Mereduksi
Banjir ala Eropa
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti di
Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina, Jakarta
|
SINAR
HARAPAN, 12 Februari 2015
Musim hujan datang, banjir pun terjadi di mana-mana. Kelemahan
kota-kota di Indonesia adalah belum ada sistem kanal yang berguna menampung
air jika hujan terjadi cukup besar. Padahal, sistem kanal semacam itu dapat
mereduksi banjir.
Biasanya jika musim banjir datang, kota yang paling parah
terdampak adalah Jakarta. Sebagai ibu kota negara, semestinya Jakarta harus
lebih baik menangani banjir. Masyarakat Jakarta berharap lebih kepada
gubernur baru mereka, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), bukan sebatas retorika,
melainkan gertakan realistis di lapangan, konsep yang komprehensif, serta
kebijakan terapan yang mesti disegerakan.
Sebetulnya bukan hanya Jakarta, di mana pun kota di Indonesia,
pemerintah daerah (pemda) harusnya responsif. Ini karena dalam era
globalisasi yang dihantui global warming, semuanya bisa terjadi. Bahkan
mungkin saja, banjir akan menghinggapi kota Anda.
Kita semua harus belajar ulang dari sistem kanal di Negeri
Kincir Angin, Belanda. Bisa juga mencontoh cara Kota London menjadikan Sungai
Thames untuk mereduksi banjir yang langsung tersalur ke lautan.
Tiap kota di Eropa biasanya memang memiliki saluran air yang
cukup luas dan ujung-ujungnya berakhir ke laut atau kanal-kanal penyerapan
air. Jadi, tidak ada yang namanya banjir.
Sistem perencanaan irigasi dalam pengertian saluran air dibangun
sedemikian canggih. Mereka menyadari, kalau tidak dilakukan seperti itu,
sementara pembangunan tak pernah berhenti menyita tanah-tanah yang ada,
banjir akan menjadi musim tahunan.
Kesadaran pemerintah kota untuk melakukan itu karena hal
tersebut merupakan tuntutan yang harus dilakukan, bukan atas dasar proyek
pemerintahan kota, seperti yang selama ini terjadi. Urgensi penanganan banjir
harus segera dilakukan karena sudah menyangkut hajat hidup masyarakat umum.
Kepentingan individu dan kepentingan sesaat tak bisa menjadi panglima karena
akan berujung dan berakibat kesengsaraan bagi kepentingan umum.
Jika kita melihat kota di negeri ini, di Jakarta misalnya,
berbeda jauh dengan keadaan kota-kota di Eropa. Pola pembangunan terus
berlangsung setiap tahun. Gedung-gedung tinggi bertingkat, mal-mal megah,
pembangunan apartemen bak jamur, real
estate di mana-mana. Pendeknya, tanah di Jakarta bertambah sempit. Akan
tetapi, saat bersamaan, tak ada tanah yang diperuntukkan sebagai alat
penyangga air hujan. Jadi, semua pola pembangunan itu tak dibarengi kesadaran
pola preventif untuk mencegah banjir.
Hal itu terjadi karena regulasi aturan main yang Pemda DKI
sebelumnya juga tidak komprehensif, penuh kepentingan dan proyek-proyek.
Semua perusahaan swasta bisa membangun kantor-kantor besar. Semua pengembang
dapat membangun seluas-luasnya apartemen dan real estate.
Lalu, bagaimana jalan keluarnya ketika banjir tiap tahun
terulang? Pertama, harus ada regulasi aturan main yang jelas dan tegas
diberlakukan oleh pemda yang mengatur tentang bangunan-bangunan.
Kedua, Pemda harus segera membuat irigasi, dalam pengertian
saluran air yang berakhir di kanal-kanal yang berguna untuk menyerap dan
menampung air hujan.
Ketiga, Pemda DKI harus bekerja sama dengan pemda-pemda lain
yang ada di Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Ini untuk
memikirkan persoalan banjir yang terus melanda tiap tahun. Banjir adalah
persoalan bersama, terutama di daerah yang tergabung dalam Jabodetabek.
Banjir harus menjadi sebuah kesadaran sosial (social
consciousness) yang menyeluruh, bukan hanya bagi pemda, melainkan juga bagi
masyarakat. Masyarakat juga harus berperan menuntaskan persoalan banjir,
misalnya dijewantahkan dalam bentuk kesadaran membuang sampah tidak di
sembarang tempat dan dalam bentuk lain.
Jika itu dilakukan, hasilnya pun akan dinikmati semua pihak. Tak
hanya segelintir orang atau individu, tapi dinikmati masyarakat luas. Hal itu
penting untuk menjadikan kota sebagai pusat aktivitas publik yang lebih
terlihat beradab.
Thee Kian Wie, ahli administrasi negara dari Universitas Gadjah
Mada (UGM) pernah menyatakan dalam pidato penganugerahan Guru Besarnya,
pembangunan kota-kota di Indonesia jauh tertingal dibandingkan kota-kota lain
di Eropa.
Di London saja, sudah ada terowongan rel kereta bawah tanah yang
dibangun dari abad ke-17, berkat jasa-jasa para pemimpin pemerintahannya yang
sadar akan pentingnya transportasi modern. Hal itu dilakukan untuk
kepentingan jangka panjang, serta bagi kesejahteraan dan kenyamanan hidup
warga negaranya.
Sebaliknya, kesadaran seperti itu tidak didapat dalam
pemerintahan kota di Indonesia. Jika ada kesadaran semacam itu, semestinya
persoalan banjir sudah ditangani sejak lama. Seharusnya, pembangunan
kanal-kanal besar penampung air hujan sudah ada sejak lama. Karena tidak ada
kesadaran jangka panjang, yang terjadi seperti terlihat sekarang ini.
Mudah-mudahan banjir tahun ini bisa menjadi kesadaran sosial
bersama. Mudah-mudahan orang tak hanya tercengang ketika melihat banjir yang
mengerikan itu, tapi kemudian menjadi kesadaran kolektif yang tak pernah
padam sehingga menimbulkan sinergi bersama untuk memikirkan solusi mencegah
kehadiran banjir itu lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar