(Bukan)
Sesat Bahasa
Eko Endarmoko Munsyi ; Penulis
Tesaurus Bahasa Indonesia
|
KOMPAS,
07 Februari 2015
Di dalam orang membincangkan sesat bahasa, salah satu
pokok yang sering berulang adalah soal yang ”sederhana”. Awalan dan kata
depan yang bertukar-tukar tempat (di jual, dimana, di kontrakkan, diantara),
pemakaian kata yang tak pada tempatnya (mengharu biru, emosi), atau penulisan
kata (sembilanbelas, tujuhribu, bergeming, mengritik, merubah). Padahal,
teks-teks panduan berbahasa, kamus atau pedoman ejaan, kini sudah makin mudah
diperoleh, edisi cetakan maupun edisi dalam jaringan. Jangan pula lupa, para
pemerhati bahasa Indonesia sudah sejak lama menyiarkan pikiran mereka lewat
berbagai media yang punya ruang untuk topik kebahasaan, insidental atau
sebagai rubrik tetap, baik media cetak, seperti Intisari, Kompas, Optimis,
Pikiran Rakyat, Riau Pos, Suara Karya, Tempo maupun stasiun televisi (kita
ingat Amin Singgih, Anton Moedardo Moeliono, Jusuf Sjarif Badudu) dan radio.
Dan tidak hanya itu. Ivan Lanin pernah secara berkala
mengunggah tulisan kebahasaan di berbagai media cetak itu ke situs buatannya
(lihat https://rubrikbahasa.wordpress.com). Lalu juga, seperti ingin
merengkuh pembaca yang lebih luas, tulisan-tulisan tadi pun diterbitkan kembali
dalam bentuk buku. Kita tahu, kumpulan artikel ini ada yang terbit atas nama
seorang penulis, tapi ada juga yang berupa himpunan oleh sekaligus beberapa
penulis.
Kenyataan tersebut setidaknya menjelaskan betapa banyak,
dan sering, informasi tentang pelbagai masalah kebahasaan disajikan kepada
khalayak, para pengguna bahasa Indonesia. Namun, mengapa penggunaan
bahasa—terutama dalam ragam tulis—tak kunjung mencerminkan pemahaman yang
memadai mengenai kaidah bahasa Indonesia, bahkan kaidah yang paling sederhana
sekalipun? Tidak bisa segera kita menyimpulkan bahwa sekian banyak informasi
kebahasaan tadi tidak disimak oleh banyak penutur bahasa Indonesia termasuk,
atau terutama, oleh mereka yang bergelut dalam dunia tulis-menulis. Kecuali
kita berasumsi mereka malas membaca, jangan lagi melakukan riset atau
bertukar pikiran dengan orang lain.
Mari kita bayangkan dalam siklus waktu tertentu, setelah
satu lapisan khalayak cukup memahami kaidah berkat persentuhan yang cukup
lama dan intens dengan bahasa (Indonesia), hadir menyusul satu lapisan baru
yang belum mengerti banyak. Seperti sekelompok editor senior (kata lain dari
sepuh, tua) dalam sebuah penerbitan besar menjalani masa pensiun, dan
kemudian digantikan oleh sejumlah editor junior (bau kencur). Permutasi
periodik itu kurang lebih berlangsung secara tetap. Kecakapan berbahasa
selalunya berkembang sedikit demi sedikit seiring dengan makin seringnya
mereka bergulat dengan teks, dengan bahasa. Siklus ini membantu menjelaskan
mengapa para polisi bahasa ceriwis mengenai topik itu-itu saja: yaitu soal
yang ”sederhana” seperti saya singgung di awal. Sekaligus ia menunjukkan
kepada kita, pengetahuan (dasar) sebagian penutur bahasa Indonesia tentang
bahasa sendiri tampaknya tak pernah cukup. Ini terutama kita lihat dalam
ragam tulis.
Ironis. Mereka yang lebih sering berurusan dengan bahasa
malah tak sepenuhnya menguasai kaidah bahasa, baik dalam tataran tata kalimat
maupun tata makna. Dari sinilah kita dapat mengatakan, bila demikian maka
persoalan terletak bukan dalam bahasa, tapi dalam diri si penutur. Itulah
mengapa kita perlu sedikit kritis terhadap ungkapan ”soal bahasa”. Jika ada
orang menulis merubah padahal yang ia maksud adalah mengubah, di mana letak
soal bahasanya? Sudah sangat terang-benderang bahwa mengubah ’membuat jadi
berubah’ berasal dari kata dasar ubah yang memperoleh awalan me–. Tidak ada
awalan mer– dalam bahasa Indonesia. Karena itu, merubah tidak bisa lain
berarti ’menjadi rubah’, bukan ’membuat jadi berubah’.
Kita menyebut soal bahasa manakala soalnya menyangkut
bahasa. Ini contoh serampangan: terang-benderang itu perlu menggunakan tanda
hubung atau tidak? Mengapa anda harus ditulis dengan huruf awal kapital,
sedang engkau, kamu, sampeyan tidak? Soal yang tidak lagi sederhana saya
kira. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar