Kunjungan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Desa Tuwel, Kabupaten Tegal, belum
lama ini, menjadi ajang curhat petani tentang maraknya impor sayuran.
Desa yang terletak di kaki Gunung
Slamet tersebut dalam peta Kementerian Pertanian tercatat sebagai desa
sentra produksi sayuran, utamanya bawang putih.
Maraknya impor dan penyelundupan
bawang putih telah mengubur kisah sukses petani Desa Tuwel. Secara umum, praktik
kartel pangan telah merusak sistem pertanian nasional dan menyengsarakan
para petani. Tidak ada lagi hamparan ribuan hektar tanaman bawang putih di
kanan kiri jalan menuju obyek wisata air panas Guci seperti era 1980-an.
Tak ada lagi komunitas ”Arisan Haji” yang dulu tiap tahun memberangkatkan
paling tidak dua pasang anggotanya.
Duka petani itu semakin lengkap
ketika belum lama berselang Kejaksaan Agung menetapkan tiga orang tersangka
kasus korupsi proyek pengadaan benih di Kementerian Pertanian periode
2008-2011. Sungguh ironis, saat DPR membahas Rancangan Undang-Undang (RUU)
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, secara kasatmata anggaran subsidi
sarana produksi petani dirampas.
Sudah banyak kasus terungkap,
termasuk sedikitnya ada 400 kasus penyelewengan pupuk bersubsidi dalam
catatan Komisi IV DPR. Juni 2012, petugas Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung
Perak Surabaya menggagalkan penyelundupan 20 kontainer pupuk bersubsidi ke
Malaysia. September lalu, penyelundupan empat kontainer pupuk urea
bersubsidi ke Malaysia kembali digagalkan di Pelabuhan Tanjung Priok.
Marjinalisasi petani di negeri ini
masih terus berlangsung. Dalam sebuah artikel beberapa tahun lalu,
Budayawan Jakob Sumardjo menulis bahwa bangsa ini telah membunuh para
petaninya lewat industri agrikultur tahun 1830. Sumber hidup bangsa itu
dimatikan kaum penjajah dan dilanjutkan bangsa Indonesia pasca-kemerdekaan.
Penyerobotan tanah-tanah petani
yang menjadi basis produksi pangan adalah modus lain ”pembunuhan” petani.
Konflik agraria struktural antara petani dengan pemodal dan atau instrumen
negara marak beberapa tahun terakhir. Badan Pertanahan Nasional mencatat,
hingga kini, masih ada 8.000 konflik pertanahan yang belum diselesaikan.
Catatan Epistema Institute
menyebutkan, pada 2012 terdapat 156 petani ditahan tanpa proses hukum, 55
orang mengalami luka-luka dan penganiayaan, 25 petani tertembak dan 3 orang
meninggal. Berangkat dari keprihatinan inilah 147 akademisi dari sejumlah
perguruan tinggi dan lembaga penelitian mengirim surat petisi kepada
Presiden SBY agar konflik agraria itu segera diselesaikan.
Penegakan Hukum
Pasal 1 butir (2) RUU Perlindungan
dan Pemberdayaan Petani menyebutkan bahwa perlindungan petani adalah segala
upaya membantu petani menghadapi permasalahan prasarana dan sarana
produksi, ketersediaan lahan, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan
panen, praktik ekonomi biaya tinggi, dan perubahan iklim.
Dalam beberapa hal, upaya
perlindungan petani masih sebatas jargon. Berbagai kasus penyimpangan
penyaluran pupuk bersubsidi sering tidak berakhir di meja hijau. Kasus
penyelewengan hanya heboh di awal, kemudian masuk peti es.
Perlindungan terhadap lahan
pertanian juga belum secara serius. Meski sudah ada Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,
konversi lahan sawah tetap berlangsung masif. Inilah awal dari bencana
karena sektor industri tidak serta merta mampu menyediakan lapangan kerja
bagi para petani ataupun buruh tani yang tanahnya dikonversi. Terjadilah
pengangguran dan kemiskinan yang beranak-pinak.
Para petani harus dilindungi dari
praktik usaha tidak sehat, seperti praktik kartel. Pelaku kartel (kartelis)
selalu memainkan jurus-jurus busuk, kongkalikong, untuk memainkan harga
pangan. Akibatnya struktur pasar menjadi timpang, monopolistik, dan
oligopolistik. Sering terjadi kelangkaan kebutuhan pokok yang membuat harga
bergejolak tanpa penyebab jelas. Mekanisme pasar lumpuh, hukum penawaran
dan permintaan tak berfungsi.
Sesungguhnya praktik kartel ini
dapat diredam jika negara memiliki lembaga otoritas pangan yang kuat,
profesional, dan independen. Undang-Undang No 18/2012 tentang Pangan
(revisi UU No 7/1996) telah mengamanatkan pentingnya badan otoritas pangan
yang langsung di bawah presiden. Melalui penguatan jaringan dengan para
pelaku usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, jurus kartel dapat
dilumpuhkan. Melalui mekanisme pasar yang sehat, harga pangan terjangkau
dan kesejahteraan petani meningkat.
Menyangkut konflik pertanahan yang
masih menggunung, di samping penyelesaian melalui pengadilan, perlu pula
revisi terhadap semua produk peraturan tentang pertanahan. Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX Tahun 2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam secara eksplisit telah menegaskan
masalah ini. Peraturan menyangkut tanah dan penguasaan sumber daya oleh
kementerian/instansi yang bertentangan harus direvisi.
Para petani juga harus dilindungi
dari globalisasi perdagangan. Mulai dari pestisida berbahaya, benih
transgenik, atau pupuk kimia yang di negara asal telah dilarang. Anthony
Giddens (1999) mengingatkan bahwa globalisasi perdagangan tidak menciptakan
perkampungan global (global village),
tetapi lebih mirip penjarahan global (global
pillage). Saatnya marjinalisasi petani di republik ini diakhiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar