Mentalitas
Paleolitikum
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Februari 2015
DALAM rangkaian sejarah kehidupan
manusia, pernah ada suatu masa yang disebut dengan zaman batu tua
(paleolitikum), ketika semua jenis peralatan yang digunakan manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya kebanyakan berasal dari batu. Batu demikian
berharga karena hampir semua kebutuhan manusia ditopang dan bergerak karena
batu. Batu menjadi pusat perputaran kehidupan manusia untuk jangka waktu yang
cukup lama, dan itu terjadi sekitar 600 ribu tahun yang lalu, yaitu selama
masa pleistosen (diluvium). Pada zaman paleolitikum
itu, alat-alat yang mereka hasilkan masih sangat kasar.
Zaman batu tua itu memiliki ciri
kebudayaan yang sangat sederhana.
Keberadaban belum ditandai dengan
nilai-nilai etika yang disusun berdasarkan kepercayaan dan kesepakatan
masyarakat. Karena itu, pada zaman tersebut manusia cenderung hidup berpindah-pindah
(nomaden), suka berburu, dan
menangkap ikan. Tak ada yang salah dengan aktivitas itu karena berdasarkan
pemahaman dan kepercayaan mereka, hidup berpindah-pindah ialah pertanda
semangat dan terus berikhtiar mempertahankan kehidupan. Semangat
berpindah-pindah juga dilakukan secara bersama dan karena itu, memiliki jiwa
kebersamaan yang juga baik.
Jika interpretasi kita benar
tentang ciri-ciri kebudayaan zaman batu tua itu terjadi, ada baiknya kita
meniru dan belajar dari cara-cara kebersamaan mereka dalam mempertahankan
kehidupan. Namun, di zaman teknologi komunikasi seperti sekarang ini,
kebersamaan serasa nisbi karena konsepnya tergantikan secara visual dan tak
perlu lagi secara fisik. Manusia terhubung dengan pusat informasi dan
industri komunikasi yang sedemikian hebatnya sehingga sendi-sendi kebersamaan
manusia secara fisik menjadi tak penting lagi.
Jika kita menengok sejarah
agama-agama, zaman batu tua juga sedikit banyak memengaruhi cara manusia
berhubungan dengan Yang Maha Tinggi. Di zaman Nabi Ibrahim, misalnya, batu
digunakan sebagai alat untuk berhubungan dengan Tuhan. Berhala-berhala yang
terbuat dari batu dijadikan media komunikasi dengan Tuhan, dan menurut
pemahaman keimanan Ibrahim serta rasionalitas, yang membedakan manusia dengan
Tuhan menjadi begitu tak jelas. Batu jelasjelas telah berjasa membawa
pemahaman manusia ke arah teologi yang tunggal karena jika batu dianggap
menyesatkan manusia, pada waktu yang sama juga akibat batu, manusia menjadi
sadar akan adanya Tuhan Yang Esa.
Fenomena batu juga akhir-akhir ini
juga menguat di kalangan masyarakat. Entah siapa yang memulai trendsetter menyukai batu (akik) itu,
mulai anak-anak, orangtua, kakek dan nenek bahkan hingga pejabat dan selebritas
seperti menemukan makna kehidupan baru dengan seni hias batu karena harga
dari batu itu terus naik. Nilai ekonomi batu akik membuat semua orang seperti
ingin berburu batu dan ramai-ramai mema merkan aneka ragam batu tersebut
dengan memberikan nama-nama yang mampu meningkatkan nilai jual. Pendek kata,
fenomena itu bahkan sepertinya memang disengaja dihembuskan pihak-pihak
tertentu yang melihat ketidakberdayaan masyarakat secara ekonomi. Karena
kebanyakan rakyat tak mampu untuk membeli emas dan permata, batu ialah
pilihan rasional bagi masyarakat kalangan bawah untuk terus memiliki
kemungkinan. Namun, alih-alih meningkatkan taraf hidup masyarakat, fenomena
batu malah menimbulkan dua kekacauan sekaligus. Kekacauan pertama ialah
meningginya kembali `kepercayaan' masyarakat terhadap kekuatan-kekuatan
supernatural selain Tuhan.Tidak sedikit dari masyarakat kita yang kembali
meniupkan kepercayaan dan khasiat dari batu-batu akik tersebut untuk
menunjang kesuksesan hidup.Batu seakan mendapatkan kembali tempatnya seperti
zaman Ibrahim, menjadi perantara untuk percaya kepada Tuhan, dan jelas-jelas
itu ialah sebuah kemusyrikan yang nyata dan tak terampuni.
Kekacauan kedua ialah munculnya
konflik di tengah masyarakat. Bayangkan, di Aceh misalnya, dihembuskan
informasi bahwa akik dari Aceh memiliki nilai jual yang tinggi. Akibatnya,
banyak pendatang luar Aceh yang datang ke Aceh untuk berburu akik dari Aceh
dan sontak menimbulkan konflik yang hampir-hampir menimbulkan korban jiwa.
Ada batu seberat 2 ton yang menjadi rebutan dan menjadi sumber konflik dan
jika fenomena itu tak segera dicegah, jelas akan menimbulkan kerugian lahir
dan batin. Harus ada kepedulian dari seluruh unsur, terutama orangtua, tokoh
masyarakat, dan pemuka agama tentang efek buruk batu akik yang lebih banyak
daripada efek baiknya.
Saya mengkhawatirkan mentalitas
paleolitikum menghinggapi seluruh wilayah kejiwaan masyarakat bawah kita,
yaitu dimulai dengan mencintai batu dan menjadikannya sebagai bagian
kebutuhan hidup keseharian mereka, kemudian menjadikan batu sebagai medium
untuk berkomunikasi dengan Yang Mahagaib, dan jika itu terjadi, pasti akan
memandulkan dan menurunkan sendi-sendi kebudayaan kita sebagai masyarakat
yang beradab, rasional, dan pekerja keras. Mentalitas jenis itu jelas akan
menjadikan masyarakat kembali malas, tak mau bekerja, dan berharap terlalu
banyak pada halusinasi tentang batu.
Di atas semuanya, secara alami
jika terjadi pengalihan keyakinan dari Tuhan kepada batu, masyarakat kita
akan menjadi sangat mudah terseret oleh api dendam. Hal yang material seperti
batu cenderung secara psikologis akan membuat paradigma masyarakat gampang
tersulut oleh isu yang tidak benar dan itu akan membuat mereka gampang
terprovokasi.
Marilah kita menyadari bersama
bahwa kalau tak karena dendam, pastilah negeri ini sudah aman damai, baldatun thoyyibatun warabbun ghafur. Namun,
karena aman dan damai (baldah thoyyibah)
tak kunjung datang, ampunan Tuhan pun (rabbun
ghafur) pasti tak akan sampai. Jadi, jelas sekali hubungan antara yang
material dan nonmaterial, yang wujud dengan yang gaib, selalu harus menjadi
dua prasyarat yang tidak bisa dinisbikan satu dengan lainnya. Dendam seolah
menjadi prasyarat yang tak pernah bisa dilepaskan sekaligus dilupakan
masyarakat yang mudah tergiur kepada kehidupan duniawi yang singkat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar