Desain
Produk dan Value-Based Economy
Firmanzah ; Rektor Universitas Paramadina,
Guru
Besar FEB Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 09 Februari 2015
Pencetus gagasan value-based economy dapat kita telusuri
dari pemikir-pemikir ekonomi yang tergabung dalam Austrian School pada akhir
abad ke-19 dan awal abad ke-20. Sejumlah nama seperti Carl Menger, Friedrich
von Wieser, Ludwig von Mises, Friedrich von Hayek, bahkan sampai Joseph
Schumpeter secara kolektif menggagas pentingnya nilai (value) dalam sistem perekonomian. Gagasan mereka sekaligus
membedakan dalam perspektif neoklasik bahwa nilai suatu barang bersifat
independen dari konsumen dan inheren dari karakteristik dasar material (bahan
baku).
Menurut Austrian-School, nilai sebuah produk merupakan
upaya engineering, perekayasaan dan
inovasi kreatif untuk meningkatkan nilai tambah sebuah produk atau jasa.
Upaya ini sekaligus memberikan dasar filosofis konsep diferensiasi yang kita
kenal saat ini. Di tengah kompetisi ekonomi yang semakin terbuka, baik di
tingkat global maupunregional, strategidankebijakan nasional untuk
meningkatkan nilai tambah (value-added)
dari produk dan jasa yang dihasilkan menjadi semakin krusial.
Banyak penelitian ilmiah yang menunjukkan kebijakan
nasional dan industri untuk meningkatkan nilai tambah merupakan sumber dari
keunggulan bersaing suatu negara (competitive-advantage).
Negara-negara di Skandinavia, Jepang, Korea Selatan, Singapura, Amerika
Serikat, India, dan China serius meningkatkan nilai tambah produk atau jasa
yang dihasilkan. Salah satu kebijakan unggulan yang mereka lakukan adalah
menjadikan sekaligus mendorong “desain-produk” dan “desain-industri” bagian
penting dan strategis dalam sistem rantai produksi.
Misalnya saja pada 2003 Pemerintah Selandia Baru
menginvestasikan tidak kurang dari 10 juta dolar Selandia Baru selama lima
tahun untuk diseminasi informasi tentang desain sekaligus membantu banyak
perusahaan Selandia Baru untuk meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan.
India pada 2007 juga meluncurkan program yang disebut National Design
Strategy untuk meningkatkan kualitas dunia pendidikan, penggunaan desain
untuk UMKM, intellectual property,
national branding, dan memperbaiki desain produk ekspor mereka.
Hal yang sama juga dilakukan Taiwan melalui Cultural and Creative Industries
Development Plan untuk meningkatkan kualitas produk industri melalui
serangkaian aktivitas dari mulai inovasi, desain, dan branding. Di kawasan ASEAN, sejak 2003 Pemerintah Singapura juga
telah meluncurkan program yang dikenal sebagai Design Singapore Initiative. Inisiatif yang diambil oleh
Pemerintah Singapura ditujukan utamanya untuk meningkatkan kualitas desain
produk dan industri sehingga aktivitas ini menjadi budaya masyarakat
Singapura.
Bila produk dan merek Korea Selatan saat ini memiliki
reputasi unggul dan menjadi standar industri global (misalnya Samsung, KIA,
Daewoo, Hyundai), tidaklah mengherankan karena Pemerintah Korea Selatan telah
lama mengampanyekan sebuah program terintegrasi tentang pentingnya desain
bagi industri. Rencana lima tahunan tentang desain telah dilakukan oleh Korea
Selatan sejak 1993 untuk meningkatkan kesadaran dan manfaat akan desain
terhadap daya saing produk mereka.
Banyak studi ilmiah yang menunjukkan bahwa mereka yang
menguasai desain dalam rantai produksi akan mengambil bagian profit yang
paling besar. Misalnya studi yang dilakukan Dedrick et al (2008) menunjukkan,
dalam porsi pembagian keuntungan yang diterima oleh pihak yang terlibat dalam
iPod dan notebook , Apple mendapatkan keuntungan terbesar dibandingkan dengan
pemasok, distributor, perakit (assembler)
dan peritel.
Salah satu faktor yang menjelaskan ini adalah kemampuan
Apple me-redesign produk secara inovatif menyesuaikan seiring pergeseran
kebutuhan masyarakat akan perangkat musik portabel. Kompetensi inilah yang
membuat bargaining power Apple jauh
lebih kuat dibandingkan dengan pihakpihak yang terlibat dalam pembuatan
perangkat tersebut.
Belajar dari pengalaman sejumlah negara dan perusahaan
multinasional, sudah saatnya Indonesia melihat lebih serius peran “desain”
terhadap penciptaan daya saing produk dan industri nasional. Realitas saat
ini menunjukkan bahwa untuk industri automotif nasional, sebagian besar
produk yang dihasilkan masih menggantungkan pada “design product“ dari negara lain.
Fenomena yang sama juga kita temui di sejumlah produk
elektronik, sepatu, consumers-product,
dan produk tekstil. Sebagian besar perusahaan-perusahaan di Indonesia
memosisikan diri sebagai unit produksi dan perakitan. Sehingga, tidaklah
mengherankan bila margin keuntungan dalam rantai produksi terhadap produk
tersebut relatif kecil yang diterima oleh pihak Indonesia dibandingkan dengan
perusahaan yang memiliki hak paten dan desain produk tersebut.
Selain itu juga, kurang berkembangnya “design-product“ di Indonesia membuat terbatasnya munculnya
produk dan merek asli Indonesia. Padahal bakat-bakat kreatif dan inovatif
yang dimiliki putra-putri Indonesia sangatlah luar biasa. Sejumlah sektor
seperti industri kreatif misalnya batik dan tenun telah memunculkan produk
dan brand asli Indonesia.
Namun, dalam industri lainnya seperti automotif,
elektronik, sepatu, tekstil, dan consumersproduct masih membutuhkan dukungan
dan dorongan dari Pemerintah Indonesia untuk bisa berkembang. Dukungan
pemerintah untuk mendorong pemanfaatan desain dalam proses produksi industri
UMKM, menengah, dan besar akan meningkatkan daya saing produk nasional di
tengah persaingan regional dan global.
Untuk mewujudkan sistem ekonomi berbasis nilai (value based economy), sudah saatnya kita
beralih dari slogan “made in Indonesia“ menjadi “designed by Indonesia“ dan
bahkan menjadi “brand of Indonesia“. Dari strategi yang menekankan hanya pada
aspek produksi dan assembly menjadi
negara yang juga memiliki kemampuan mengembangkan desain produk yang unggul,
menarik, dan berdaya saing.
Seringkali ketika negara sudah mampu mengembangkan “design
product“ secara komprehensif dan terpadu, fasilitas produksinya juga akan
berkembang. Bahkan besar kemungkinan bila kemampuan “design-product“
dikuasai, akan semakin banyak perusahaan nasional yang memiliki fasilitas
produksi di negara lain.
Dengan kata lain, perusahaan nasional naik kelas menjadi
perusahaan regional atau multinasional. Namun, tidak sebaliknya, ketika suatu
negara hanya fokus pada produksi dan perakitan, bukan berarti lantas negara
tersebut akan maju dalam “design-product“.
Perusahaan multinasional biasanya akan tetap
mempertahankan “desain” berada di headquarter dan menjadikan subsidiary di banyak negara sebagai
unit produksi atau pemasaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar