Menyimak
Sinetron Politik
Aris Setiawan ; Dosen
Etnomusikologi ISI Surakarta
|
KORAN
JAKARTA, 05 Februari 2015
Pelaksana Tugas Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, selain
mengungkap sejumlah langkah politis Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Abraham Samad, menyindir gaya kepemimpinannya. Dia menuduh Samad melakukan
sinetronisasi KPK.
Akhiran “isasi” dari sinetronisasi berarti sebuah usaha
menyinetronkan suatu kejadian atau peristiwa. Tanpa disadari, sebenarnya
Hasto pun tengah memainkan peran dalam sinetron dengan cukup lihai. Dia
banyak menuduh tanpa (segera membeberkan) bukti.
Begitulah, kadang-kadang sinetron atau dunia acting dimulai dengan tuduhan-tuduhan
untuk membangun dramatika agar terlihat semakin menarik dan mampu menggoda
simpati atau perhatian masyarakat.
Sejengkal pun masyarakat tidak mau lepas dari suguhan tiap
adegan yang hendak dimunculkan. Kadangkala kartu truf (kunci) diungkap di
belakang sehingga mengacaukan persepsi yang sebelumnya telah dibangun publik.
Hasilnya bisa menyadarkan sekaligus membingungkan. Sinetron kependekan
“sinema elektronik”, program drama bersambung yang disiarkan televisi
Indonesia.
Dalam bahasa Inggris disebut soap opera (opera sabun). Sementara di Spanyol dan Meksiko dia
disebut telenovela (marak di Indonesia pada dekade ‘90- an). Istilah sinetron
mulai populer di tahun 80-an, tak jelas penemunya. Saat itu TVRI sebagai
satu-satunya stasiun televisi yang memiliki acara unggulan dilabeli “sepekan
sinetron.”
Lambat laun, sinetron menjamur di berbagai stasiun
televisi swasta. Banyak peran mampu menarik simpati publik. Tak jarang pemain
sinetron dihujat dan dipuja karena aktingnya. Tak jelas kenapa Hasto menyebut
ketua KPK dengan istilah sinetronisasi. Mungkin saja Hasto penggemar sinetron
dan memiliki idola aktor-aktris sinetron di layar televisi.
Hasto terlihat sangat paham dengan dunia persinetronan
sehingga dengan percaya diri memunculkan istilah tersebut. Sinetron dinilai
tidak begitu bagus baik akting maupun ceritanya. Sinetronisasi bisa saja
diterapkan untuk para politikus maupun pejabat. Para politikus Senayan sangat
pandai berakting. Mereka tak kalah piawai dengan aktor sinetron sesungguhnya.
Wakil rakyat itu pandai bersilat lidah dan bermain mimik
ekspresi muka. Setiap hari masyarakat disuguhi berbagai sinetron politik.
Setiap saat muncul suguhan baru, dari hanya adu pendapat hingga fisik dengan
membanting meja dan jotosan. Tontonan tingkah-polah anggota dewan muncul tiap
hari.
Padahal di satu sisi kita mendengung- dengungkan perilaku
beradab (jujur, tanggung jawab, sederhana, santun, dan menghargai pendapat
orang lain) kepada generasi muda. Sementara di sisi lain, rakyat dipaksa
melihat yang sebaliknya di dunia sinetron perpolitikan.
Ini termasuk fit and
proper test Komjen Budi Gunawan, calon kapolri yang berjalan tanpa
hambatan, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Sebagaimana dalam sinetron sesungguhnya, seolah sengaja
harus ada konflik yang dibangun, agar memunculkan konflik-konflik lain berupa
prahara yang menghebohkan dan dramatis. Ini sama saja mematik api di dekat
bensin. Saat ini rakyat sedang menonton dan merasakan prahara atau kemelut
itu.
Mudah Berubah
Semua segera ingat lagu Panggung Sandiwara ciptaan Dedi Dores: dunia ini hanya pangung
sandiwara. Semua memainkan peran masing-masing. Ceritanya pun mudah berubah.
Hari ini musuh, besok sudah menjadi teman. Hari ini kuning besok merah. Hari
ini koalisi, besok bisa menjadi oposisi.
Dalam dunia perpolitikan ini disebut “manuver politik.”
Layaknya pesawat tempur yang sedang unjuk gigi dengan berbagai manuver,
sangat cepat dan tak terduga. Semua adalah semata dunia peran. Tokoh paling
menggoda yang mampu “menipu” publik dengan akting memukau.
Hingga akhir cerita, kadang penonton tak sadar sedang
dipermainkan aktor atau aktris. Jadi, jagan terkaget-kaget saat menonton
kegaduhan dunia politik karena itu hanya sinetron. Kemarin orang memuja tokoh
tertentu, ternyata di tengah adegan, dia menunjukkan sikap berbeda, tidak
sesuai dengan karakter awal yang telah dibangun.
Atau sebaliknya, semula penonton menghujat tiada habis,
kemudian diam-diam ganti memujanya. Perubahan demikian sangat mungkin.
Percayalah dunia politik tak ada yang abadi. Sekali lagi karena itu hanya
sinetron.
Jadi, masyarakat disadarkan bahwa semua hanya permainan
akting, tidak lebih. Sayang, sinetronisasi para politikus tidak hanya
berhenti sebagai tontonan di televisi karena efeknya menyangkut hajat hidup
seluruh masyarakat. Di televisi, sinetron sekadar membangun konflik maya, tak
nyata, fiktif, alias rekaan. Masyarakat hanya dirugikan perasaan sesaat.
Sinetron adalah dunia imajinasi yang tak nyata. Sementara
para politikus berakting dan bermain sandiwara di bawah mandat rakyat. Di
sinilah bahayanya apabila negara dikelola layaknya bermain sinetron. Jangan
harap ending akan selalu berakhir manis (happy)
layaknya di senetron sesungguhnya.
Dalam dunia politik, hasil akhir kadang jauh lebih pahit
dan tak sesuai harapan. Di televisi, penonton berulang kali melihat ketua KPK
meneteskan air mata kesedihan. Di kubu lain, ada suguhan ketidaktegasan
presiden.
Sementara para politikus sedang berlomba-lomba bermain
akting dengan saling tuding. Tidak jelas siapa yang memainkan peran
protagonis ataupun antagonis. Semua merasa dan mengeklaim paling benar.
Masyarakat kian dibuat bingung.
Di tengah kebingunan itu, muncul akting yang tak kalah
memesona dari Menkopolhukam Tedjo Edhy Purdijatno yang dengan gagah berani
mengungkapkan bahwa KPK didukung “rakyat yang tak jelas.” Sontak rakyat marah
dan mencibirnya.
Pikiran Tedjo memang harus segera direstorasi, sesuai moto
partainya “restorasi Indonesia.” Masyarakat kemudian membuat banyolan “tedjo”
berarti “tak jelas.” Semoga saja dunia politik nasional tidak ‘tedjo’
layaknya dalam dunia sinetron.
Mau tak mau, rakyat yang selama ini hanya menjadi penonton
“sinetron” kemudian disertakan sebagai bagian dari konflik yang tengah
terjadi. Lengkaplah sudah, adegan demi adegan dan babak demi babak dibangun
dalam sinteron perpolitikan mutakhir. Rakyat hanya tinggal menunggu apa akhir
kisahnya. Bisa jadi konflik belum sepenuhnya terbangun dengan baik.
Dibutuhkan beberapa adegan lagi agar prahara atau meminjam
istilah Putu Setia, goro-goro yang dimunculkan semakin membuat kaget
masyarakat. Ah, dunia politik Indonesia mutakhir tak lebih dari sekadar
kemampuan memerankan akting.
Yang paling bagus ber-acting
akan mendapat simpati. Dunia politik tak ubahnya panggung sandiwara, tempat
mengais keuntungan dari kemampuan bermain peran. Adakah artis politik yang
pantas menjadi idola? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar