Sebelas
Tahun KPK
Achmad Fauzi ; Hakim
Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan Utara
|
KOMPAS,
06 Februari 2015
SUDAH keberhasilan membongkar
skandal korupsi di pemerintahan pusat hingga daerah. Namun, banyak pula kasus
besar yang masih terkatung-katung. Kasus korupsi dana haji, misalnya, hingga
kini belum menunjukkan progres signifikan. Langkah KPK tertatih-tatih karena
KPK hanya memiliki 143 penyelidik, 79 penyidik, dan 94 penuntut umum.
Banyak kendala dihadapi KPK
sehingga target yang ditetapkan belum sempurna tercapai. Beberapa kendala
klasik itu, antara lain, pertama, munculnya manuver yang ingin membonsai KPK
melalui pemangkasan kewenangan. Resistensi ini muncul ketika segelintir
politisi menjadi incaran KPK karena terlibat korupsi.
Meski siasat politik legislasi
tersebut tidak berhasil karena mendapat kritik tajam masyarakat, bukan
berarti gerakan perlawanan terhadap KPK surut.
Pemangkasan anggaran untuk KPK
adalah buktinya. Tahun 2014, jatah anggaran penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
dan eksekusi turun Rp 1,7 miliar atau hanya Rp 31,5 miliar dibandingkan pada
2012 yang berjumlah Rp 33,3 miliar.
Kedua, kegigihan KPK memberantas
korupsi pernah mengalami antiklimaks ketika tidak didukung sepenuhnya oleh
pengadilan tipikor. Alih-alih hakim tipikor menjatuhkan vonis berat kepada
koruptor, korps pengadil tersebut justru turut terjerembab dalam kubangan
korupsi.
Obral vonis bebas marak terjadi.
Banyak fakta membuktikan putusan kontroversial justru dijatuhkan hakim
tipikor yang bermain mata dengan pihak beperkara.
Ketiga, saat ini semangat
pemberantasan korupsi mengalami penggembosan. Kabarnya, Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM memberikan remisi kepada 49
terpidana kasus korupsi di perayaan Natal.
Padahal, Menkumham Yasonna Laoly
mengatakan tidak akan memberikan remisi kepada narapidana kasus korupsi.
Keputusan pemberian remisi koruptor menjadi preseden buruk karena menyamakan
hak koruptor dengan terpidana lainnya. Artinya, kejahatan korupsi tidak lagi
dipandang sebagai kejahatan luar biasa.
Pemberian remisi itu tidak
menghargai KPK yang susah payah melakukan penyidikan, mengumpulkan barang
bukti, dan menjerat koruptor dengan dakwaan maksimal.
Remisi koruptor juga tidak
menghargai pengadilan tipikor yang saat ini mulai menemukan ritme kekompakan
dalam menjatuhkan vonis pidana pokok yang disertai pidana tambahan berupa
uang pengganti dan pencabutan hak politik.
Obral remisi kepada koruptor
sampai kapan pun akan ditentang masyarakat karena kontraproduktif dengan
semangat pemberantasan korupsi.
Semestinya Kemenkumham menghitung
secara cermat berapa kerugian materiil yang telah diderita negara akibat
korupsi. Apabila dikalkulasi, jelas biaya penanganan korupsi jauh lebih besar
ketimbang uang yang dikembalikan koruptor melalui uang pengganti.
Belum lagi berbicara dampak sosial
korupsi yang merusak peradaban masyarakat. Korupsi membuat integritas
birokrasi lemah karena setiap pelayanan dipenuhi praktik pungli, perizinan
sarat suap dan pemerasan, serta tender disesaki koloni dengan pengusaha
hitam.
Oleh karena itu, Presiden harus
merespons cepat fenomena obral remisi koruptor ini agar karsa pemberantasan
korupsi tidak berakhir antiklimaks.
Upaya preventif
Satu hal yang perlu diapresiasi
dari KPK—tanggal 29 Desember 2014 berusia sebelas tahun—adalah pembangunan
sistem mitigasi korupsi yang bukan hanya berkisar pada wilayah penindakan,
melainkan juga menyangkut pencegahan.
Upaya preventif inilah yang
memberikan harapan baru agar korupsi tidak membiak pada generasi berikutnya
dan lingkup kekuasaan.
Langkah pencegahan salah satunya
dengan memberdayakan entitas keluarga, dengan menanamkan nilai-nilai
kejujuran dan sikap kesederhanaan. Revitalisasi keluarga sebagai benteng
korupsi setidaknya memiliki dua alasan.
Pertama, tipologi korupsi telah
menggumpal menjadi kejahatan keluarga. Banyak kasus korupsi dengan keluarga
sebagai bagian dari jaringan kejahatan. Keluarga koruptor terlibat untuk
mengaburkan dana hasil korupsi dalam berbagai bentuk, misalnya pembelian
sekuritas, polis asuransi, serta tanah dan bangunan.
Kedua, nilai-nilai fundamental
dalam keluarga bisa membendung hasrat koruptif. Masing-masing keluarga dapat
mendetoksifikasi racun korupsi dalam lingkup kecil sebelum menjadi kesadaran
sosial yang masif.
Detoksifikasi berarti keberdayaan
entitas keluarga untuk membunuh sifat-sifat rakus, tidak jujur, pamrih,
dorongan memperkaya diri, dan matinya rasa malu.
Saat ini, KPK tengah menjalankan
proyek percontohan pencegahan korupsi berbasis keluarga di Kelurahan
Prenggan, Kecamatan Kotagede, Kota Yogyakarta. Artinya, saat ini memberantas
korupsi bukan hanya tanggung jawab penyelenggara negara. Keluarga dan
masyarakat juga bisa mengontrol penyimpangan oleh orang-orang terdekatnya.
Potret korupsi
Potret korupsi belakangan ini
makin mengkhawatirkan karena dipicu ketamakan. Mayoritas pelaku penilap uang
negara adalah orang berkecukupan dan memiliki jabatan strategis. Artinya,
mereka korupsi bukan karena kebutuhan mendesak, melainkan kerakusan.
Di samping itu, budaya malu di
kalangan elite makin menipis. Meski sanksi sosial berupa kecaman dan
pengucilan ditambah hukuman badan telah diberikan kepada koruptor, tidak
sepenuhnya terjadi efek jera dan pembelajaran bagi yang lain. Justru ketika
ada satu kepala daerah ditangkap KPK, esok atau lusa lainnya menyusul.
Tak ada pilihan selain menghukum
berat pelakunya, merampas harta yang tak jelas asal-usulnya melalui
pembuktian terbalik, serta tidak memberikan kelonggaran remisi atas dalih apa
pun. Hanya dengan demikian militansi KPK dalam memberantas korupsi mendapat
momentum dukungan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar