RUU
Pertembakauan,
Cara
Elegan Tolak Impor Regulasi
Zamhuri ; Peneliti
Pusat Studi Kretek Indonesia Puskindo Universitas Muria Kudus
|
KORAN
SINDO, 17 Februari 2015
Isu tembakau kembali menjadi salah satu trending topic setelah rapat paripurna
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin (9/2) lalu, mengesahkan 159 RUU
periode 2015-2019. Pada tahun 2015 telah ditetapkan prioritas 37 RUU untuk
dibahas, salah satu RUU yang menjadi prioritas adalah RUU Pertembakauan.
RUU Pertembakauan tersebut lahir dari perdebatan panjang
pro-kontra antarkelompok masyarakat mengenai produksi dan konsumsi tembakau
yang diklaim menimbulkan dampak masalah kesehatan, walaupun isu kesehatan
sendiri dinilai tidak berdiri sendiri menjadi faktor determinan dalam
merespons problem pertembakauan.
Di sisi lain, regulasi yang menjadi landasan yuridis dalam
pengaturan masalah pertembakauan juga dinilai kurang memadai. Regulasi yang
ada lebih banyak merespons isu tembakau dari dimensi kesehatan. Hal ini bisa
kita lihat pada UU Nomor 36/2009 tentang Kesehatan yang menegaskan tembakau
sebagai zat adiktif, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 102/2012 tentang
Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi
Kesehatan.
Padahal, pengaturan masalah tembakau tidak cukup hanya
dilihat dari isu kesehatan, karena masalahnya telah melebar menjadi persoalan
yang multiproblem. Masalah pertembakauan bukanlah masalah ”bisnis asap”
semata, namun kekuatan ekonominya sudah jauh merasuk ke dalam ”tulang sumsum”
sistem ekonomi masyarakat. Mulai hulu sampai hilir bisnis ”asap ajaib” ini
telah menggerakkan pasar ekonomi dengan omzet ratusan triliun rupiah.
Dari ilustrasi tersebut, rasanya sulit menerima
argumentasi bahwa masalah pertembakauan hanya semata problem kesehatan an sich, sehingga tembakau harus
mendapatkan perlakuan diskriminatif. Persoalannya bukan karena kita tidak
butuh sehat, melainkan relasi antara tembakau dan kesehatan masih menimbulkan
perdebatan.
Di sisi lain, disinyalir regulasi yang mengatur masalah
pertembakauan di Indonesia lebih banyak diadopsi (baca: diimpor) dari negara
asing. Contoh nyata regulasi impor adalah label warning yang tersaji dalam
bungkus rokok keretek. Regulasi ini dilaksanakan. Label yang berbunyi ”Merokok Dapat Menyebabkan Kanker,
Serangan Jantung, Impotensi dan Gangguan Kehamilan dan Janin”, sebetulnya
merupakan produk pemikiran dan hasil riset impor yang diterima tanpa reserve.
Klaim dalam label warning dalam bungkus keretek tersebut
menurut Wanda Hamilton dalam bukunya Nicotine
War - Perang Nikotin dan Para Pedagang Obat, berasal dari Surgeon General
(SG). SG sendiri merupakan bagian dari Departemen Kesehatan Masyarakat dan
Sains Pemerintah Amerika Serikat. SG didirikan oleh Kongres pada 1798.
Sekarang ini pejabatnya adalah Vice Admiral Regina M Benjamin MD MBA.
Laporan Surgeon General tentang pengaruh rokok terhadap
kesehatan pertama kali diterbitkan pada 1964. Laporan ini berisi hasil
penelitian kasus-kasus di AS tentang pengaruh rokok terhadap semua sistem
organ tubuh yang diperbaharui secara berkala. Menurut Wanda Hamilton, sejak
1988 Surgeon General telah disusupi orang-orang dari pabrik farmasi yang
membuat permen karet nikotin dan koyok nikotin, yaitu produk-produk pengganti
rokok.
Pertanyaan yang perlu dikemukakan dan belum mendapatkan
jawaban dari kegiatan riset sampai sekarang baik oleh regulator, akademisi,
maupun stakeholders kretek adalah bagaimana dengan rokok asli Indonesia
(kretek), apakah juga menyebabkan stigma penyakit sebagaimana klaim dalam
bungkus rokok tersebut?
Aisling Irwin dalam artikelnya berjudul Study casts doubt on heart Study casts
doubt on heart risk factorsrisk factors (International News, 25/8/1998), mengungkapkan, studi kardiologi
paling besar yang pernah dilakukan telah gagal menemukan hubungan antara
serangan jantung dengan faktor-faktor risiko klasik, seperti merokok dan
tingkat kolesterol yang tinggi. Bahkan, Monica study, melakukan kajian di 21
negara selama 10 tahun.
Para ilmuwan tidak dapat menemukan koneksi statistik
antara reduksi dengan perubahan-perubahan dalam obesitas, merokok, tingkat
tekanan darah, atau kolesterol. Hasil studi ini diumumkan the European Congress of Cardiology in
Vienna pada Agustus 1998. Studi yang paling lama dan paling besar di
dunia itu menghimpun informasi dari 150.000 serangan jantung, terutama di
Eropa Barat, dan Rusia, Islandia, Kanada, China, dan Australia.
Sekalipun hasil studi Monica yang didanai Badan Kesehatan
Dunia (WHO) mengungkapkan tidak adanya hubungan antara penyakit jantung dan
faktor risiko fisik, WHO tetap saja mengatakan bahwa faktor-faktor risiko
klasik (karena tembakau) merupakan kontribusi utama bagi risiko individual.
Instrumen Internasional
Seperti diketahui, saat ini di tingkat internasional ada
instrumen lega yang mengatur tentang distribusi rokok. Instrumen dari WHO
tersebut adalah Framework Convention on
Tobacco Control (FCTC). Indonesia dan Amerika sendiri sampai saat ini
belum menandatangani FCTC. FCTC adalah sebuah perjanjian (treaty) atau instrumen internasional
yang dibuat di bawah pengawasan WHO.
FCTC ini dibuat dan dikembangkan dengan maksud untuk
merespons epidemi penggunaan tembakau di era global. Anehnya beberapa produk
regulasi hukum tersebut selalu memberi penekanan yang lebih berat pada sektor
tembakau dan industri hasil tembakau (IHT). Padahal, ada stakeholder lain
yaitu pemerintah sebagai regulator, masyarakat sebagai konsumen, dan kelompok
kepentingan lain, baik lokal maupun asing, sebagai pressure group.
Menurut Ralf Dahrendorf, negara hukum yang demokratis
mensyaratkan empat perangkat kondisi sosial. Pertama, persamaan dalam setiap
proses politik. Kedua, tidak ada kelompok yang memonopoli. Ketiga, berlakunya
nilai-nilai yang boleh disebut sebagai kebajikan publik. Keempat, menerima
perbedaan dan konflik kepentingan sebagai realitas sosial yang tidak dapat
dihindarkan.
Sayangnya, produk regulasi hukum tembakau dan IHT tidak
sepenuhnya dapat menggambarkan terjaminnya prinsipprinsip tersebut. Hal ini
bias dilihat dari sikap ”given” pemerintah yang teresonansi dalam penerbitan
UU Kesehatan dan PP 109/2012 secara konten mengandung dan memuat copy paste dari isi traktat FCTC.
Sebagaimana pendapat Sinzheimer bahwa hukum tidak bergerak
dalam ruang hampa dan berhadapan dengan hal-hal yang abstrak, melainkan ia
selalu berada dalam suatu tatanan sosial tertentu dan manusia-manusia yang
hidup. Produk hukum di Indonesia seharusnya bersumber dan berdasar pada
ideologi Pancasila yang disebut Sang Proklamator Soekarno sebagai ”Philosofischegrondslad” dan harus
berdasarkan pada UUD 1945.
Secara teoretis, menurut kriminolog Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro IS Susanto, ada tiga perspektif mengenai pembentukan
undang-undang untuk menjelaskan hubungan antara hukum (undang-undang) dengan
masyarakat. Pertama, model konsensus. Model ini mendasarkan pada asumsi bahwa
undang-undang merupakan pencerminan dari nilai dasar kehidupan sosial.
Dengan demikian, pembuatan serta penerapan undang-undang
dipandang sebagai pembenaran hukum yang mencerminkan keinginan kolektif.
Kedua, model pluralis. Model ini menyadari adanya keanekaragaman
kelompok-kelompok sosial yang mempunyai perbedaan dan persaingan atas
kepentingan dan nilai-nilai.
Ketiga, model konflik. Menyadari kebutuhan akan adanya
mekanisme penyelesaian konflik, masyarakat sepakat terhadap struktur hukum
yang dapat menyelesaikan konflik tanpa membahayakan kesejahteraan masyarakat.
Substansi FCTC yang nyatanyata mendapatkan reaksi keras dari masyarakat dan
stakeholders keretek di Indonesia, tidak bisa diadopsi begitu saja
substansinya menjadi substansi hukum di Indonesia.
Semestinya produk regulasi hukum semangatnya adalah
mencari titik temu antar berbagai kepentingan. Produknya harus memperhatikan
berbagai dimensi dan sudut pandang, baik industri, petani, tenaga kerja,
serta dimensi lingkungan dan kesehatan. Produk hukum sebagai produk kebijakan
publik harus meramu nilai keadilan (filosofis), kemanfaatan (sosiologis), dan
bukan hanya semata menonjolkan aspek hukum (normatif) semata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar