Rabu, 20 November 2013

Kiat Nonmedis untuk Dokter

Kiat Nonmedis untuk Dokter
Sigit Setyawadi  ;   Pensiunan Dokter Kandungan 
JAWA POS,  20 November 2013
  

BELUM sepekan Hari Kesehatan Nasional 12 November berlalu, dunia kedokteran mendapat kado pahit, yaitu ditangkapnya dr Ayu SpOG di Manado karena dianggap melakukan malapraktik. Menurut berita di Jawa Pos (18/11), penyebab kematian pasien berdasar visum adalah emboli udara saat operasi Caesar.

Kejadian emboli udara maupun emboli air ketuban tidak bisa diramalkan atau dicegah. Itu kasus yang sangat jarang, tetapi bisa terjadi pada siapa saja saat melahirkan normal atau operasi. Meningkatnya tekanan dalam rahim disertai terbukanya beberapa pembuluh darah bisa mengakibatkan udara atau air ketuban masuk ke pembuluh darah.

Bila udara atau ketuban tersebut nyantol di pembuluh kaki, paling ya terasa pegal-pegal karena berhentinya aliran darah di salah satu bagian kaki itu. Kalau nyantol di pembuluh otak, ya stroke. Kalau nyantol di pembuluh darah jantung, ya jantungnya berhenti seperti pada pasien dr Ayu tersebut.

Jika emboli ketuban lebih parah, akhirnya akan masuk ke paru-paru. Partikel lemak, rambut bayi, dan banyak lagi yang mikroskopis akan menyebar ke kantong-kantong udara di paru-paru dan menyumbatnya. Akibatnya, orang itu seperti tenggelam karena paru-paru tidak bisa menyerap udara lagi. Jika itu terjadi, hanya Tuhan yang bisa menyelamatkan. 

Dengan teknologi kedokteran yang ada saat ini, rasanya mustahil menolong pasien tersebut. Kalau kematian karena kasus emboli udara dan emboli air ketuban dianggap kesalahan dokter, seluruh dokter kandungan senior akan masuk penjara lantaran pernah mengalami hal itu sekali dua kali sepanjang karirnya. Bahkan, kalau saja dunia tahu hal tersebut, kita akan menjadi bahan tertawaan. Mungkin sekarang sudah!

Kebanyakan tuduhan malapraktik pada dokter disebabkan ketidakpuasan keluarga atau pasien. Ketidakpuasan itu umumnya disebabkan buruknya komunikasi dari si dokter atau tidak hati-hati menghadapi hal-hal nonmedis.

Saat saya menjalani pendidikan dokter spesialis di Unair beberapa puluh tahun lalu, guru-guru saya selalu mengingatkan hal itu. Salah satu yang harus dihindari menurut dr Lila Dewata SpOG (sekarang profesor emeritus) adalah berada di ruang tertutup hanya dengan pasien. Harus ada orang ketiga di sana, entah keluarga entah bidan. 

Bayangkan jika sedang sendiri dengan pasien, tiba-tiba pasien berteriak-teriak minta tolong entah apa maksudnya. Keluarga menyerbu masuk dan melihat si pasien dalam posisi ''tidak pantas''. Maka si dokter akan dengan mudah menjadi bahan pemerasan pihak lain.

Hal lain saya peroleh dari Prof Prajitno, yaitu jika ada pasien yang meminta keringanan biaya. Saya masih ingat kata-kata beliau, ''Git, jika ada pasien atau keluarganya minta keringanan biaya, suruh mereka membuat permohonan tertulis. Kalau tidak, jika kemudian terjadi sesuatu, itu akan dijadikan alasan mereka untuk menyalahkan kita. 'Ini buktinya kalau dokter melakukan kesalahan, dia memotong biayanya'.''

Selain itu, jika terjadi sesuatu yang buruk pada pasien, yang tidak bisa menerima biasanya keluarga yang tidak hadir di rumah sakit. Keluarga yang ada di ruangan itu dan menyaksikan tindakan-tindakan yang kita lakukan biasanya bisa menerima hal tersebut. Mereka tahu apa yang kita lakukan, melihat dengan jelas bagaimana kita kelelahan karena berusaha menolong keluarganya. Keluarga yang tidak ada di sana tahunya hanya saudaranya berangkat segar bugar, pulang tidak bernyawa. Mereka bisa kecewa dan ingin menyalahkan seseorang. 

Di sinilah biasanya letak kegagalan si dokter untuk berkomunikasi. Umumnya si dokter mewakilkan untuk menjelaskan. Wakil itu bisa bidan, komite medis rumah sakit, atau bagian hukum di rumah sakit. Pertanyaan-pertanyaan sulit dari keluarga pasien hanya dijawab secara formalitas oleh ''pihak lain'' yang tidak mengetahui proses atau jalan pikiran si dokter. Belum lagi fakta bahwa dokter yang satu dengan yang lain itu sebenarnya pesaing dalam bisnis yang sama.

Ketidakjelasan, keragu-raguan pihak pemberi keterangan, atau argumentasi dangkal pemberi keterangan bisa menjadi bola liar. Bisa ada kesimpulan bahwa ''dokternya salah, kurang peduli''. Apalagi jika yang menghadapi keluarga adalah tim lengkap berjajar-jajar. Keluarga akan terintimidasi dan menyimpulkan bahwa si dokter salah sehingga takut menghadapi mereka sendirian.

Yang dinasihatkan dr Agus Abadi SpOG (sekarang profesor) adalah ''Hadapi sendiri!''. Jika ada kasus, saya memanggil seluruh keluarga. Semakin cepat semakin baik. Saya duduk sendirian di depan mereka, seorang bidan berdiri agak jauh untuk sekadar menjadi saksi. Keluarga pasien merasa bebas dan pikirannya terbuka karena tidak merasa terintimidasi. Seringkali saya terdesak oleh argumentasi keluarga yang tidak hadir saat kejadian. Dalam kondisi seperti itu, hampir selalu, keluarga di dalam kamar tindakan tersebut akan berbicara membela saya. Masalah pun biasanya selesai.

Semua dokter ingin membantu pasien sebaik-baiknya. Tetapi, dunia kedokteran bukan ilmu pasti, melainkan seni. Seluruh buku kedokteran ditulis berdasar kasus (evidence based). Sebuah penyakit biasanya sembuh dengan cara itu. Sayangnya, selalu ada kasus yang ditangani dengan cara yang sama, namun hasilnya ternyata berbeda. Itulah dunia kedokteran. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar