MIRIS rasanya melihat tayangan berita TV maupun membaca berita akhir-akhir ini tentang kriminalitas menonjol yang dilakukan
perempuan, sosok ibu yang seharusnya melindungi buah hatinya. Ibu membunuh
anak kandungnya dengan membenamkan kepala sang anak ke bak mandi dengan
alasan malu karena kemaluan anaknya mengecil setelah disunat. Kasus lain,
perempuan di Malang, Jawa Timur, membunuh anak kandungnya dengan cara
meminumkan obat serangga, kemudian bunuh diri dengan cara gantung diri.
Kasus-kasus semacam ini muncul dan tenggelam, tapi tetap mengejutkan.
Memang, tidak semua orang dapat menyesuaikan diri dengan
perubahan yang terus berjalan tanpa menunggu siapa pun. Ketegangan atau
stres menjadi gejala umum. Terlebih pada ibu yang mengemban tanggung jawab
lebih besar dalam mendidik dan mengasuh anak. Anak-anak umumnya
menghabiskan sebagian besar waktu mereka bersama ibu daripada dengan ayah.
Bila diamati, baik ibu yang mengejar karir maupun bekerja
mengurus rumah tangga, lebih letih dan rentan terhadap stres. Hubungan
dengan anak dan suami maupun hubungan dengan orang-orang dalam lingkungan,
kepribadian ibu, tuntutan fisiologis ibu, dan berbagai hal yang tidak bisa
dikontrol oleh ibu merupakan sumber stres. Belum lagi problem psikologis
yang sering menghantui mereka jika penampilan dan
"kepemilikan"-nya tidak sama dengan lingkungan sekitarnya.
Bahkan, jika semua kebutuhan materi dipenuhi oleh sang suami, berbagai
tingkat kebosanan cepat menyerangnya.
Seorang ibu yang bekerja, setelah berkutat dengan
berbagai urusan pekerjaan, begitu kembali ke rumah mereka diharuskan
mengurus anak dan melayani suami. Mempertahankan keluarga agar tetap
harmonis dan menjadikan rumah sebagai surga bagi anggota keluarga tidaklah
mudah.
Sebuah penelitian ilmiah menunjukkan paradoks aneh.
Yakni, para wanita yang percaya bahwa karir dan rumah tangga dapat berjalan
seimbang berisiko terkena depresi jauh lebih tinggi dibandingkan para
wanita karir yang menerima kenyataan bila karir dan rumah tangga sulit
berjalan dengan seimbang.
Melihat ini semua, sudah selayaknya kita mulai merenung
dan introspeksi diri karena peristiwa-peristiwa dalam hidup pasti ada sebab
dan akibatnya. Apakah para ibu yang notabene sudah melakukan banyak peran
itu mengalami stres? Sebab, apabila kondisi stres ini tidak ditangani
secara serius, sangat dimungkinkan akan berpengaruh terhadap cara mengasuh
anak. Pada akhirnya tanpa disadari hal itu dapat menyakiti anak-anak, baik
secara verbal maupun fisik, bahkan berakibat mematikan.
Stres Maladaptif
Ketika mengalami stres, orang menggunakan energi fisik,
psikis, sosial budaya, dan spiritual untuk beradaptasi. Jumlah energi yang
dibutuhkan dan efektivitasnya bergantung pada intensitas, lingkup, dan
jangka waktu stressor, serta jumlah stressor lain. Namun, ketika stres
tidak dapat diadaptasi dengan baik, akan timbul stres maladapatif. Kiranya
inilah faktor umum penyebab perilaku tak terkontrol. Meskipun begitu, perlu
pemeriksaan detail untuk memastikan problem psikologi memang dialami para
ibu yang bertindak kebablasan.
Lebih jauh, sudah selayaknya seorang perempuan mempunyai
sumber dukungan yang lebih kuat jika dibandingkan dengan kaum Adam. Mereka
harus mendapatkan jaminan tidak hanya material, tetapi juga spiritual dan
emosional untuk mengompensasi stres yang dirasakan. Terlebih untuk para ibu
di kelompok marginal yang selama ini terbelit kemiskinan dan
keterbelakangan.
Perlu dibentuk kelompok (klub) yang beranggota ibu-ibu
dengan mentor orang-orang yang ahli di bidangnya untuk mengatasi hal ini.
Dalam kelompok tersebut dibuat sebuah komunitas yang terdiri atas
orang-orang yang senasib sepenanggungan, dan sekali-kali perlu didatangkan
"bintang tamu" yang dapat memberikan energi baru agar mereka bisa
berbuat dan melakukan sesuatu.
Di dalam kelompok itu individu-individu akan merasa
dibimbing dan diarahkan untuk mengungkapkan pikiran secara bebas. Mereka
juga dapat bertukar pikiran layaknya anak kuliah yang sedang berdiskusi
dengan teman dan dosennya. Masukan-masukan itu akan memberikan wacana baru
dan membuka pikiran untuk melihat sesuatu di luar kebiasaan dan rutinitas.
Biarkan mereka keluar dari tempurung untuk melihat dunia yang begitu luas
dengan kemungkinan nyaris tak terbatas.
Dengan ini semua, kiranya baik dari segi psikologis,
emosional, maupun kognitif, seseorang dapat mengambil sebuah keputusan dan
tindakan yang lebih tepat. Mereka pun dapat menahan diri untuk melakukan
hal-hal yang sekiranya tidak pada jalurnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar