Siapa figur paling pas
untuk memimpin Partai Demokrat setelah Anas Urbaningrum mengundurkan diri?
Dalam tempo satu sampai dua minggu ini, Susilo Bambang Yudhoyono dan
kader-kader senior Partai Demokrat pasti akan berkonsentrasi memikirkan
masalah ini dan mengambil keputusan definitif.
Pendaftaran calon
anggota legislatif dimulai minggu kedua April 2013, kalau tidak salah
tanggal 9 April. Daftar caleg yang diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum
(KPU) harus ditandatangani oleh sekretaris jenderal dan ketua umum partai.
Di media massa dan media
sosial sudah beredar beberapa nama yang dikatakan pantas menjadi pengganti
Anas. Sejumlah petinggi Partai Demokrat pun sudah menyatakan pendapatnya,
walaupun mereka tidak berani menyebut nama.
Dari beberapa nama yang
beredar, entah dari mana sumbernya, dua nama kini seolah menduduki
peringkat tertnggi. Kedua nama tersebut adalah Jenderal TNI Pramono Edhie
Wibowo—adik ipar SBY yang kini masih menjabat Kepala Staf Angkatan Darat
(KSAD)—dan Marzuki Alie, Ketua DPR. Di Demokrat, Marzuki duduk sebagai
anggota majelis tinggi yang berjumlah sembilan orang.
Pramono Edhie secara
tidak langsung telah menepis kemungkinan aktif di dunia politik, apalagi
“nyapres” dengan alasan dia masih aktif di TNI. Kalau sudah pensiun pada
Mei nanti, ia baru akan memutuskan mau terjun ke politik atau tidak. Dengan
demikian, selama Edhie masih KSAD, tidak mungkin ia diplotkan sebagai
pengganti Anas. Peraturan melarang setiap personel TNI, apalagi pemimpin
teras, untuk aktif di dunia politik.
Toh, di dunia ini tidak
ada yang tidak mungkin. SBY bisa saja mengangkat Jenderal Edhie sebagai
Ketua Umum Partai Demokrat dengan terlebih dahulu memensiundinikan dirinya
dari dinas Angkatan Darat.
Jika SBY sebagai Ketua
Majelis Tinggi Demokrat menilai iparnya sungguh dibutuhkan untuk
menyelamatkan partai kesayangannya, kenapa tidak? Begitu Edhie pensiun,
atau dipensiundinikan, ceritanya pun selesai. Sebagai orang sipil, sang
jenderal bisa bergiat di bidang apa pun, termasuk dunia politik.
Hanya saja, pengangkatan
Pramono Edhie sebagai Ketua Umum Partai Demokrat niscaya akan menuai
kontroversi besar di internal Demokrat. Idealnya, pengganti Anas
Urbaningrum berasal dari kader sendiri; bukan dropping dari luar partai.
Marzuki Alie sudah menyuarakan resistensi seperti itu secara terbuka.
Menurut Marzuki,
tidaklah elok jika orang luar yang menjadi Ketua Umum Partai Demokrat.
Nalar Marzuki, menurut analisis saya, seolah-olah Demokrat sudah kehabisan
kader andal; padahal banyak kader Demokrat yang andal dan berintegritas.
Kecuali itu, SBY akan
dituding penganut nepotisme jika mengangkat Jenderal Edhie sebagai orang
pertama di DPP Partai Demokrat. Oleh sebab itu, jika Edhie Baskoro yang
diangkat pun, internal Demokrat akan bereaksi. Bukan rahasia lagi, selama
menjabat Sekretaris Jenderal Demokrat, kinerja putra SBY ini banyak yang
mempertanyakan. Edhie terkesan kuat “tidak bunyi”, apalagi jika menjabat
ketua umum.
Masa Depan Partai
SBY tentu menyadari
betul bahwa sosok pengganti Anas amat penting untuk masa depan Partai
Demokrat yang saat ini sedang gonjang-ganjing dan sangat terpuruk. Di
mana-mana pemimpin tertinggi eksekutif partai politik ikut menentukan
kemajuan dan kehancuran partai tersebut.
Di negara-negara yang
menganut sistem parlementer, siapa yang ditunjuk sebagai ketua umum partai,
ia
otomatis dipersiapkan untuk memimpin pemerintahan. Jika partai
memenangkan pemilihan umum, ia hampir otomatis akan ditunjuk sebagai
perdana menteri.
Oleh sebab itu, SBY dan
kawan-kawannya di Majelis Tinggi dan Dewan Pembina seharusnya memeras otak
untuk memilih the best candidate. Calon harus betul-betul memahami historis
dan perjalanan partai, harus memiliki konsep terang untuk membangun dan memajukan
partai. Ia haruslah sosok yang clean, pekerja keras dan bisa diterima oleh
sebagian besar unsur partai, bukan figur yang kontroversial di internal
partai.
Beberapa figur kader
Demokrat, menurut saya, pantas dipertimbangkan SBY secara serius. Mereka
adalah Marzuki Ali, Syarief Hasan, Jero Wacik, dan TB Silalahi.
Marzuki sosok politikus
yang sudah teruji sebagai Ketua DPR. Ia memang kadang kontroversial, tapi
ia tipe pemimpin yang berani, siap mengambil risiko dari setiap pernyataan
dan tindakannya.
Di partai ia termasuk
senior, lima tahun menjabat Sekretaris Jenderal Demokrat dan dekat dengan
SBY. Ia sebenarnya salah satu calon Ketua Umum Partai Demokrat pada kongres
partai di Bandung pada 2010. Sayang, ia tidak mendapat restu SBY. Aliansi
Anas Urbaningrum dan Hadi Utomo (eks ketua umum) akhirnya mengempaskan
Marzuki.
Calon yang direstui SBY
tatkala itu sebenarnya Andi Mallarangeng. Lima kader senior Demokrat—antara
lain Jero Wacik, Syarief Hasan, dan EE Mangindaan—ketika itu sudah dibisiki
SBY untuk mendukung Andi. Namun, karena faktor XYZ, Anas akhirnya keluar
sebagai pemenang.
Dalam wawancaranya
dengan stasiun televisi RCTI beberapa hari yang lalu, Anas membuka kartu
bahwa (a) dirinya sebetulnya “unwanted
child”, calon yang tidak direstui SBY, bahkan (b) secara implisit Anas
menuding SBY ketika itu meminta dirinya mundur dari pencalonan. Namun
karena Anas merasa mendapat dukungan kuat dari akar rumput, dia maju terus
di tengah-tengah tekanan politik atas dirinya untuk mundur dari pencalonan.
Jero Wacik dan Syarief
Hasan juga dikenal sangat dekat dengan SBY. Dua sosok inilah yang tiba-tiba
menggelar jumpa pers di Jakarta pada Minggu, 3 Februari 2013. Pada
kesempatan itu, keduanya mengumandangkan “pesan darurat” kepada segenap
kader partai; bahwa elektabilitas Partai Demokrat tinggal 8,3 persen
menurut hasil jajak pendapat SMRM. Pesan Wacik dan Syarief langsung
disambut antusias oleh SBY.
Esok harinya, 4 Februari
2013, SBY dari Arab Saudi meminta seluruh kader partai untuk berdoa supaya
Allah SWT memberikan jalan untuk menyelamatkan Demokrat. Secara implisit,
SBY sependapat bahwa Partai Demokrat sudah memasuki situasi “gawat darurat”
dan menuding Anas Urbaningrum sebagai orang yang paling bertanggung jawab.
Ia pun meminta KPK untuk secepatnya memperjelas status hukum Anas.
Bahwa SBY begitu cepat
memberikan respons positif terhadap pernyataan duet Wacik dan Syarief, hal
itu menandakan kedekatan SBY kepada kedua kader senior Demokrat ini. Tak
hanya itu, menurut hemat saya, jumpa pers yang digelar oleh Wacik dan
Syarief sesungguhnya atas pengetahuan dan persetujuan SBY. Tanpa
persetujuan SBY, Wacik dan Syarief mustahil berani secara “lancang”
menyerang Ketua Umum Anas Urbaningrum!
Jika SBY mengangkat
Marzuki sebagai pengganti Anas, Marzuki secara etis harus mengundurkan diri
sebagai Ketua DPR. Hal ini sama seperti ketika Anis Matta ditunjuk sebagai
Presiden PKS menggantikan Luthfi Hasan, ia pun dibebaskan oleh partainya
dari kursi Wakil Ketua DPR. Jika Wacik atau Syarief yang ditunjuk SBY untuk
menduduki kursi Ketua Umum Partai Demokrat, apakah mereka harus mundur
sebagai menteri? Tidak perlu.
Saat ini paling sedikit
ada tiga ketua umum partai politik yang duduk sebagai menteri dalam kabinet
SBY, yakni Hatta Radjasa (Menko Kesejahteraan) sebagai Ketua Umum Partai
Amanat Nasional, Suryadarma Ali (Menteri Agama) Ketua Umum Partai Persatuan
Pembangunan, dan Muhaimin Iskandar (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi)
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa.
Jika SBY menghendaki
sosok yang tegas bertindak, juga loyal dan bagus integritasnya, TB Silalahi
adalah orangnya. Dia pensiunan bintang tiga TNI, juga salah satu pendiri
Partai Demokrat, menjabat Ketua Komisi Pengawasan Partai Demokrat.
Dialah yang membentuk
Tim Investigasi dan memeriksa puluhan kader Demokrat tidak lama setelah
Mohamad Nazaruddin menuding ia memberikan dana Rp 100 miliar untuk membantu
kubu Anas dalam pemilihan Ketua Umum Demokrat di Kongres Bandung pada 2010.
Sebagai Ketua Tim
Investigasi, TB Silalahi pasti tahu banyak tentang apa sesungguhnya yang
terjadi pada Kongres Partai Demokrat 2010. Tentu saja hasil penyelidikan
tersebut sudah disampaikan kepada SBY dan kader-kader senior Demokrat.
Namun SBY dan kader-kader senior ketika itu masih tutup mulut, mungkin
untuk menjaga agar tidak terjadi guncangan di internal partai.
Salah satu kekurangan TB
Silalahi – dibandingkan ketiga kandidat lainnya – adalah faktor usia. Maka,
tampaknya ia lebih enjoy
mengurusi lembaga pendidikannya yang amat sukses di Medan ketimbang aktif
kembali di Partai Demokrat. Jika diminta duduk sebagai Ketua Umum Demokrat,
TB Silalahi pasti menolak. Namun sebagai sosok yang loyal pada SBY, TB
Silalahi selalu siap membantu SBY untuk kemajuan Partai Demokrat.
Dengan demikian, Marzuki
Alie menjadi kandidat paling kuat untuk menggantikan Anas Urbaningrum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar