Melantik
Kapolri bukan Hak Prerogatif
Andi Irmanputra Sidin ; Ahli Hukum Tata Negara
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Februari 2015
BEBERAPA minggu belakangan ini
sebagian besar elite menyatakan bahwa pemberhentian dan pengang katan
(pelantikan) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) merupakan
hak prerogatif presiden. Tentunya hal itu tidak tepat karena hak prerogatif
yang dimaksud dalam konstitusi kita sesungguhnya tak seperti itu. Hak
prerogatif tersebut sesungguhnya merupakan warisan atau ampas yang tersisa
dari monarki kepada pemegang kekuasaan pemerintahan dalam pertumbuhan sejarah
sistem demokrasi.
Hak prerogatif kemudian terbangun
sebagai kekuasaan presiden yang sifatnya eksklusif, istimewa diberikan
konstitusi tanpa perlu mendapatkan pengaruh, kendali bahkan konsultatif
sekalipun dari kekuasaan lainnya dalam pengambilan keputusan. Konstruksi
konstitusi kita bahwa hak prerogatif Presiden ialah kekuasaan istimewa yang
diberikan konstitusi secara konkret, mandiri kepada Presiden tanpa campur
tangan, persetujuan atau kewajiban konsultatif dengan cabang kekuasaan atau
lembaga negara lainnya.
Hak prerogatif itu bisa dalam
konteks kebijakan atau aturan, bisa juga dalam hal kelembagaan negara. Dalam
hal kelembagaan negara, hak prerogatif tersebut berada dalam dua dimensi,
yaitu individual yaitu pengangkatan dan pemberhentian pemangku jabatan dalam
lembaga negara tersebut dan dimensi institusional yaitu pembentukan,
pengubahan, dan pembubaran lembaga negara tersebut. Hak prerogatif yang
berada dalam dua dimensi tersebut ialah hak prerogatif penuh. Sementara itu,
jika salah satunya saja, hal tersebut ialah hak prerogatif terbatas.
Kalau dahulu, mengangkat duta dan
konsul dan menerima duta negara lain merupakan hak prerogatif terbatas karena
presiden tidak dapat meniadakan (membubarkan duta dan konsul), tetapi bebas
menentukan individu pemangku jabatan duta dan konsul tanpa keterlibatan
pertimbangan DPR. Setelah perubahan pertama UUD 1945, mengangkat duta,
konsul, dan menerima duta negara lain bukan lagi hak prerogatif baik penuh
ataupun terbatas karena harus memperhatikan pertimbangan DPR.
Kalau dahulu, soal kementerian
negara ialah hak prerogatif penuh presiden karena pembentukan, pengubahan,
dan pembubaran kementerian negara tidak ditentukan konstitusi untuk diatur
dalam undang-undang. Namun, setelah kehadiran Pasal 17 ayat (4) UUD 1945,
presiden hanya memiliki hak prerogatif terbatas yang menyangkut hanya
individu pemangku jabatan kementerian tersebut. Pasal 17 ayat (2) UUD 1945
menyebutkan menterimenteri itu diangkat dan diberhentikan presiden. Hal itu
bermakna pengangkatan dan pemberhentian seorang menteri tidak membutuhkan
peran konsultatif atau persetujuan DPR atau kewajiban meminta rapor dari
lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Terserah presiden
Saat ini, seolah publik menanti
langkah presiden, terdapat pembenaran pertanyaan bahwa apakah Kapolri
terpilih Komjen Budi Gunawan jadi dilantik atau tidak, karena itu merupakan
hak prerogatif presiden. Sebelum sampai ke situ, yang perlu diuraikan di sini
ialah pemberhentian dan pengangkatan (pelantikan) Kapolri bukanlah hak
prerogatif presiden. Hal itu disebabkan presiden tidak dapat mengangkat
Kapolri tanpa kendali, pengaruh, konsultasi, hingga persetujuan dengan
lembaga rakyat (DPR) bahkan termasuk Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).
Polri adalah alat negara dalam UUD
1945, yang tidak ditempatkan sekamar dalam Bab V Kementerian Negara. Polri
ditempatkan sekamar dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam Bab XII
Pertahanan dan Keamanan Negara. Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga
keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani
masyarakat, serta menegakkan hukum.
Polri sebagai alat negara karena
komitmen reformasi kita tidak ingin lembaga itu menjadi instrumen politik
kekuasaan dan dikendalikan sepenuhnya secara prerogatif oleh presiden. Kapolri
dengan mudahnya diangkat dan diberhentikan presiden berdasarkan kepentingan
privat yang menunggangi hak prerogatif tanpa perlu persetujuan rakyat (DPR).
Komitmen reformasi itu sebelumnya telah dituangkan dalam ketetapan MPR VI
/MPR/ 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan Ketetapan MPR/ Nomor
VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Dalam Tap MPR Nomor VII/MPR 2000 inilah kemudian
ditegaskan bahwa Kapolri bukanlah hak prerogatif presiden karena diangkat dan
diberhentikan presiden atas persetujuan DPR.
Pasal dalam Tap MPR No VII/2000
itulah yang kemudian pernah menjadi dasar konstitusional yang membuat tubuh
Polri terjadi dualisme kepemimpinan di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus
Dur).
Kasusnya hampir mirip saat ini,
kalau saat ini dalam hal `pengangkatan' cq pelantikan Kapolri terpilih Komjen
Budi Gunawan, dulu ialah `pemberhentian' Kapolri.
Kala itu, Presiden Gus Dur tak
bisa memberhentikan secara prerogatif Kapolri Jenderal Bimantoro, yang
akhirnya Presiden memintanya mengundurkan diri. Namun, Kapolri menolak “..., saya tidak mau mengundurkan diri.
Tapi kalau Gus mau mengganti saya, silakan,“ kata Bimantoro seperti dalam
buku Melawan Skenario Makar: Tragedi 8
Perwira Menengah Polri di Balik Kejatuhan Presiden Gus Dur 2001 yang
ditulis Edy Budiyarso. Bimantoro berlindung di balik Tap MPR Nomor VII/MPR
Tahun 2000 yang mensyaratkan pengangkatan dan pemberhentian Kapolri harus
mendapat persetujuan DPR (Senin
11/1/2010, Viva.co.id).
Singkat cerita, akhirnya Presiden
menonaktifkan Kapolri Bimantoro, diikuti dengan mengangkat (melantik)
Wakapolri Jenderal Chaeruddin Ismail sebagai `Kapolri dalam tugas'. Hal itu
kemudian memunculkan problem konstitusionalitas karena menonaktifkan sama
dengan memberhentikan yang harus dengan persetujuan rakyat (DPR). Saat itu
muncul `duo Kapolri' atau `Kapolri ganda' yang kemudian mengeskalasi sangat
cepat proses pemberhentian Presiden di MPR.
Tanpa alasan
Pasal 7 Tap MPR No VII/2000 itulah
kemudian dilahirkan kembali dalam Pasal 11 UU No 2/ 2002 tentang Kepolisian
Negara bahwa pemberhentian dan pengangkatan (termasuk pelantikan) Kapolri
bukanlah hak prerogatif presiden. Bahkan tidak sampai di situ, UU Kepolisian
tersebut juga mewajibkan presiden bahwa sebelum mengusulkan pengangkatan
calon Kapolri untuk disetujui DPR, harus melibatkan kewenangan konsultatif
Komisi Kepolisian Nasional. Presiden hanya mendapatkan hak istimewa untuk
mengusulkan calon, itu pun harus disertai alasan salah satunya berdasarkan
masukan Kompolnas. Pengusulan Ka polri tidak boleh atas kehen dak mandiri
presiden tanpa alasan seperti pengangkatan dan pemberhentian menteri meski
tanpa alasan (objektif).
Di saat kemudian rakyat (DPR)
menyetujui usulan presiden dengan segala kekurangan sang calon, presiden
tidak ada pilihan lain untuk melantik jika dalam waktu bersamaan
pemberhentian Kapolri lama juga telah disetujui rakyat (DPR) dan presiden
telah memberhentikannya. Setelah disetujui rakyat, pengangkatan Kapolri yang
telah disetujui sudah berubah menjadi kewajiban konstitusional presiden yang
tunduk pada rezim sumpah jabatan presiden Pasal 9 UUD 1945.
Oleh karena itu, ketika Budi Gunawan sudah disetujui rakyat beberapa
waktu lalu, sesungguhnya yang bersangkutan sudah menjadi Kapolri terpilih
yang wajib dilantik. Status konstitusionalnya sama dengan pasangan
presiden terpilih, yang telah ditetapkan KPU dan telah melalui proses di MK.
Maka MPR harus segera melantiknya di saat berhentinya presiden sebelumnya
karena habis masa jabatannya dan tidak ada alasan bagi MPR untuk tidak melantik.
Begitu pula dengan Kapolri terpilih, jika tidak dilantik presiden, itu akan
menjadi preseden buruk bagi MPR ke depan untuk tidak melantik atau
membatalkan pelantikan presiden yang telah dilakukannya.
Presiden akan bisa
dinilai melanggar sumpah jabatan cq konstitusi jika tidak melantik Kapolri. Lalu pertanyaannya sampai kapan
batas waktu bagi Kapolri untuk segera dilantik, prinsipnya segala yang
melibatkan persetujuan rakyat (DPR) batas waktu konstitusionalnya hanya 30
hari.
Hal itu berpedoman pada persetujuan
DPR akan rancangan undang-undang (RUU). RUU yang disetujui bersama antara
presiden dan DPR, jika dalam 30 hari Presiden tidak mengesahkan, UU otomatis
sah dan wajib diundangkan.
Dari konstruksi tersebut,
pengangkatan Kapolri yang sudah disetujui DPR, maka 30 hari setelah disetujui
Presiden wajib melantik. Jika presiden tidak
melantiknya, lewat 30 hari Kapolri terpilih otomatis adalah Kapolri yang
konstitusional dan rakyat cq DPR sudah punya kedudukan konstitusional untuk
mengakui yang bersangkutan adalah Kapolri, pemegang tongkat komando dalam
Kepolisian Negara RI. Hal itu akan bisa mengulang sejarah 12 tahun
lalu ketika `Kapolri ganda' bisa muncul. Oleh karena itu, pengangkatan (pelantikan) hingga pemberhentian Kapolri
bukanlah hak prerogatif presiden, tidak ada pilihan bagi presiden untuk tidak
segera melantik Kapolri tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar