STATUS hukum baru
(mantan) Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urba ningrum menimbulkan kehebohan
luar biasa dunia penegakan hukum dan politik negeri ini. Bahkan, dengan
merujuk situasi yang berkembang, itu menjadi fakta yang sulit dimentahkan.
Dari semua kasus indikasi korupsi yang melibatkan tokoh politik yang pernah
ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), perubahan status hukum Anas
dapat dinilai yang paling heboh dan paling menyita perhatian masyarakat.
Bahkan, sebagian kalangan secara serampangan memberi tafsir politis
terhadap proses hukum yang menimpa Anas.
Karena beberapa kondisi yang
melatarbelakangi, kehebohan hebat yang mengiringi status tersangka Anas
dapat dipahami. Misalnya, kemungkinan peran dan keterlibatan Anas dalam
kasus korupsi kompleks olahraga terpadu Hambalang telah lama mengisi ruang
publik. Apalagi, Anas pernah mengeluarkan peryataan bahwa dirinya siap
digantung di Monas jika terbukti terlibat dalam kasus korupsi Hambalang.
Sikap optimistis Anas di tengah kehebohan pemberitaan kasus korupsi
Hambalang tentu saja menjadi magnet yang membedakan dengan kasus-ka sus
lain yang dita ngani KPK.
Tidak hanya itu, perkembangan
kasus Anas juga menjadi penantian panjang internal Partai Demokrat.
Sebagaimana diketahui, sejak M Nazaruddin menyebut keterlibatan Anas,
partai politik (parpol) peraih suara terbesar dalam Pemilihan Umum (Pemilu)
2009 seperti sedang memasuki krisis internal serius. Persoalan tersebut
kian akut karena hari demi hari elektabilitas Partai Demokrat makin
merosot. Karena itu, sebagian pihak internal berpandangan, pilihan terbaik
(dan mungkin satu-satunya) guna menjaga kelangsungan Partai Demokrat: KPK
memperjelas status hukum Anas.
Selain itu, suasana menjadi
makin heboh karena jauh hari sebelum dijadikan sebagai tersangka, dokumen
surat perintah penyidikan Anas bocor ke publik. Entah apa yang terjadi,
bocornya dokumen itu berimpitan dengan substansi jumpa pers Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono di Jeddah (5/2), yang meminta KPK segera menyelesaikan
kasus Hambalang yang menyeret kader Partai Demokrat, termasuk di dalamnya
Anas. Tak berhenti pada permintaan itu, begitu kembali dari kunjungan
kenegaraan, Yudhoyono meminta Anas fokus menghadapi masalah hukum di KPK.
Rangkaian kejadian tersebut di
atas, langsung ataupun tidak, menjadi bentangan fakta empiris yang membuka
wilayah tafsir politik yang sangat liar terhadap status tersangka Anas.
Dalam posisi itu, publik yang posisi itu, publik yang menghendaki proses
hukum berjalan secara wajar menjadi resah dan khawatir. Perasaan demikian
muncul karena takut tafsir politik yang begitu amat berpotensi merusak
langkah peng ungkapan kasus korupsi Hambalang. Lebih jauh dari itu, tafsir
yang tidak tepat berpotensi pula menisbikan upaya pemberan tasan korupsi
yang diakukan KPK.
Logika Konspirasi
Selain kepada Anas, dalam waktu
tiga bulan terakhir, KPK telah pula menetapkan Menpora Andi Alifian
Mallarangeng dan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan
Ishaaq sebagai tersangka. Tanpa harus memuji berlebihan, tiga orang yang
ditetapkan sebagai tersamgka meru pakan tokoh sentral di parpol masing
masing, yang membuktikan capaian luar biasa KPK. Sebagai bukti bekerjanya
proses hukum, Andi dijadikan tersangka dalam kasus yang sama dengan Anas,
sementara Luthfi dijadikan sebagai tersangka dalam kasus suap daging impor
di Kementerian Pertanian.
Tidak hanya dalam kasus ketiga
figur sentral itu, pengalaman sejauh ini membuktikan apabila proses hukum
menyentuh tokoh politik, selalu saja timbul tafsir politik di luar batas
penalaran yang wajar. Dari semua tafsir yang pernah muncul, penilaian bahwa
proses hukum ialah bagian konspirasi politik dapat dikatakan yang paling
sering dikemukakan. Misalnya, secara terbuka, tuduhan serupa pernah keluar
dari PKS ketika Luthfi dijadikan tersangka dan kemudian ditangkap KPK.
Dengan menggunakan diksi yang lebih halus, hal yang sama sempat pula keluar
dari mulut Anas.
Namun dari semua kasus yang
pernah ditangani KPK, tafsir politik terasa lebih kental dalam peningkatan
status hukum Anas. Tidak hanya dalam soal rangkaian fakta yang ditulis di
bagian awal tulisan ini, tetapi juga pada beberapa fakta yang terjadi
setelah Anas dijadikan sebagai tersangka.
Dengan menggunakan logika teori
konspirasi, Anas mampu menjelaskan semua peristiwa yang terjadi sebelum ia
menjadi tersangka menjadi sebuah rangkaian yang tidak terpisahkan. Bagi
Anas, rangkaian peristiwa itu bergerak ke satu titik: menjadikan dirinya
sebagai tersangka. Dalam menambahkan rangkaian itu, Anas menyebutkan
dirinya bukanlah figur yang diharapkan menjadi Ketua Umum Partai Demokrat
dalam Kongres Bandung 2010.
Simpati dan Perlawanan
Boleh jadi, pidato multimakna
yang disampaikan Anas, sehari setelah dia ditetapkan sebagai tersangka, di
Kantor DPP Partai Demokrat (23/2), menghadirkan magnet sehingga hal itu
mampu menghadirkan simpati luar biasa dari sejumlah tokoh. Barangkali,
sangat jauh di luar nalar sejumlah pihak, kehadiran para tokoh itu seperti
memosisikan Anas sebagai orang yang mendapat musibah besar. Masalahnya,
benarkah kunjungan itu menjadi bukti simpati kepada Anas? Atau,
jangan-jangan, kunjungan itu menjadi bentuk dan sekaligus cara lain
menujukkan perlawanan kepada Presiden Yudhoyono.
Namun, apa pun motivasi di balik
kunjungan para tokoh tersebut, kita tidak mungkin melarang berbagai pihak
mengunjungi Anas. Namun, soal hal terpenting yang harus dijadikan catatan,
jangan sampai buah dari kunjungan tersebut merusak dan mendegradasi serta
menis bikan proses hukum yang dilaku kan KPK. Dalam pengertian ini,
sebaiknya pihak yang berkunjung tidak larut dalam pertanyaan: apakah status
hukum tersangka kepada Anas murni proses hukum atau proses politik. Harusnya,
mereka yang datang berkunjung meminta Anas untuk menyampaikan semua
informasi yang diketahui dalam kasus korupsi Hambalang.
Sebagai upaya memberantas
korupsi, pandangan yang mengatakan penetapan status hukum Anas sebagai
tersangka merupakan hasil dari rekayasa politik ialah pandangan yang
kebablasan. Dalam hal ini, perlu dikemukakan kembali, sebagai sebuah proses
hukum yang telah berlangsung lama, amat mungkin, fase pe ningkatan status
Anas bertemu dengan puncak prahara di internal Partai Demokrat. Karena itu,
bertahan dalam tafsir politik atas kerja keras KPK dalam menindaklanjuti
proses hukum Hambalang dengan memberikan dukungan overdosis kepada Anas
dapat dikatakan sebagai bentuk simpati yang kebablasan.
Lanjutkan
Kecuali tertangkap tangan, KPK
memang kelihatan sangat hati-hati dalam melakukan proses hukum kasus
korupsi. Karena kehati-hatian itu pula, proses hukum di KPK terkesan berjalan
lamban. Bahkan, proses hukum begitu kerap menghadirkan penilaian lain, KPK
tebang pilih dalam penegakan hukum. Namun, ketika sesesorang ditetapkan
menjadi tersangka, KPK pasti telah memiliki bukti-bukti yang kuat.
Pengalaman selama ini menunjukkan dengan alat bukti yang dimiliki, KPK
menjadi lebih mudah membuktikan dalam proses persidangan.
Dalam kasus Anas, kalau hanya
sebatas indikasi menerima gratifikasi, banyak pihak percaya bahwa dari
sejak lama bekas Ketua Umum Partai Demokrat itu dijadikan tersangka.
Bahkan, dalam sebuah jumpa pers, salah seorang pemimpin KPK pernah
mengatakan KPK sedang menyelisik kasus lain yang lebih besar. Artinya,
begitu Anas ditetapkan tersangka, KPK hampir dapat dipastikan memiliki
bukti-bukti lain yang mampu menunjukkan peran Anas dalam kasus korupsi
Hambalang.
Dengan berkaca dari kasus
driving simulator di Korps Lalu Lintas Polri, misalnya, ketika kasus itu
terkuak ke permukaan, banyak kalangan internal kepolisian yang membantah
dan bahkan melakukan perlawanan. Namun, begitu KPK menetapkan Inspektur
Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka dan melacak aliran uang yang ada,
mata publik menjadi terbelalak. Sebagai ikutan dari kasus tersebut, KPK
mulai menyelisik dugaan aliran dana Korps Lalu Lintas Polri kepada para
politikus DPR. Pada kasus ini, KPK mengendus praktik korupsi dengan cara
mengikuti aliran uang hasil korupsi.
Dengan menggunakan logika itu,
banyak pihak berharap KPK mampu bekerja keras dengan kecepatan di atas
rata-rata dalam melanjutkan kasus Anas. Bagaimanapun, kasus itu tidak boleh
berhenti hanya sampai pada penetapan Anas sebagai tersangka. Guna melangkah
pasti ke arah itu, KPK tidak boleh terpengaruh oleh segala ingar-bingar
politik di seputar di seputar penetapan Anas sebagai tersangka. Penuntasan
kasus itu tidak hanya dimaksudkan sekadar memastikan hukum Anas, tetapi
sekaligus untuk menyelisik dan mengetahui ke mana saja dana Hambalang
mengalir.
Sekiranya KPK gagal mengungkap
secara tuntas megaskandal korupsi Hambalang, peristiwa yang serupa sangat
mungkin terulang kembali di masa depan. Lagi pula, penikmat dana Hambalang
tidak boleh ada yang bertepuk tangan karena proses hukum hanya mampu
menjangkau kalangan terbatas. Karena itu, proses hukum Anas tak boleh
berhenti. Lanjutkan! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar