberadaan perusahaan asing yang menguasai sektor pertanian. Sebagai contoh, ada beberapa pertanian pangan yang diambil alih oleh asing, terutama benih jagung, padi hibrida, dan hortikultura. Industri input pertanian hanya dipasok oleh beberapa perusahaan multinasional dengan nilai penjualan mencapai Rp 340 triliun. Selain itu, petani sangat bergantung pada industri olahan dan pedagang pangan. Bahkan, sepuluh besar MNC menguasai penjualan pangan hingga Rp 3.477 triliun.

Kebijakan impor tak kalah mengerikan. Kedengarannya memang paradoks, bahwa negara dengan bentangan yang luas dan berstatus agraris malah melakukan kebijakan impor dengan skala yang masif. Bayangkan saja, pemerintah rata-rata rela mengeluarkan kocek hingga Rp 110 trilliun untuk melakukan impor pangan. Namun, hanya sejumlah Rp 38,2 trilliun untuk membiayai pembiayaan pertanian dalam APBN. Selama ini, argumentasi yang dikemukakan hingga membuka keran impor lebar-lebar adalah inefisiensi produksi pangan dalam negeri, seperti beras.

Peliknya permasalahan sektor pertanian malah tidak dijadikan kontemplasi dalam meramu strategi pengembangan sektor ini dalam jangka panjang (long term). Yang dilakukan malah sebaliknya, instanisasi kebijakan impor yang sebenarnya irasional. Impor merupakan disinsentif bagi petani, dan menjadi lahan empuk bagi para pemburu rente untuk kemudian merubahnya menjadi keuntungan yang berlipat. Hal ini menjadikan negara kita makin tergantung pangan impor. Terbukti, ketahanan pangan kita rentan terhadap gejolak harga pangan dunia, karena 70 persen masih bergantung impor. (Limbong, 2013)

Pun demikian, kasus lonjakan kenaikan harga beras (seperti pada kasus tahun 2008, naiknya harga beras dunia yang mencapai lebih dari 800 dolar AS per ton) tidak mempunyai korelasi yang signifikan dengan kesejahteraan petani. Hal ini akibat kenaikan harga hanya dinikmati oleh pelaku pasar yang bermodal. Khususnya aktor oportunis yang memanfaatkan disparitas harga. Petani tak punya daya jika dihadapkan dengan pasar.

Sedangkan dari sisi keberpihakan kebijakan, pemerintah terkesan kurang memprioritaskan sektor pertanian. Seperti klenik seputar rendahnya subsidi pupuk, kredit untuk sektor pertanian, serta rendahnya anggaran riset bidang pertanian sudah menjadi penyakit lama. Kondisi ini kontra-produktif dengan rancangan perlunya mendorong penciptaan strategi pro growth, pro job, dan pro poor dengan jalan memberdayakan sektor pertanian.

Realitas ini tak dapat dilepaskan dari ketidakjelasan disain dan konsep kebijakan ketahanan pangan. Khususnya menyangkut kedaulatan pangan dan kemandirian petani yang belum dapat diwujudkan akibat kebijakan investasi di sektor pertanian yang banyak disunat, dialihkan ke led-export production. Sehingga, lebih dari tiga dekade terakhir petani dan pertanian menjadi anak tiri. (Khudori, 2008)

Merubah Paradigma

Kemandirian pangan dari sumber daya lokal mustahil dilakukan jika akar persoalan masih belum dibereskan. Paradigma baru juga perlu ditekankan, yakni ketahanan pangan saja tidak cukup, namun perlu kedaulatan pangan yang memerlukan politik pangan yang lebih baik.

Politik pangan kita sebenarnya dapat dikuliti menjadi dua aspek, yakni internal dan eksternal. Aspek internal kuat kaitannya dengan ketidakberdayaan petani akibat kerdilnya sarana penunjang performa mereka dalam melakukan kegiatan usaha tani. Hal ini akibat kebijakan pemerintah yang kurang berpihak. Aspek ini secara langsung berpengaruh pada ketidakberdayaan petani dalam melakukan efisiensi produksi.

Sedangkan aspek eksternal menyangkut pasar. Termasuk dalam aspek ini adalah para aktor pembawa kepentingan yang sarat akan perilaku menyimpang (moral hazard), termasuk di dalamnya adalah tangan-tangan pemerintah yang didikte oleh logika neoliberal. Karena, pasar yang melemahkan petani pada dasarnya akan tetap dilanggengkan oleh pihak swasta dan pedagang "antara" karena terlanjur keenakan menikmati margin yang tinggi (profit maximalization) hingga akan tetap menekan harga pembelian dari petani (cost minimalization). Peran lembaga parastatal pun semacam Bulog sebagai buffer stock tidak berjalan sesuai koridor.

Dengan demikian, kemandirian pangan atas pemanfaatan sumber daya lokal menjadi konsep yang sia-sia jika tidak berusaha merubah persoalan yang masih menggantung. Paradigma kedaulatan pangan perlu lebih ditekankan, karena yang dibutuhkan tak sekedar mewujudkan kemandirian pangan dari ketersediaan pangan domestik, namun juga meletakkan sektor pertanian yang tidak ditempatkan dalam arena pasar.


Yang sebenarnya harus dilakukan adalah memperbaiki persoalan yang menjadi kelemahan sektor pertanian dalam negeri. Hal ini lebih berorientasi jangka panjang dan mempunyai visi yang mulia. Sehingga, domain terbesar ada pada pemerintah dalam mewujudkan kemandirian pangan atas kemampuan sendiri. Sektor pertanian mutlak harus menjadi sektor prioritas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar