Oposisi
Dinamis Presiden
Mirza Satria Buana ; Dosen
Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat,
PhD Candidate dari TC Beirne School of Law University of
Queensland Australia
|
REPUBLIKA,
05 Februari 2015
Dalam rangkaian kunjungan kenegaraan pertama pada masa
“bulan madu” kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo bertolak ke ibu kota
Negara Bagian Queensland, Brisbane, guna menghadiri forum internasional G-20
pada November 2014. Di sela kesibukan sebagai salah satu tamu kehormatan,
Presiden Jokowi menghadiri acara ramah-tamah dengan masyarakat dan mahasiswa
Indonesia di Brisbane.
Presiden Jokowi dalam pidato singkatnya menyampaikan satu
pesan penting dalam perbincangan akrab dengan Presiden Cina, Xi Jinping, pada
saat mereka bertemu di forum KTT ASEAN. Salah satu poin terpenting dari
perbincangan dengan Presiden Cina adalah perlunya menyatukan partai politik
di Indonesia sebagaimana yang sudah dilakukan Pemerintah Cina. Hal tersebut
penting dilakukan guna mendukung program kerja pemerintah.
Pernyataan Presiden Jokowi ini dapat ditafsirkan sebagai
niatannya memperkuat barisan partai politik pendukung pemerintah, Koalisi
Indonesia Hebat (KIH), yang dikomandani PDI Perjuangan. Konsekuensinya tentu
memperlemah, menjinakkan, atau bahkan menegasikan barisan partai oposisi,
Koalisi Merah Putih (KMP), yang digawangi Partai Gerindra dan Partai Golkar.
Namun, idealitas Presiden Jokowi ini berbanding terbalik
dengan kondisi politik kekinian. Konflik kelembagaan antara KPK dan Polri
jilid ketiga menjadi barometer yang menunjukkan pertentangan diametral antara
hati nurani Presiden dan semangat antikorupsi masyarakat dengan garis
kebijakan koalisi pendukung pemerintah yang terkesan elitis dan pragmatis.
Alih-alih mendukung aspirasi rakyat yang tidak menginginkan seorang tersangka
kasus korupsi sebagai kapolri, KIH malah mendukung dan terkesan menekan
Presiden Jokowi untuk segera mengangkat yang bersangkutan sebagai kapolri.
Panasnya konflik KPK dengan Polri coba didinginkan
Presiden Jokowi dengan menggagas pertemuan bersama Prabowo Subianto, pemimpin
KMP, Kamis (29/1) lalu. Pertemuan ini dapat dibaca sebagai siasat penyeimbang
dan penyelamatan posisi Presiden yang kerap digerogoti koalisi pendukung
pemerintah. Pertemuan singkat dengan Prabowo mungkin sudah menyadarkan
Presiden Jokowi tentang pentingnya oposisi.
Ian Shapiro dalam the
Moral Foundation of Politics (2003) menyatakan, sistem pemerintahan
demokrasi tidak bisa berkembang secara dinamis tanpa kehadiran oposisi.
Oposisi merupakan manifestasi konkret dari nilai abstrak demokrasi. Demokrasi
hanya akan dapat berkembang dengan dinamisnya kontestasi gagasan antara
pemerintah dan oposisi. Hal ini tentu berbeda dengan paradigma sentralistik
pemerintahan Cina yang pernah menjadi rujukan politik Presiden Jokowi.
Oposisi sering dimaknai peyoratif. Oposisi kerap dianggap
sebagai segerombolan orang-orang kalah yang tidak terpilih dan tergerus dalam
kontestasi demokrasi prosedural. Hal yang tentu bisa saja benar, tapi oposisi
juga tidak selamanya bertujuan menggulingkan pemerintahan yang sah lewat
cara-cara yang manipulatif dan inkonstitutional. Oposisi juga bisa dimaknai
sebagai institusi kontrol (watchdog)
yang bertujuan menyeimbangkan dan sekaligus mengelola kekuatan penyeimbang
bagi pemerintah. Bila terjadi kebuntuan (deadlock)
dalam pemerintahan, oposisi dapat berperan sebagai alternatif yang nyata (viable alternative).
Politik secara inheren berkarakter dinamis dan luwes.
Adagium kuno yang menyebut, “tiada kawan abadi dalam politik” adalah benar
adanya. Presiden Jokowi sebagai administrator utama negara sekaligus sebagai
politisi dituntut aktif dan luwes bergerak guna mengelola kekuasaannya.
Presiden Jokowi harus ingat bahwa dialah eksekutif utama, pejabat pembuat
komitmen dan kebijakan tertinggi di Republik ini, bukan oligarki-oligarki
partai politik.
Mencermati kontestasi politik kekinian dapat disimpulkan
bahwa partai politiklah yang seharusnya lebih dulu “direvolusi mental”.
Parpol terutama yang berkuasa (ruling parties) cenderung abai akan aspirasi
konstituen utamanya yakni rakyat. Parpol juga cenderung alpa terhadap nilai
etika dan moral politik. Hal yang sebenarnya dapat menghancurkan kekuasaan
yang sudah diraih dengan susah payah dalam sekejap.
Sejatinya negara sudah memberi tapal normatif tentang
etika kehidupan bernegara dalam Ketetapan MPR RI No VI/MPR/2001 dan
Undang-Undang No 2 Tahun 2011 tentang Parpol. Namun, sepertinya acuan dan
kaidah normatif tersebut tidaklah digubris para politisi parpol.
Dalam kondisi di mana parpol merasa dirinya di atas angin,
tidak ada cara lain selain rakyat harus “memaksa” parpol untuk berubah dengan
terjun langsung ke arena politik. Laclau dan Mouffe (1985) menyebut fenomena
ini sebagai demokrasi radikal, di mana demokrasi tidak lagi dimaknai sebatas
konteks prosedural dan institusional, tetapi lebih inklusif, melingkupi
nilai-nilai etik-politik dalam masyarakat. Radikalisasi dari demokrasi
melahirkan entitas politik militan-radikal yang disebut Laclau sebagai “societas”
yang disatukan oleh tujuan dan kepentingan publik yang sama.
“Societas” sebagai gerakan sosial tentu harus berjangkar
pada nilai moral dan etik sebagai hukum tertinggi. “Societas” dapat
termanifestasi dalam gerakan solidaritas berbasis nilai moral dan
nirkepentingan yang disokong penuh kekuatan media sosial. “Societas” dapat
menjadi alat penekan persuasif (soft
power) terhadap hegemoni politik elite. Kisah sukses pergerakan politik
radikal dapat dilihat dari bangkitnya partai “pelangi” Syriza sebagai pemenang
pemilu di Yunani. Syriza merupakan gabungan dari berbagai entitas politik,
semisal “merah” (buruh), “ungu” (feminis), dan “hijau” (aktivis lingkungan
hidup).
Alhasil, filsuf Yunani kuno, Plato pernah berkata, “Hukuman bagi orang baik dan bijak yang
menolak berkontribusi dalam politik adalah kesengsaraan dipimpin oleh
orang-orang brengsek.” Sudah saatnya pemerintah yang baik dikawal oleh
orang-orang yang baik. Mari bersama-sama kita (rakyat) mengawal bangsa ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar