Mengawal
Nawacita pada APBN-P 2015
Enny Sri Hartati ; Direktur
Indef
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Februari 2015
SIDANG Paripurna Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR RI) pada 13 Feb ruari 2015 akhirnya mengesahkan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015. Tidak seperti
tahun-tahun sebelumnya, postur baru APBN-P 2015 merupakan salah satu dokumen
pemerintah yang sangat ditunggu-tunggu publik. Pasalnya, APBN-P 2015 akan
menjadi tolok ukur awal terhadap komitmen dan realisasi dari berbagai macam
janji kampanye pemerintahan Jokowi-JK.
APBN-P 2015 juga akan menjadi
barometer ada-tidaknya perubahan arah kebijakan fiskal pemerintah ke depan.
Publik masih mencatat betul janji pemerintahan Jokowi-JK untuk mewujudkan
kemandirian ekonomi.Utamanya komitmen program Nawacita untuk membangun dari
daerah pinggiran, peningkatan produktivitas rakyat, dan daya saing ekonomi.
Secara umum, terdapat optimisme
publik dengan melihat postur APBN-P 2015.Setidaknya secara fundamental ada
dua komitmen penting pemerintah, yaitu komitmen untuk melakukan efisiensi
belanja dan optimalisasi target penerimaan pajak.
Hal itu penting karena urgensi
APBN ialah sebagai instrumen kebijakan fiskal yang harus mampu berperan
optimal dalam memberikan stimulus atau dorongan terhadap kinerja pertumbuhan
ekonomi.Peran itu hanya akan efektif dan berjalan optimal jika tersedia ruang
fiskal yang memadai dalam APBN. Utamanya tersedianya alokasi anggaran yang
tidak mengikat atau anggaran-anggaran yang bersifat produktif yang mampu memberikan
stimulus fiskal.
Seperti diketahui, dalam kurun
waktu 10 tahun terakhir, peran pemerintah dalam memberikan stimulus
perekonomian sangat terbatas. Hal itu terlihat pada kontribusi belanja
pemerintah dalam pembentukan pendapatan nasional (PDB) hanya berkisar 8%
sampai 9%. Padahal, volume APBN-P 2014 telah mencapai lebih dari Rp1.800
triliun atau mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat dalam enam tahun
terakhir.
Ironisnya, kontribusi belanja
pemerintah dalam PDB justru semakin menurun karena sering dikatakan bahwa
ekonomi Indonesia berjalan secara autopilot karena terbatasnya stimulus
fiskal yang diperankan pemerintah. Mandulnya peran belanja pemerintah dalam
mem berikan stimulus perekonomian antara lain tersandera oleh besarnya
belanja subsidi dan besarnya belanja rutin, operasional, serta belanja
birokrasi yang boros.
Langkah efisiensi be lanja dalam
APBN-P 2015 memang telah dimulai, yaitu adanya realokasi dari belanja
pelayanan umum guna meningkatkan belanja fungsi ekonomi. Dalam APBN-P 2014
belanja pelayanan umum mencapai lebih dari Rp856 triliun, dan dalam APBN-P
2015 dipangkas menjadi sekitar Rp713 triliun. Sementara itu, anggaran untuk
fungsi ekonomi meningkat dari sekitar Rp114 triliun menjadi sekitar Rp216
triliun.
Di sisi lain, belanja subsidi
energi yang semula pada APBN 2014 mencapai lebih dari Rp350 triliun dapat
dipangkas tinggal sebesar Rp137,8 triliun. Subsidi energi yang masih
dipertahankan di antaranya ialah subsidi solar, elpiji tabung 3 kg, dan LGV
mencapai sekitar Rp64,6 triliun, serta subsidi listrik sebesar Rp73,1
triliun. Sementara itu, alokasi subsidi nonenergi naik dari Rp52 triliun
menjadi Rp74,2 triliun pada APBN-P 2015.Sayangnya, penurunan belanja
birokrasi (belanja barang dan pegawai) belum setajam yang diharapkan. Idealnya
belanja
barang harus lebih rendah daripada belanja modal. Porsi belanja
pegawai mestinya bisa ditekan mendekati 16% seperti halnya waktu era Orde
Baru.
Di sisi lain, pemerintah telah
berupaya menggenjot penerimaan negara, yaitu dengan target peningkatan tax
ratio menjadi 13,3%. Sayangnya, secara agregat penerimaan negara hanya
sedikit mengalami peningkatan, yaitu sebesar Rp1.761,64 triliun, terdiri dari
penerimaan dalam negeri Rp1.758,33 triliun dan penerimaan hibah Rp3,311
triliun. Target penerimaan dalam negeri dari penerimaan perpajakan memang
mengalami lonjakan dari sekitar Rp1.246 triliun dalam APBN-P 2014 menjadi
Rp1.489 triliun. Target penerimaan pajak PPh nonmigas naik menjadi Rp629,83
triliun, PPh migas Rp49,5 triliun, PBB Rp26,68 triliun, cukai Rp 145,7 triliun,
pajak lainnya Rp11,7 triliun, bea masuk RP37,2 triliun, dan bea keluar Rp12
triliun. Namun, pendapatan negara bukan pajak (PNBP) justru menurun dari
Rp386 triliun menjadi Rp281 triliun. Padahal, sekalipun terdapat penurunan
penerimaan migas, seharusnya bisa dikompensasi dari optimalisasi penerimaan
dari beberapa sektor prioritas, seperti pembersihan penangkapan ikan ilegal
dari sektor kemaritiman, meminimalkan illegal logging pada sektor kehutanan,
dan perbaikan tata kelola dan renegosiasi kontrak karya pada sektor
pertambangan.
Artinya minimal potensi PNBP masih
bisa dipertahankan seperti 2014 yang mencapai sekitar Rp386 triliun. Target
PNBP dari kehutanan mestinya masih bisa digenjot lebih dari Rp4,7 triliun.
Secara umum hampir semua target PNBP mengalami penurunan, sektor mineral dan
batu bara sebesar Rp52,2 triliun, PNBP perikanan sebesar Rp578,8 miliar, PNBP
Kementerin Hukum dan HAM sebesar Rp4,28 triliun, dan penerimaan badan layanan
umum (BLU) Rp23,09 triliun.
Demikian juga dividen BUMN juga
mengalami penurunan hanya ditargetkan sebesar Rp36,9 triliun berasal dari
Pertamina Rp6,34 triliun, PLN Rp5,4 triliun dan lainnya sebesar Rp25,1
triliun. PNBP dari penerimaan SDA migas sebesar Rp81,3 triliun, SDA nonmigas
Rp37,6 triliun. Bagian laba BUMN sebesar Rp36,9 triliun, PNBP lainnya sebesar
Rp90,1 triliun, dan pendapatan badan layanan umum sebesar Rp23 triliun.
Masih terbatasnya langkah
efisiensi dan optimalisasi penerimaan negara tentu tidak hanya menyebabkan
masih belum optimalnya upaya melebarkan ruang fiskal, tetapi juga komitmen
pemerintah Jokowi untuk mengurangi pembiayaan dari utang urung terlaksana.
Defisit anggaran pada APBN-P 2015 dipatok sebesar Rp222,5 triliun atau 1,92%
dari PDB. Jika dibandingkan dengan APBN 2015, defisit anggaran APBN-P 2015
telah lebih rendah, yaitu 9,52%. Namun, rasio defisit anggaran terhadap PDB
masih naik tipis 0,02 dari semula 1,90% ke 1,92%.
Kenaikan rasio defisit anggaran
terhadap PDB disebabkan adanya implikasi dari realisasi pertumbuhan ekonomi
2014 sebesar 5,02% dan perubahan perhitungan nominal PDB. Pembiayaan defisit
anggaran akan berasal dari menerbitkan surat hutang berharga negara (SBN)
sebesar Rp297,698 triliun dan penarikan pinjaman luar negeri sebesar Rp48,647
triliun. Ironisnya, defisit APBN yang masih cukup tinggi (1,9% dari PDB)
masih diikuti defisit keseimbangan primer. Penerimaan dikurangi pengeluaran
di luar pembayaran cicilan utang masih defisit sebesar Rp70,5 triliun. Hal
itu menun jukkan manajemen pengelolaan ke uangan negara masih tekor.
Komitmen Nawacita
Program Nawacita yang
ditunggu-tunggu masyarakat ialah realisasi dari membangun dari daerah
pinggiran, peningkatan produktivitas rakyat, dan daya saing ekonomi. Pertama,
program membangun dari pinggiran misalnya melalui peningkatan dana transfer
ke daerah dan dana desa. Pada APBN-P 2015, dana transfer ke daerah mencapai
Rp664,6 triliun, naik 11,42% jika dibandingkan dengan APBN-P 2014.
Dana tersebut diberikan pemerintah
untuk daerah guna meningkatkan infrastruktur daerah yang dapat menunjang
perekonomian daerah. Dana tersebut berbentuk dana alokasi khusus (DAK) di
antaranya untuk infrastruktur irigasi sebesar Rp9,3 triliun, infrastruktur
transportasi sebesar Rp4,99 triliun, dan sarana perdagangan 256 miliar.
Kedua, peningkatan produktivitas
rakyat misalnya melalui meningkatkan anggaran sektor pertanian, dengan
alokasi anggaran Kementerian Pertanian sebesar Rp16,92 triliun untuk
meningkatkan produktivitas padi, jagung, dan kedelai guna mencapai swasembada
pangan. Beberapa program prioritas yang menjadi target di antaranya (i)
merehabilitasi jaringan irigasi seluas 1,1 juta hektare (Rp1,32 triliun, (ii)
optimalisasi lahan seluas 530 ribu ha (Rp636 miliar), (iii) pengadaan benih
padi 2,6 juta ha (Rp630,5 miliar), (iv) pengadaan benih jagung 1 juta ha
(Rp750 miliar), (iv) percepatan perluasan area tanam kedelai 300 ribu ha
(Rp641,8 miliar), (v) pendampingan TNI untuk dukung upaya khusus 50 ribu
orang (Rp250 miliar), (vi) bantuan pupuk padi dan jagung 3,6 juta ha (Rp2,08
triliun), (vii) pengadaan traktor roda empat sebanyak 1.000 unit (Rp444,7
miliar), (viii) pengembangan system of rice intensification seluas 200 ribu
hektare (Rp420 miliar), (ix) pengolahan pupuk organik 697 unit (Rp157,7
miliar), (x) pilot project asuransi pertanian mengover area tanam padi 1,04
juta ha (Rp150 miliar), dan (xi) pengembangan agrobisnis untuk 2.000 gabungan
kelompok petani (gapoktan) perdesaan (Rp200 miliar).
Ketiga, program meningkatkan daya
saing ekonomi, di antaranya pemerintah meningkatkan alokasi penyertaan modal
negara sebesar Rp64,8 triliun. Upaya itu untuk meningkatkan kontribusi BUMN
dalam menggerakkan perekonomian.
Di samping itu, pemerintah meningkatkan
belanja infrastruktur sebesar Rp290 triliun atau naik Rp100 triliun dari
APBN-P 2014. Di antaranya ialah untuk pembangunan jalan Rp57,82 triliun,
pemukiman Rp19,61 triliun, pengelolaan sumber daya air Rp30,53 triliun, dan
pengembangan infrastruktur wilayah 500 miliar. Selain itu, terdapat dana
tambahan untuk infrastruktur di daerah otonomi khusus seperti di Papua Rp2
triliun dan Papua Barat Rp1 triliun.
Pertanyaannya sekarang, sejauh
mana perubahan postur APBN-P tersebut akan dapat memenuhi ekspektasi publik
dan dapat mewujudkan program Nawacita? Tentu tanggung jawab publik juga untuk
terus mengawalnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar