BELUM sepekan Hari Kesehatan Nasional 12 November berlalu,
dunia kedokteran mendapat kado pahit, yaitu ditangkapnya dr Ayu SpOG di
Manado karena dianggap melakukan malapraktik. Menurut berita di Jawa Pos
(18/11), penyebab kematian pasien berdasar visum adalah emboli udara saat
operasi Caesar.
Kejadian emboli udara maupun emboli air
ketuban tidak bisa diramalkan atau dicegah. Itu kasus yang sangat jarang,
tetapi bisa terjadi pada siapa saja saat melahirkan normal atau operasi.
Meningkatnya tekanan dalam rahim disertai terbukanya beberapa pembuluh
darah bisa mengakibatkan udara atau air ketuban masuk ke pembuluh darah.
Bila udara atau ketuban tersebut nyantol di
pembuluh kaki, paling ya terasa pegal-pegal karena berhentinya aliran darah
di salah satu bagian kaki itu. Kalau nyantol di pembuluh otak, ya stroke.
Kalau nyantol di pembuluh darah jantung, ya jantungnya berhenti seperti
pada pasien dr Ayu tersebut.
Jika emboli ketuban lebih parah, akhirnya
akan masuk ke paru-paru. Partikel lemak, rambut bayi, dan banyak lagi yang
mikroskopis akan menyebar ke kantong-kantong udara di paru-paru dan
menyumbatnya. Akibatnya, orang itu seperti tenggelam karena paru-paru tidak
bisa menyerap udara lagi. Jika itu terjadi, hanya Tuhan yang bisa
menyelamatkan.
Dengan teknologi kedokteran yang ada saat
ini, rasanya mustahil menolong pasien tersebut. Kalau kematian karena kasus
emboli udara dan emboli air ketuban dianggap kesalahan dokter, seluruh
dokter kandungan senior akan masuk penjara lantaran pernah mengalami hal
itu sekali dua kali sepanjang karirnya. Bahkan, kalau saja dunia tahu hal
tersebut, kita akan menjadi bahan tertawaan. Mungkin sekarang sudah!
Kebanyakan tuduhan malapraktik pada dokter
disebabkan ketidakpuasan keluarga atau pasien. Ketidakpuasan itu umumnya
disebabkan buruknya komunikasi dari si dokter atau tidak hati-hati
menghadapi hal-hal nonmedis.
Saat saya menjalani pendidikan dokter
spesialis di Unair beberapa puluh tahun lalu, guru-guru saya selalu
mengingatkan hal itu. Salah satu yang harus dihindari menurut dr Lila
Dewata SpOG (sekarang profesor emeritus) adalah berada di ruang tertutup
hanya dengan pasien. Harus ada orang ketiga di sana, entah keluarga entah
bidan.
Bayangkan jika sedang sendiri dengan pasien,
tiba-tiba pasien berteriak-teriak minta tolong entah apa maksudnya.
Keluarga menyerbu masuk dan melihat si pasien dalam posisi ''tidak
pantas''. Maka si dokter akan dengan mudah menjadi bahan pemerasan pihak
lain.
Hal lain saya peroleh dari Prof Prajitno,
yaitu jika ada pasien yang meminta keringanan biaya. Saya masih ingat
kata-kata beliau, ''Git, jika ada pasien atau keluarganya minta keringanan
biaya, suruh mereka membuat permohonan tertulis. Kalau tidak, jika kemudian
terjadi sesuatu, itu akan dijadikan alasan mereka untuk menyalahkan kita.
'Ini buktinya kalau dokter melakukan kesalahan, dia memotong biayanya'.''
Selain itu, jika terjadi sesuatu yang buruk
pada pasien, yang tidak bisa menerima biasanya keluarga yang tidak hadir di
rumah sakit. Keluarga yang ada di ruangan itu dan menyaksikan
tindakan-tindakan yang kita lakukan biasanya bisa menerima hal tersebut. Mereka
tahu apa yang kita lakukan, melihat dengan jelas bagaimana kita kelelahan
karena berusaha menolong keluarganya. Keluarga yang tidak ada di sana
tahunya hanya saudaranya berangkat segar bugar, pulang tidak bernyawa.
Mereka bisa kecewa dan ingin menyalahkan seseorang.
Di sinilah biasanya letak kegagalan si
dokter untuk berkomunikasi. Umumnya si dokter mewakilkan untuk menjelaskan.
Wakil itu bisa bidan, komite medis rumah sakit, atau bagian hukum di rumah
sakit. Pertanyaan-pertanyaan sulit dari keluarga pasien hanya dijawab
secara formalitas oleh ''pihak lain'' yang tidak mengetahui proses atau
jalan pikiran si dokter. Belum lagi fakta bahwa dokter yang satu dengan
yang lain itu sebenarnya pesaing dalam bisnis yang sama.
Ketidakjelasan, keragu-raguan pihak pemberi
keterangan, atau argumentasi dangkal pemberi keterangan bisa menjadi bola
liar. Bisa ada kesimpulan bahwa ''dokternya salah, kurang peduli''. Apalagi
jika yang menghadapi keluarga adalah tim lengkap berjajar-jajar. Keluarga
akan terintimidasi dan menyimpulkan bahwa si dokter salah sehingga takut
menghadapi mereka sendirian.
Yang dinasihatkan dr Agus Abadi SpOG
(sekarang profesor) adalah ''Hadapi sendiri!''. Jika ada kasus, saya
memanggil seluruh keluarga. Semakin cepat semakin baik. Saya duduk sendirian
di depan mereka, seorang bidan berdiri agak jauh untuk sekadar menjadi
saksi. Keluarga pasien merasa bebas dan pikirannya terbuka karena tidak
merasa terintimidasi. Seringkali saya terdesak oleh argumentasi keluarga
yang tidak hadir saat kejadian. Dalam kondisi seperti itu, hampir selalu,
keluarga di dalam kamar tindakan tersebut akan berbicara membela saya.
Masalah pun biasanya selesai.
Semua dokter ingin membantu pasien
sebaik-baiknya. Tetapi, dunia kedokteran bukan ilmu pasti, melainkan seni.
Seluruh buku kedokteran ditulis berdasar kasus (evidence based). Sebuah penyakit biasanya sembuh dengan cara
itu. Sayangnya, selalu ada kasus yang ditangani dengan cara yang sama,
namun hasilnya ternyata berbeda. Itulah dunia kedokteran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar