Presiden
Peragu
Firdaus Cahyadi ; Aktivis LSM di Jakarta
|
KORAN
TEMPO, 09 Februari 2015
Sial benar menjadi warga negara Indonesia. Bagaimana
tidak, puluhan tahun hidup di bawah kekuasaan seorang presiden otoriter.
Setelah sang presiden otoriter jatuh, muncul presiden pencitraan. Sesudah
presiden pencitraan berlalu, kini warga negara Indonesia harus dipimpin oleh
seorang presiden peragu.
Presiden peragu, mungkin itu predikat yang pas dilekatkan
kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Polemik KPK dan Polri yang sekarang
terjadi seharusnya tidak akan berkepanjangan bila Presiden tegas menolak
tekanan untuk mencalonkan Kapolri yang telah mendapat Stabilo merah dari KPK.
Seperti diungkapkan oleh Ketua Tim 9 bahwa inisiatif pencalonan Kapolri yang
jadi tersangka KPK bukan berasal dari Jokowi.
Akibat keraguan Presiden untuk menolak tekanan itu,
muncullah polemik KPK versus Polri secara berkepanjangan. Meskipun polemiknya
sudah berkepanjangan, Presiden masih tampak ragu dalam mengambil keputusan. Akibatnya,
serangan bertubi-tubi diarahkan ke KPK. Semakin lama Presiden dalam keraguan,
semakin masif pula serangan ke KPK. Dan jika itu terjadi, cepat atau lambat
KPK benar-benar akan hancur.
Komitmen Presiden pada awal masa pemerintahannya yang akan
menciptakan pemerintahan yang bersih pun akan terbang melayang akibat
keraguan Jokowi. Kepentingan segelintir elite yang menyebabkan sang presiden
menjadi sosok peragu. Padahal harapan rakyat begitu kuat disandarkan
kepadanya.
Sebaliknya, sosok peragu tidak melekat pada Presiden
Jokowi ketika mengambil keputusan yang tidak merugikan kepentingan segelintir
elite politik. Salah satu keputusan Presiden Jokowi yang cepat itu adalah
menaikkan harga bahan bakar minyak di tengah menurunnya harga BBM di dunia.
Kebijakan menaikkan harga BBM itu menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa
kebutuhan masyarakat. Beberapa hari kemudian harga BBM itu kembali
diturunkan. Namun sayang, harga kebutuhan masyarakat tidak ikut turun,
meskipun harga BBM sudah beberapa kali diturunkan.
Ketidakraguan Presiden Jokowi juga tampak ketika
memutuskan untuk menyelamatkan Lapindo dari tanggung jawabnya dalam
menyelesaikan korban lumpur. Tidak ada kepentingan elite politik yang
terganggu oleh upaya penyelamatan Lapindo ini, meskipun itu akan menjadi
preseden buruk dalam pengelolaan lingkungan hidup ke depannya.
Presiden Jokowi juga tidak ragu-ragu ketika memutuskan
bahwa Dewan Nasional Perubahan Iklim, yang semula berada langsung di bawah
presiden, dilebur di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tidak
ada kepentingan elite politik yang terganggu oleh kebijakan ini, meskipun itu
berarti akan melemahkan upaya pemerintah dalam mengatasi dampak perubahan
iklim.
Namun, dalam kasus konflik KPK dan Polri ini, Presiden
benar-benar menjadi sosok yang peragu. Berbagai kewenangan Presiden Jokowi
yang sebenarnya bisa digunakan untuk mencegah terjadinya konflik menjadi
lebih runyam tidak dilakukan.
Kepentingan elite benar-benar telah membuat Presiden
Jokowi menjadi sosok peragu. Upaya pemberantasan korupsi benar-benar dalam
ancaman akibat keraguan Presiden Jokowi. Kita harus terus-menerus meyakinkan
presiden kita bahwa ia bukan lagi petugas partai politik, sehingga tidak
perlu ragu untuk melawan segala tekanan dari segelintir elite politik itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar