Anomali
Antikorupsi
Siti Muyassarotul Hafidzoh ; Peneliti
pada Program Pascasarjana
Universitas Negeri Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
12 Februari 2015
Geger Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Polri bukan saja
merugikan kinerja pemerintahan, melainkan yang sangat terasa merugi justru
dunia pendidikan. Mengapa? Geger ini selalu menjadi headline media, baik
cetak, elektronik, maupun media sosial.
Para peserta didik juga selalu melihat dan mencermati geger ini.
Sangat berbahaya karena di tengah dunia pendidikan mengampanyekan secara
masif terkait nilai-nilai pendidikan antikorupsi, ternyata para petinggi
negeri ini sibuk dengan kasus korupsi yang tidak mampu ditangani. Lembaga KPK
yang selama ini dikagumi juga terjebak dalam intrik politik yang mengakibatkan
nalar berpikir para peserta didik menjadi tersesat.
Elite bangsa ini selalu mengumbar anomali. Pada saat semangat
pendidikan antikorupsi digalakkan, kaum elite malah berlomba mematikan
semangat itu. Rakyat sudah bosan karena perilaku elite sama sekali tidak
mencerminkan, apalagi mewakili harapan rakyat. Perilaku kaum elite
benar-benar mencederai semangat berdirinya Negara Kesatuan Republik
Indonesia, berupa melindungi tumpah darah Indonesia. Indonesia yang lahir
dengan cita-cita besar justru "dijual" dengan nafsu dan kepentingan
sesaat.
Semangat pendidikan antikorupsi sekarang berada di persimpangan
jalan. Para guru semakin kesulitan menjelaskan nilai antikorupsi karena
berita yang tersebar setiap harinya justru menghadirkan koruptor yang tiada
henti. Lembaga KPK juga semakin lemah dan dilemahkan karena komisionernya
terjebak dan dijebak dalam kepentingan politik.
Semangat antikorupsi semakin hari semakin runtuh sehingga
terjebak dalam berbagai tragedi. Pertama, karena korupsi dilakukan dan diberitakan
dengan "telanjang", peserta didik gagal, bahkan makin asing degan
jejak hidup para pendiri bangsa yang merumuskan cita-cita Indonesia.
Korupsi telah meruntuhkan semangat kebangsaan peserta didik
kita. Peserta didik semakin jauh dari sejarah perjalanan Indonesia yang
disinyalir pernah beberapa kali—bahkan tidak menutup kemungkinan justru kini
tengah-– keluar jalur dari tujuan pembentukannya, baik sebagai nation (bangsa), sebagai state (negara), dan terutama sebagai
nation state (negara bangsa).
Harsya W Bachtiar telah menerangkan perbedaan Indonesia sebagai
nation dan Indonesia sebagai state.
Sebagai nation, kata Harsya, Indonesia merupakan suatu kesatuan solidaritas
kebangsaan. Sedangkan sebagai state, Indonesia merupakan suatu organisasi politik.
Seseorang merupakan bangsa Indonesia ketika ia menganggap dirinya sebagai
bagian dari nation Indonesia, yaitu suatu kesatuan solidaritas dari seseorang
terhadap tujuan bersama masyarakat Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 (HAR Tilaar,
2007: 30-31).
Kedua, korupsi memutus peserta didik dari geneologi pemikiran
dan perjuangan para pendiri bangsa. Putusnya generasi hari ini dari pendiri
bangsa menyebabkan tercerabut dari akar keindonesiaan. Ini sangat berbahaya
karena bisa menjadi generasi bermental "menerabas" yang merusak
tatanan kebangsaan. Untuk itu, penting mencetuskan pentingnya mempelajari
kembali pemikiran para pendiri bangsa agar terjalin kesinambungan genealogi
pemikiran dan perjuangan terus-menerus antargenerasi warga negara ini demi
tercapainya kesadaran sejarah bersama dan tujuan pembentukan NKRI.
Kurniawan (2002) mencatat bahwa para pendiri bangsa ini bukanlah
orang-orang dengan kualitas intelektual dan moral kacangan. Pada masanya,
bahkan pada masa kini, mereka dapat diibaratkan cahaya dari pelupuk zaman
kegelapan yang menerpa nusantara manakala diterjang imperialisme dan
feodalisme. Di antara mereka ada yang lahir dari pergulatan pendidikan
tradisional keagamaan dan banyak pula yang lahir dari kawah candradimuka
pendidikan modern.
Di antara mereka ada yang menguasai banyak bahasa internasional,
dan tentu saja, mereka berjiwa kuat dengan durabilitas (ketahanan) perjuangan
yang berkobar, meski harus mengalami penyiksaan, diasingkan, bahkan
pembunuhan. Sebagian besar di antara mereka adalah para pembaca buku dan
penelusur gagasan yang rakus.
Pendidikan antikorupsi harus selalu digaungkan, apalagi di
tengah kondisi bangsa yang makin karut-marut ini. Masyarakat harus saling
membahu untuk meneguhkan semua elemen hukum dalam memberantas korupsi,
khususnya lembaga pendidikan. Pertama, lembaga pendidikan harus menjadi ujung
tombak utama dalam pemberantasan korupsi.
Lembaga pendidikan merupakan akar sehingga harus bekerja
ekstrakeras dalam mewujudkan generasi yang siap melawan korupsi pada masa
depan. Lembaga pendidikan harus menciptakan figur-figur yang kuat, bukan
latah dan tukang fotokopi gagasan. Lembaga pendidikan harus menciptakan kader
yang keseluruhan ciri-ciri kepribadiannya hampir atau menyerupai figur pendiri
bangsa ini, yakni manusia-manusia autentik, manusia-manusia yang relatif
telah mengenali siapa dirinya yang sesungguhnya. Dalam bahasa Anies Baswedan,
mereka adalah generasi yang telah selesai dengan urusan pribadinya
masing-masing.
Kedua, kurikulum pendidikan antikorupsi harus didesain ulang
lagi. Ini penting karena ketika melihat fakta elite politik yang merusak
semangat antikorupsi, dunia pendidikan masih belum bisa bersuara. Hal itu
harus didesain ulang sehingga kurikulum pendidikan memungkinkan peserta
didik, khususnya yang di perguruan tinggi, untuk melawan korupsi, bahkan
sampai "turun jalan". Gerakan "turun jalan" atau suara
lantang lewat apa pun harus menjadi bagian dari kurikulum pendidikan sehingga
pendidikan bukan sekadar dalam kertas saja, melainkan juga dalam gerakan
melawan ketidakadilan.
Ketiga, pendidikan sebagai bagian dari masyarakat harus mampu
bersinergi dengan semua elemen masyarakat dalam memberantas korupsi. Lembaga
pendidikan jangan berada di menara gading. Lembaga pendidikan harus bersama
masyarakat dalam menggalang berbagai diskusi, gerakan, media, dan lainnya
yang saling bersinergi untuk melawan korupsi.
Lembaga pendidikan harus bersuara di tengah kebekuan. Karena,
pendidikan lahir, kata Tan Malaka, adalah untuk mempertajam kecerdasan,
memperkukuh kemauan, dan memperhalus perasaan. "Pendidikan membuat orang menjadi baik," kata Plato,
filsuf Yunani, "dan orang baik
tentu berperilaku mulia." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar