Putusan
Sesat Pra-Peradilan
Oce Madril ; Direktur
Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM
|
KORAN
TEMPO, 18 Februari 2015
Hakim pra-peradilan akhirnya memenangkan tersangka kasus
korupsi Komisaris Jenderal Budi Gunawan (Komjen BG) atas Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Inti dari putusan hakim adalah bahwa penetapan status
tersangka atas Komjen BG tidak sah dan KPK tidak berwenang mengusut kasus
tersebut karena tersangka bukanlah penyelenggara negara dan penegak hukum,
serta tidak ada kerugian negara yang timbul.
Tentu saja putusan ini menyentak akal sehat kita.
Bagaimana tidak, argumentasi hukum yang disampaikan hakim bertolak belakang
dengan doktrin hukum dan beberapa peraturan perundang-undangan. Selain itu,
hakim melampaui kewenangannya karena terlalu jauh masuk ke substansi perkara,
yang bukan merupakan obyek pra-peradilan.
Pertimbangan hukum hakim yang paling tidak masuk akal
adalah pernyataan bahwa Komjen BG bukanlah seorang penegak hukum. Ini jelas
keliru. Polisi jelas penegak hukum. Dalam doktrin hukum, dikenal adanya tiga
pilar penegak hukum, yaitu polisi, jaksa, dan hakim. Ketiga profesi itulah
yang berfungsi sebagai aparatur negara, yang diberi tugas khusus untuk
menegakkan hukum.
Hal ini ditegaskan dalam berbagai dokumen hukum negara.
Doktrin ini dapat kita temukan dalam konstitusi UUD 1945. Kedudukan polisi
sebagai penegak hukum ditegaskan dalam Pasal 30 ayat 4 UUD 1945,
bahwaKepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai alat negara yang menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat, serta menegakkan hukum.
Polisi, menurut konstitusi, bertugas sebagai pelindung,
pengayom dan pelayan masayarakat sekaligus sebagai penegak hukum. Fungsi
polisi sebagai penegak hukum juga ditegaskan dalam Ketetapan MPR Nomor
VI/2000 dan Ketetapan MPR Nomor VII/2000, bahwa salah satutugas pokok
Kepolisian adalah menegakkan hukum.
Di tingkat UU, fungsi pokok kepolisian untuk menegakkan
hukum kembali ditegaskan. Dalam Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang
kepolisian, dinyatakan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi
pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat. Lagi-lagi, UU mengatur bahwa salah satu fungsi kepolisian adalah
menegakkan hukum.
Terlihat ada konsistensi pengaturan bahwa polisi adalah
penegak hukum yang mempunyai wewenang untuk menegakkan hukum demi menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun polisi tidak hanya sebagai penegak
hukum. Pada saat bersamaan, mereka juga berfungsi sebagai pelindung,
pengayom, dan pelayan masyarakat. Konstitusi dan UU tidak membeda-bedakan,
polisi mana yang penegak hukum dan polisi mana yang bukan.
Ketika seorang warga negara diangkat menjadi anggota
kepolisian, saat itulah yang bersangkutan menjadi aparat penegak hukum. Bahwa
ada pembagian tugas dalam organisasi kepolisian, itu semata-mata merupakan
bagian dari tata laksana untuk memudahkan pelaksanaan tugas dan wewenang
kepolisian. Tidak ada hubungannya dengan status sebagai penegak hukum atau
bukan. Istilah aparat penegak hukum dalam UU KPK juga ditujukan bagi tiga profesi/institusi
penegak hukum, yakni polisi, jaksa, dan hakim.
Kekeliruan lain yang dilakukan hakim pra-peradilan adalah
ihwal kewenangan KPK. Pihak Komjen BG mempersoalkan kriteria kasus yang dapat
ditangani KPK berdasarkan Pasal 11. Dalam pasal itu, dinyatakan bahwa salah
satu kriteria yang berlaku terkait dengan kerugian negara minimal Rp 1
miliar. Secara utuh, ketentuan itu berbunyi,KPK berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang (a)
melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang
ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum atau penyelenggara negara, (b) mendapat perhatian yang meresahkan
masyarakat, dan/atau (c) menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1
miliar.
Harus digarisbawahi, ada kata-kata "dan/atau"
pada poin b.Menurut kamus bahasa Indonesia, kata penghubung
"dan/atau" dapat diperlakukan sebagai "dan", tapi dapat
juga diperlakukan sebagai "atau". Tanda garis miring itu mengandung
makna "pilihan". Jadi, tiga kriteria yang disebutkan dalam Pasal 11
itu dapat berlaku secara kumulatif dan bisa juga secara alternatif.
Poin b dan c dalam Pasal 11 merupakan pilihan. Jadi tidak
mutlak harus ada kerugian negara dan juga tidak harus mendapat perhatian
masyarakat, asalkan pelakunya adalah aparat penegak hukum dan penyelenggara
negara. Mengapa UU tidak mengharuskan timbulnya kerugian negara? Karena
memang tindak pidana korupsi tidak hanya yang berhubungan dengan kerugian
negara, tapi juga suap dan gratifikasi serta bentuk tindakan lainnya yang
boleh jadi tidak menimbulkan kerugian negara yang nyata di dalamnya.
Tampak jelas bahwa hakim pra-peradilan tidak memahami UUD
1945, UU KUHAP, UU Kepolisian, dan UU KPK dengan baik. Pemahaman yang sesat
menyebabkan lahirnya putusan yang sesat. Karena itu, putusan sesat ini harus
dikoreksi. Upayahukum luar biasa melalui peninjauan kembali ke Mahkamah Agung
dapat ditempuh KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar