PMA dan Tenaga Kerja Terampil
Elfindri
; Profesor Ekonomi SDM
dan
Koordinator Program S-3 Ilmu Ekonomi Unand
|
KORAN SINDO, 02 Juli 2015
Indonesia memang
memerlukan penanaman modal asing (PMA), sebagai salah satu sumber faktor
produksi, selain dari peranan penanaman modal dalam negeri (PMDN). Keduanya
masuk komponen investasi dalam penentuan pendapatan nasional.
Tambahan investasi
akan meningkatkan ketersediaan modal (stock
of capital) dan penambahan investasi dengan sendirinya akan memerlukan
tambahan tenaga kerja. Jika investasi padat teknologi, tenaga kerja
profesional yang lebih banyak diperlukan. Bila padat tenaga kerja, selain
tenaga kerja murahan, mereka yang terampil (skills) juga akan banyak diperlukan.
PMA akan semakin mudah
apalagi saat di mana Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sudah terbentuk.
Sekalipun sudah diputuskan jenis-jenis lapangan pekerjaan yang boleh mobile
antarnegara ASEAN, tidak tertutup dalam naskah kerja sama PMA desainnya
dibuat secara captive, alias
investasi besertaan penyediaan tenaga kerja. Ini ancaman baru.
PMA Gaya Baru
Pemain PMA yang
relatif besar ke depan diperkirakan akan berasal dari negara-negara Asia
Timur Baru seperti China, Korea, Jepang, Singapura, Taiwan. Kemudian diikuti
oleh Thailand dan Malaysia. Dari sekian negara Asia Timur, China memang
memiliki potensi paling besar.
Ini memungkinkan
terjadi mengingat saat ini China masih bisa bertahan pertumbuhan ekonominya
sekitar 7%, menyusut memang pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan sepuluh
tahun terakhir. China sanggup tumbuh ekonominya pada kisaran 8-11%, yang
membuat negara ini melalui pendapatan menengah pada kisaran lima tahun saja.
Kelebihan modal
tampaknya tidak bisa serta-merta digunakan untuk perluasan investasi dalam
negeri China. Perekonomian yang mulai membuih dalam bubble economy di China
telah membuat arah investasi ditujukan ke Indonesia dan Vietnam.
Sekalipun demikian,
PMA memang akan berdampak kepada salah satu sumber pembiayaan investasi
domestik. Ancaman yang ada di balik itu adalah bagaimana desain investasi itu
disepakati. Proyek-proyek infrastruktur dan proyek pembangkit tenaga listrik
misalnya memerlukan tenaga terampil (skills).
China lebih cenderung
memilih proyek PMA satu paket dengan penyediaan tenaga kerja ”turnkey project
”. Selain kemudahan, bahasa mereka juga memiliki tenaga kerja terampil.
Besaran investasi disertai dengan penyediaan tenaga kerja dari pemodal. Ini
memang telah menjadi tren, ketika China membuat jalan Lintas Timur Afrika,
dan pembangunan jalan kereta api di Arab Saudi.
Berbagai pemenangan
tender proyek listrik ”power plant ” di Indonesia memerlukan sedikitnya
50.000 tenaga kerja. Pada 2012 salah satu contoh nyata adalah penggunaan
tenaga kerja keteknikan untuk kategori skills
dan profesional untuk pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga uap, di
Teluk Siri, Padang. Sama dengan memakan manisnya tebu dengan akar-akarnya.
Kelebihan supply tenaga kerja engineering di
China yang terampil tidak disertai dengan ketersediaan tenaga kerja yang sama
di dalam negeri. Alumni ITB yang menamatkan pendidikan teknik mesin misalnya
hanya mengetahui sedikit bidang keteknikan. Namun, tidak memiliki sertifikasi
untuk bidang-bidang tertentu. Sebaliknya, engineering China selain memiliki
keterampilan (skills) tertentu
kemudian menguasai bahasa China, mereka memang tidak mengetahui masalah
secara umum.
Proyek Infrastruktur
Ground breaking infrastruktur MP3EI untuk wilayah koridor
Sumatera oleh Presiden Jokowi sudah dilakukan pada Mei 2015. Proyek
pembangunan infrastruktur dari Bandar Lampung sampai ke Aceh mesti memerlukan
tenaga kerja berketerampilan (skills).
Ini akan diikuti oleh pembangunan infrastruktur Jawa, Trans Kalimantan,
Sulawesi, dan Papua.
Selain dari itu
implementasi di balik UU Desa No 6 Tahun 2014, juga semakin memperbesar
keperluan tenaga kerja berketerampilan, baik untuk pengawas, pelaksana
proyek- proyek fisik yang disepakati bersama di desa-desa.
Apalagi, prioritas
Nawacita untuk mengalokasikan anggaran infrastruktur sekitar 30% dari APBN.
Prioritas pembangunan sanitasi, perumahan, pasar tradisional,
sekolah-sekolah, dan fasilitas publik lainnya. Berbagai perkiraan menunjukkan
bahwa hingga 2019 diperlukan tenaga kerja terampil sebanyak 200.000 orang
untuk mendukung program in-frastruktur nasional.
Gerak Cepat
MARA Institute di
Malaysia sudah bertugas untuk melahirkan tenaga kerja berkeahlian (skills). Plumber, ahli memasang
keramik, pasang bata, pengawas proyek bangunan, dan jenis keterampilan
lainnya dihasilkan selama lebih kurang satu tahun. Ini sudah aktif sejak
1990-an dalam mendukung program infrastruktur semasa Presiden Mahatir.
Di Indonesia hanya
alumni pendidikan vokasi yang dapat memainkan peranan untuk itu. Sayangnya,
data yang ada menunjukkan angka pengangguran tamatan vokasi pada Februari
2015. Diploma 1/II/III dan SMK masing-masing 7,49% dan 9,05%. Pengangguran
SMA dan PT adalah 8.17% dan 5,34%.
Fenomena kekurangan
tenaga kerja terampil sangat mudah dimengerti. Pendidikan vokasi kita
menghasilkan tamatan berijazah, tapi hanya sekitar 10% yang memiliki
sertifikasi. Pendidikan S-1 lebih cenderung tahu sedikit-sedikit dan sulit
masuk sebagai tenaga profesional, khususnya pada proyek-proyek infrastruktur.
Karena itu, benang merahnya adalah bagaimana menghasilkan tenaga
berketerampilan menengah (skills)
lebih cepat dan strategis.
Anehnya, selama tiga
tahun terakhir, banyak juga pendidikan vokasi swasta dan keteknikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat yang tidak jalan alias ditutup. Dengan
begitu, Kopertis sebagai badan perpanjangan Kemenristek- Dikti terkesan sulit
memberikan pembinaan. Dikti, sejak lima tahun terakhir, telah mengajukan
sebuah alternatif model pendidikan komunitas ”community college”.
Sayangnya, pendidikan
komunitas yang dimaksud tidak berjalan ataupun, kalau jalan, sangat lamban.
Ini dihasilkan karena petunjuk pelaksanaan yang sangat kaku. Misalnya,
pemerintah daerah diharapkan akan mampu mengelola pendidikan komunitas (model
pemerintah). Dalam kenyataannya jumlah pembukaan pendidikan komunitas oleh
pemerintah hanya dihitung dengan jari.
Sementara pendidikan
vokasi kepoliteknikan dan pendidikan keteknikan S-1 swasta juga hidup Senin-Kamis
(model swasta). Memiliki mahasiswa yang terbatas, dosen terbatas, dan
laboratorium yang terbatas. Bayangkan, untuk menghasilkan sarjana teknik
selama empat tahun diperlukan biaya tidak kurang dari Rp145 juta per orang.
Itu belum besertifikat.
Model yang memadukan
(model kuasi) antara pemerintah dan masyarakat diharapkan akan lebih mudah
untuk mewujudkan pendidikan komunitas ini.
Yayasan mendirikan
akademi komunitas, dan mengelolanya, sementara fasilitas pendidikan tersedia
pemerintah, termasuk instruktur (idle), dapat dicarikan dari umum. Pendidikan
D-1 sangat memungkinkan jika pemerintah memberikan mandat bagi mereka yang
ingin mengelola model pendidikan komunitas ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar