Kongres
Umat Islam
Fajar Riza Ul Haq ; Direktur
Eksekutif Maarif Institute for Culture and Humanity
|
KOMPAS,
11 Februari 2015
Majelis Ulama Indonesia menggelar Kongres Umat Islam
Indonesia VI dalam kurun 8-11 Februari di Yogyakarta. Pertemuan akbar lima
tahunan ormas Islam berskala nasional itu mengusung tema ”Penguatan Peran
Politik, Ekonomi, dan Sosial Budaya Umat Islam untuk Indonesia yang
Berkeadilan dan Berperadaban”. Sekitar 775 peserta diundang mewakili ormas
Islam tingkat pusat, perguruan tinggi, pondok pesantren, serta pengurus MUI
tingkat pusat dan provinsi (www.mui.or.id). Menurut Ketua Umum MUI Din
Syamsuddin, tujuan kongres adalah membangun komitmen dan aksi bersama di
antara semua ormas Islam demi kepentingan negara dan bangsa berdasarkan
Pancasila, khususnya pada ranah politik, ekonomi, dan kebudayaan.
Menariknya, ormas yang dilibatkan berpartisipasi tak hanya
mereka yang mendukung Pancasila, tetapi juga penganut pandangan sebaliknya.
Menjelang Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) 2010, pengurus Dewan Dakwah
Islam Indonesia meminta MUI mengundang perwakilan Hizbut Tahrir Indonesia,
Majelis Mujahidin Indonesia, dan Front Pembela Islam. Dalam perhelatan
kongres tahun ini, hanya dua nama ormas terakhir yang diundang panitia
kongres. Namun, usul mengundang kelompok Syiah mendapat penolakan keras dari
mayoritas internal MUI.
Konflik dan konvergensi
Sejarah kongres umat Islam diawali oleh Kongres Al Islam
Hindia Belanda pada 1922 di Cirebon. Ketegangan antara kelompok Muslim
modernis yang direpresentasikan Muhammadiyah dan tradisionalis, kelak
berhimpun dengan membentuk NU, pada awal abad ke-20 melatari pertemuan tokoh
gerakan Islam pada masa pra-kemerdekaan itu. Sudah muncul fenomena saling
menyesatkan di antara sesama umat Islam. Persatuan umat Islam jadi isu
sentral. Kongres diharapkan jadi ajang dialog dan mencari kesepahaman di
tengah perbedaan paradigma dan perilaku keagamaan. Terjadi perdebatan hebat
di antara kedua kelompok tersebut hingga nyaris menggagalkan jalannya
kongres.
Upaya meredakan perseteruan antara ”Mazhab Yogyakarta” dan
”Mazhab Surabaya” terus dilakukan. Kongres berikut- nya diadakan pada 1924
hingga 1926. Namun, selalu berujung pada kebuntuan. Memang kontestasi Muslim
modernis dan Muslim tradisionalis telah jadi arus besar dalam dinamika
gerakan keagamaan di banyak daerah pada era kolonial Belanda, tidak
terkecuali di Sumatera.
Namun, perlu dicatat, ada sejumlah tokoh Islam independen
di Surakarta yang enggan terbawa arus ketegangan NU dan Muhammadiyah, seperti
ditunjukkan studi M Nashier (1992) ketika mengupas kemunculan gerakan
pembaruan di tingkat lokal pada 1926. Kalangan pemuka agama independen ini
bersepakat mendirikan Jamaah Al Islam yang memoderasi Muhammadiyah dan NU.
Kebijakan pemerintah kolonial yang kian mengebiri peran
politik dan ekonomi umat Islam telah menyadarkan elite Muslim sehingga
menurunkan tensi pertikaian kelompok modernis dan tradisionalis. Kaum
modernis mulai menyadari, proses pemurnian membutuhkan waktu yang panjang dan
kaum tradisionalis bersikap realistis bahwa ”Mazhab Yogyakarta” akan tetap
tumbuh di lingkungannya (Ricklefs, 2008: 397). Perjumpaan intens kedua arus
besar ini dalam kancah perjuangan kemerdekaan dan pasca kemerdekaan mengarah
pada konvergensi, bahkan kohabitasi, seiring dengan mobilitas sosial,
ekonomi, dan politik. Misalnya, elite Muhammadiyah dan NU membidani
pembentukan Majlis Islam A’laa Indonesia pada 1937. Keduanya berperan besar
dalam pembentukan Partai Masyumi yang lahir dari keputusan kongres umat Islam
pada 1945 meski akhirnya bersimpang jalan. Semakin berkembangnya institusi
pendidikan dan keberagamaan inklusif membuat konvergensi kedua massa ormas
Islam itu kian mendekat.
Optimisme
Ada rentang 93 tahun antara penyelenggaraan KUII VI dan
Kongres Al Islam pada 1922. Jelas ada beda konteks dan panggilan zaman
masing-masing. Orientasi Kongres Al Islam sebatas menengahi konflik domestik
umat Islam yang berporos pada perebutan klaim kebenaran. Namun, arah KUII VI
lebih pada upaya mentransformasikan peran umat Islam pada ranah publik dalam
koridor kebangsaan yang berpijak pada kemajemukan.
Umat Islam Indonesia sudah tidak lagi terbelenggu oleh
imajinasi Islamisasi negara seiring dengan penerimaan Pancasila sebagai
ideologi bernegara. Survei global Gallup pada 2002 memperlihatkan mayoritas
pemeluk Islam di dunia tak menginginkan negara agama dan tak pula demokrasi
sekuler. Mereka lebih memilih model alternatif yang memadukan prinsip
keagamaan dan nilai demokratis (Esposito
& Mogahed, 2008: 91). Menurut An Naim, pilihan jadi negara netral tak
otomatis secara kaku memisahkan Islam dan negara, tetapi justru negara
berkewajiban mengatur hubungan Islam dan politik. Negara tak semata-mata
menghormati agama dan kepercayaan warganya masing- masing, tetapi juga
memfasilitasi mereka hidup sesuai dengan keyakinannya.
Soekarno meyakini negara Pancasila bukanlah monopoli satu
kelompok agama karena prinsip keadilan dan kemajemukan merupakan identitas
bangsa. Kesadaran inilah yang mendorong mantan Menteri Agama Munawir Sjadzali
berani mendeklarasikan bahwa model negara modern yang dianut Indonesia adalah
model terbaik yang pernah dipikirkan sehingga harus jadi tujuan akhir bagi
Muslim Indonesia. Argumentasinya, Pancasila merupakan kerangka yang kukuh dan
memungkinkan pendefinisian konsep kewarganegaraan berdasarkan alasan sekuler
maupun agama. Ideologi Pancasila memiliki komitmen terhadap pluralisme dan
toleransi agama yang sangat berarti dalam pengembangan etos kewargaan yang
inklusif (2007: 434). Negara Pancasila menjadi model terbaik untuk bangsa
Indonesia yang merefleksikan semangat kebinekaan yang mengakar dalam sejarah
Nusantara.
Model negara Pancasila dan pengalaman demokratisasi
politik yang mulus merupakan modal penting bangsa Indonesia menjadi kiblat
baru dunia Islam di abad ke-21. Kondisi dunia Islam di Timur Tengah hari ini
masih terus dihantam konflik politik sektarian, ketakpastian politik, dan
perang saudara. Kekejian NIIS dan kompleksitas konflik negara-negara Timur
Tengah telah menghantui wajah dunia Islam.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar