Paradoks
Bakamla
Soleman B Ponto ; Kepala Badan
Intelijen Strategis TNI 2011-2013
|
KOMPAS,
11 Februari 2015
Langkah taktis Presiden Joko Widodo yang membubarkan
sepuluh lembaga nonstruktural (dan akan ditambah 40 lembaga nonstruktural
lain) mendapat banyak apresiasi. Langkah itu, di samping menghemat anggaran,
juga merampingkan birokrasi yang pada ujungnya membuat pelayanan kepada
rakyat menjadi lebih mudah, cepat, dan baik. Namun, langkah tersebut menjadi
paradoks ketika Presiden Jokowi pada Desember 2014 justru melahirkan lembaga
baru yang bernama Badan Keamanan Laut (Bakamla). Badan baru ini menambah
panjangnya lembaga yang bertugas di laut. Visi maritim yang menjadi ikon
pemerintahan Jokowi-JK di satu sisi memang harus diapresiasi dengan sejumlah
catatan. Namun, di sisi lain harus dikritisi agar jangan sampai kebablasan.
Beberapa hal yang menjadi paradoks terkait lahirnya
Bakamla adalah, pertama, lembaga ini dibentuk melalui Peraturan Presiden
Nomor 178 Tahun 2014 berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan. Sebagaimana diatur UU No 12 Tahun 2011 tentang hierarki pembentukan
undang-undang, maka perpres tak boleh bertentangan dengan UU yang jadi dasar
pembentukannya, dan perpres dibuat berdasarkan UU yang memerintahkannya.
Pasal 2 Perpres No 178/2014 berbunyi, ”Bakamla bertanggung jawab kepada
Presiden melalui Menko Polhukam”. Adapun Pasal 60 UU No 32/2014 menyatakan,
”Badan Keamanan Laut berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Presiden melalui menteri yang mengoordinasikannya”.
Timbul pertanyaan, siapa sebenarnya menteri yang berhak
mengoordinasikan Bakamla? UU No 32/2014 dibuat untuk menjadi pedoman bagi
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dalam
membangun kelautan. Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kelautan adalah Menteri Kelautan dan Perikanan yang berada di bawah
koordinasi menteri koordinator kementerian. Pola koordinasi yang ”mendua” dan
cenderung tidak jelas ini pada ujungnya akan menimbulkan benturan.
Bakamla bukan penyidik
Kedua, terkait dengan tugas Bakamla. Pasal 61 berbunyi,
”Badan Keamanan Laut mempunyai tugas melakukan patroli keamanan dan
keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia”.
Poin penting adalah: ”melakukan patroli”.
Artinya, tidak ada tugas spesifik lain yang menjadi penting untuk
segera dibentuk.
Tugas ini mengakibatkan terjadinya tumpang tindih
kewenangan antar-satuan yang beroperasi di laut. Mari kita bandingkan dengan
tugas-tugas dari KPLP (Sea and Coast Guard) yang terdapat pada BAB XVII Pasal 277 Ayat 1 UU No 17 Tahun
2008 tentang pelayaran. Dinyatakan pada poin (d): pengawasan dan penertiban
kegiatan salvage, pekerjaan bawah air, serta eksplorasi dan eksploitasi
kekayaan laut. Tugas ini menjadi
sangat luas, layaknya ”sapu jagat”,
karena mencakup eksplorasi dan eksploitasi kekayaan laut. Termasuk
pengeboran minyak di laut dan penangkapan ikan masuk dalam tugas KPLP.
Ketiga, Bakamla bukanlah penegak hukum. Anggotanya bukan
penyidik sehingga penegakan hukum atas pelanggaran terhadap UU No 32/2014
tentang kelautan tidak mutlak harus dilakukan Bakamla, tetapi dapat dilakukan
satuan lain sepanjang diberikan tugas dan kewenangan oleh UU. Namun, dalam
kewenangan, Bakamla dinyatakan hanya berwenang: (a) melakukan pengejaran
seketika; (b) memberhentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan menyerahkan
kapal kepada instansi terkait yang berwenang untuk pelaksanaan proses hukum
lebih lanjut. Lagi-lagi, hal ini menjadikan Bakamla tidak pada posisi firm
atau jelas dalam melakukan tugasnya, bahkan bisa jadi akan bertabrakan dengan
lembaga lain.
Keempat, pada UU No 32/2014 tentang Kelautan sama sekali
tidak ditemukan ketentuan bahwa Bakamla harus dilengkapi dengan kapal.
Artinya, bagaimana Bakamla bisa melaksanakan tugasnya, sementara dalam UU-
nya dengan jelas dan pasti tidak dinyatakan harus dilengkapi dengan sarana
bernama kapal. Hal ini sangat berbeda dengan KPLP dan Pengawas Perikanan yang
dengan jelas dinyatakan pada UU bahwa dalam menjalankan tugasnya dilengkapi dengan kapal.
Pemborosan
Dari empat poin di atas, sangat jelas bahwa pembentukan
Bakamla menjadi sebuah paradoks, baik pada tataran koordinasi di tingkat
kementerian maupun di lapangan. Paradoks lain, ketika pembentukan Bakamla dikaitkan
dengan upaya pemerintahan Jokowi yang bersemangat melakukan penghematan.
Dengan posisi Bakamla yang tidak jelas dalam melakukan tugasnya, bisa
dibayangkan pemborosan negara, baik dihitung dari sisi anggaran belanja untuk
gaji dan operasional nonteknis maupun biaya operasional teknis.
Sebagai perbandingan sederhana, Panglima TNI Jenderal
Moeldoko mengatakan, satu kapal perang kelas fregat dengan panjang sekitar
100 meter butuh bahan bakar solar Rp 900 juta untuk berlayar sehari penuh.
Bisa dibayangkan biaya operasional kapal Bakamla nantinya (kalaupun ada, dan
entah kapal itu bersumber dari mana), sementara peran dan wewenangnya tidak
jelas alias mubazir.
Tak heran, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan
Keamanan 2009-2014 Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto pada April 2014
menyatakan bahwa belum ada ide besar untuk membentuk Bakamla. Alasannya,
konsekuensi aspek legalnya masih perlu dikaji lebih dalam. Bukan hanya aspek legal, ada banyak aspek
lain yang jadi indikasi bahwa Bakamla tidak diperlukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar