New
Zealand Waitangi Day
dan
Reformasi Sektor Publik di Indonesia
Rudy M Harahap ; Pegawai BPKP;
Sedang
mengambil studi Phd di Auckland University of Technology, New Zealand
|
DETIKNEWS,
09 Februari 2015
6 Februari adalah Hari Waitangi (Waitangi Day), di mana
perjanjian antara Kerajaan Inggris dan kerajaan-kerajaan atau suku-suku di
Aotearoa (New Zealand) ditandatangani sekitar 174 tahun yang lalu (6 Februari
1840) di sebuah daerah yang disebut Waitangi. Bisa dibilang, inilah hari
jadinya Undang-Undang Dasar (UUD), sebuah konstitusi bernegara, yang hanya
tiga paragraf, disahkan di New Zealand.
Anda bisa bayangkan, sebuah negara yang dikenal begitu
majunya, ternyata hanya dibentuk dengan sebuah kontrak antara Kerajaan
Inggris dengan sekitar 540 kepala suku di New Zealand. Kontrak ini bukannya
tidak meninggalkan masalah, justru pada hari inilah terjadi perdebatan
kembali tentang isi kontrak tersebut.
Karena itu, pada hari inilah, orang-orang asli (Maori) memperdebatkan
kembali hak-hak mereka yang mesti ditunaikan oleh para pendatang kulit putih
(Pakeha) dan juga sebaliknya. Masing-masing pihak masih mempertanyakannya.
Untuk menuntaskan ini, bahkan sampai dibuat peradilan tersendiri. Banyak
kasus yang akhirnya bisa diselesaikan, dengan menunaikan secara cash
settlement, permintaan maaf, atau cara lain.
Di tengah kelabilan fondasi bernegara, hebatnya, negara
ini bisa maju terus. Pertumbuhan yang menakjubkan dan terkendali. Selalu
terkenal sebagai negara yang termasuk paling bersih dari KKN, negara yang
paling nyaman ditinggali, dan seterusnya.
Ketika mereka berhasil mereformasi negaranya sekitar tahun
1984 - 1990, di bawah Partai Buruh--mirip partai aliran sosialis kiri yang
sekarang memimpin Indonesia--banyak tulisan akademik yang disusun. New
Zealand selalu menjadi contoh keberhasilan reformasi di bawah teori New
Public Management (NPM) setelahnya, termasuk misalnya transisi menuju sistem
akrual yang kini diterapkan di Indonesia.
Beberapa negara berkembang yang masih dikungkung
keterbelakangan seperti Indonesia pun mencoba-coba meniru perubahan radikal
tersebut, yang biasa diusung dengan kata "reformasi". Agar
reformasi berhasil, beberapa resep NPM kemudian dibuat oleh negara donor
seperti WorldBank dan ADB; dan Indonesia mengikutinya dengan taat.
Beberapa hal telah mulai dilakukan di Indonesia. Beberapa
hal berhasil, beberapa hal gagal. Sebuah tulisan sebenarnya telah
mengingatkan agar negara berkembang jangan mencoba-coba mengadopsi program
reformasi negara maju seperti New Zealand, tanpa melalui beberapa prasyarat
utama (Schick, 1998). Perubahan dari sistem yang biasanya informal di negara
berkembang seperti Indonesia menuju NPM selalu akan menjadi bumerang. Kini
kegagalan itu sudah semakin tampak di depan mata.
Saya tidak akan menguraikan secara detail nasehat
tersebut. Saya akan mengambil beberapa hal yang menarik dari segi keilmuan
kita. Saya mencoba merefer ke beberapa tulisan yang pernah diargumentasikan
oleh pendukung NPM di Indonesia.
Suatu argumen yang sering didebatkan: Kita korupsi karena
gaji kita rendah atau gaji kita rendah karena kita korupsi? Beberapa
pendukung ekonomi pasar, tentu akan berargumentasi ke hal kedua. Teori market
selalu menyalahkan orangnya, bukan kelembagaannya. Itulah sebabnya NPM selalu
dibilang berbasis institusional ketimbang manusianya. NPM adalah pemikiran
neoliberalism yang diajarkan dan didoktrinkan terus sebagai pilihan yang
paling tepat di negara berkembang oleh pendukungnya.
Padahal, Schick (1998) mengingatkan:
"In the case of civil service
rules, this means that pay levels rise as the economy develops, the number of
g[o]host positions declines, and public employees are given opportunities to
acquire new skills and advance professionally. If these conditions are
absent, learning will take place, but it will be pathological: how to beat
the system, how to outmaneuver the controllers, how to get paid without
really working, and so on."
Idealnya, pendapatan pegawai di sektor publik meningkat
ketika perekonomian negara semakin baik, jumlah pegawai yang tidak jelas
kerjanya menurun, dan para pegawai itu diberikan kesempatan untuk
meningkatkan kompetensinya. Itu idealnya.
Masalahnya, ketidakidealan itu terjadi terus di Indonesia.
Contoh yang nyata adalah masih banyaknya "ghost
employees" di pemerintahan Indonesia yang masih dipertahankan. Kita
tidak berani melakukan perubahan radikal atas hal ini, dengan memberhentikan
mereka atau merumahkan mereka.
Akhirnya, yang terjadi adalah sebagaimana ditulis Schick
(1998), kondisinya menjadi semakin patologis. Mereka para pegawai -- termasuk
anggota polisi yang kita perdebatkan belakangan ini -- semakin cerdas,
belajar bagaimana mengakali sistem, bagaimana mengakali para auditor,
bagaimana mendapat remunerasi yang semakin besar tanpa benar-benar bekerja
yang bermanfaat untuk masyarakat.
Kesalahan
berikutnya yang kita bisa lihat adalah NPM mengajarkan kita untuk melakukan
otonomi dan desentralisasi. Pemerintah daerah diberi hak mengatur sendiri
urusannya. Instansi pemerintah diberi hak untuk mengatur sendiri sistem
keuangannya. Padahal, Schick (1998) bilang, desentralisasi dan otonomi itu
bisa diberikan jika saja kita telah melalui proses terintegrasi.
Kita bisa mengendalikan sesuatu secara terintegrasi dulu,
baru kemudian memberikan kesempatan organisasi di level bawah bekerja secara
otonom dan terdesentralisasi. Bukan malah kebalikannya seperti saat ini, kita
kini menghabiskan enerji membawa kembali semua komponen bangsa agar mau
kembali ke konsep integratif, sebuah NKRI. Ini kata Schick (1998): "[T]hey must operate in integrated,
centralized departments before being authorized to go it alone in autonomous
agencies."
Kegagalan berikutnya adalah, kita salah meletakkan
strategi pengendalian. Selama ini kita terlalu banyak menekankan pengendalian
eksternal, dengan adanya lembaga badan pemeriksa eksternal seperti BPK dan
lembaga independen pemberantasan korupsi, seperti KPK. Kita mestinya telah
bergeser seperti yang ditulis Schick (1998): "[F]rom control of individual actions to control within a broad
band, from reviewing specific actions to reviewing systems."
Saat ini, pegawai pemerintah sedang dituntut membuat SKP,
membuat kinerja yang semakin individualis. Padahal, sebuah negara yang
berhasil adalah mengelola kinerjanya bukan per individu, tetapi sebuah
"block", sistem kolektif. Jika yang dikejar masih individu orang
per orang, maka sampai kapan pun yang terjadi adalah akal-akalan sistem.
"They will 'game' the system,
and even cheat, to gain the maximum reward for the minimum effort," tulis Talbot (2010). Mereka akan
merekayasa seolah-olah telah berkinerja, padahal tidak benar-benar
berkinerja.
Karena itu, Schick (1998) kembali menulis, kalau negara
berkembang seperti Indonesia akan maju sektor publiknya, seperti Singapura,
Indonesia mestinya bergesar dari "external
to internal controls" dan kemudian barulah pantas mencangkokkan
program reform yang ada di negara maju seperti New Zealand ke Indonesia.
Indonesia mesti menempatkan pengendalian terhadap kumpulan
orang-orang, team (sebagai sebuah "block"), daripada orang-per
orang. Jika kita masih dalam fase menumbuhkan ketakutan terhadap "external controls", maka
sampai kapan pun Indonesia tidak akan maju. Tidak akan pernah sampai ke results-based budgeting yang selalu
diagung-agungkan oleh pendukung reformasi! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar