Menlu
Retno dan Nasib “Wong Cilik” di Kemenlu
Djoko Susilo ; Dubes
RI di Bern 2010–2014
|
JAWA
POS, 02 Februari 2015
HARI ini hingga 5 Februari nanti, semua kepala perwakilan
RI di luar negeri, baik duta besar, wakil tetap, konsul jenderal, maupun
konsul RI, dipanggil pulang untuk menghadiri rapat besar di Pejambon,
Jakarta. Rapat akbar para kepala perwakilan RI itu adalah yang pertama
dilakukan pada masa Presiden Joko Widodo. Belum jelas apa arahan kepala
negara ketika bertemu dengan para duta besar yang selama ini mewakili
kepentingan bangsa Indonesia di luar negeri. Namun, bisa diduga bahwa
presiden bakal mengingatkan para duta besar akan tugas utama mereka adalah
’’menjual Indonesia’’ di negara akreditasinya.
Saya sudah bisa memperkirakan bahwa seratus lebih duta
besar dan konsul jenderal itu akan mengamini arahan presiden tersebut.
Tetapi, dalam kenyataannya, arahan tinggal arahan karena implementasinya di
lapangan bisa jauh dari harapan. Sudah bukan rahasia lagi bahwa saat ini
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan kantor perwakilan RI beroperasi dengan
anggaran yang pas-pasan dan bahkan kekurangan. Banyak KBRI yang kehabisan
anggaran dan bahkan tidak punya dana mencukupi biaya rutin saja, seperti sewa
kantor, pemeliharaan gedung dan peralatan serta gaji dan honor kegiatan.
Sayangnya, tidak semua kepala perwakilan berani menyampaikan apa adanya
kondisi yang dihadapi tersebut.
Dalam rapat akbar para duta besar itu, diharapkan setiap
duta besar bisa memberikan laporan langsung mengenai kondisi yang dihadapi.
Namun, selain tidak banyak yang berani berterus terang, umumnya waktu yang
tersedia untuk mendiskusikan kondisi lokal setiap negara juga tidak memadai.
Walhasil, rapat akbar yang digelar dua tahun sekali tersebut hanya seperti
acara rutin yang tidak mempunyai dampak signifikan terhadap pelaksanaan
politik luar negeri RI. Kegiatan KBRI dan KJRI serta perwakilan RI lainnya
akan sama saja. Sebab, rapat penting itu tidak menohok masalah inti dari
diplomasi: dukungan total semua pemangku kepentingan agar tujuan politik luar
negeri berhasil bagi kepentingan nasional.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memang telah
memperkenalkan jargon baru: diplomasi
untuk rakyat. Tetapi, rupanya, menteri luar negeri perempuan pertama itu
pun menyadari bahwa apa yang disampaikan adalah retorika kosong tanpa
substansi berarti. Sebab, meski Retno seorang diplomat yang ulet dan cerdas
serta cukup berpengalaman dalam berbagai negosiasi internasional, dia tidak
mempunyai political leverage
(dukungan politik) yang memadai yang bisa melobi pemangku kepentingan lainnya
memberikan dukungan bagi misi ’’diplomasi untuk rakyat’’. Oleh karena iru,
paling banyak yang bisa dilakukan adalah lip
service diplomacy, mengamini arahan presiden untuk melakukan ’’diplomasi
blusukan’’, antara lain dengan menjadi Menlu RI pertama yang berkunjung ke
Ethiopia.
Meski demikian, Menlu Retno sesungguhnya mempunyai banyak
’’pekerjaan rumah’’ di Pejambon. Misalnya, dia harus membereskan masalah
anggaran Kemenlu yang kelewat kecil. Dengan anggaran sekitar Rp 5,5 triliun
untuk membiayai 130 perwakilan RI dan juga biaya diplomasi, termasuk
perlindungan warga negara di luar negeri, jumlah tersebut kelewatan rendah.
Anggaran itu hanya setara dengan anggaran sebuah direktorat di Kemendiknas.
Bukan hanya jumlahnya yang relatif kecil terhadap tugas diplomasi yang
diemban, tetapi Kemenlu juga ’’menderita’’ karena anggaran ditetapkan dalam
rupiah, lalu ditransfer dalam USD. Masih beruntung kalau para diplomat
bertugas di negara yang menggunakan USD. Mereka akan lebih menderita jika USD
dibelanjakan ke mata uang lain yang lebih kuat, misalnya franc Swiss atau
dolar Australia. Duta besar atau konsul jenderal biasanya tidak terlalu
’’menderita’’ karena mereka mendapat fasilitas perumahan dan kendaraan yang
dibayar negara. Yang menderita adalah staf diplomatik dan staf lokalnya. Jika
para ’’bos’’ di KBRI atau KJRI itu tidak sensitif terhadap nasib anak buah,
sangat beratlah nasib para diplomat dan staf lokal tersebut.
’’Nasib buruk’’ sebagian para diplomat bergantung kepada
sikap toleran para duta besar atau konsul jenderal. Ada duta besar yang
menolak menaikkan gaji staf diplomat meskipun itu merupakan haknya. Menlu
Retno juga harus membenahi nasib buruk ’’wong cilik’’ di lingkungan
KVRI/KJRI. Nasib buruk juga disebabkan sistem yang dibuat para petinggi
Kemenlu. Misalnya, staf lokal di KBRI/KJRI. Tidak peduli sudah berapa puluh
tahun mereka bekerja bisa saja tiba-tiba kontraknya tidak diperpanjang tanpa
kompensasi apa pun. Staf lokal itu juga berapa lamanya bekerja lembur hanya
akan dibayar maksimum 25 persen dari gajinya. Oleh karena itu, bisa dimaklumi
jika para staf bekerja minimalis, apalagi di daerah yang memang gajinya
rendah. Misalnya, mereka yang bekerja sebagai staf lokal di sejumlah
perwakilan RI di beberapa negara di Asia.
Di kantor perwakilan sendiri ada sejumlah diskriminasi
yang terasa, tetapi tidak tampak. Korps petugas komunikasi termasuk yang
jenjang karir dan sistem penggajiannya tidak jelas. Banyak yang
bertahun-tahun gajinya tidak naik dan nasibnya tidak berubah karena duta
besar atau kepala perwakilannya menolak mengajukan perbaikan gaji. Para duta
besar pun sebenarnya ’’dizalimi’’ Kemenlu karena selama menjabat sebagai
kepala perwakilan RI gaji mereka tidak dibayarkan. Hanya, karena mereka umumnya
pegawai Kemenlu dan sudah mendapat tunjangan pendapatan luar negeri dalam
bentuk dolar, mereka tidak protes alias diam saja. Namun, di antara semua
pegawai Kemenlu yang paling tidak jelas nasibnya, korps BPKRT (bendaharawan
dan penata kerumahtanggaan).
Hingga saat ini, korps BPKRT mendapat angka pokok
penggajian 55 persen dari angka indeks gaji perwakilan. Payahnya, angka itu
tidak berubah sesuai dengan lama kerja dan berapa kali penempatan. Dengan
kata lain, pimpinan Kemenlu telah melanggar hak paling dasar dari pegawainya
karena tidak memberikan kenaikan gaji berkala sesuai dengan jenjang
kepangkatan dan masa kerja. Tidak mengherankan jika sampai saat ini puluhan
pegawai yang tergolong dalam kelompok BPKRT yang mengajukan pengunduran diri
dari status PNS pegawai Kemenlu.
Menlu Retno Marsudi maupun Sekretaris Jenderal Kemenlu
Kristiarto Legowo bukannya tidak menyadari adanya diskriminasi dan
ketidakberesan dalam urusan jenjang karir dan nasib pegawai Kemenlu. Tetapi,
mungkin mereka menganggap tidak prioritas atau sementara waktu hal itu bisa
diabaikan karena toh tidak ada protes besar-besaran dari para PNS yang
bernasib malang itu. Baik pejabat komunikasi maupun BPKRT, jumlahnya hanya
ratusan dan mereka juga tidak mempunyai political leverage atau bobot politik
yang bisa memperjuangkan nasib ’’wong cilik’’ dalam jajaran Kemenlu.
Ketika menjabat duta besar RI untuk Swiss selama empat
tahun, saya pernah dua kali mengirimkan kawat mengingatkan Menlu (waktu itu)
Marty Natalegawa dan Sekjen Kemenlu tentang dua hal: gaji para duta besar
yang tidak pernah dibayarkan dan sistem jenjang karir serta penggajian
pegawai negeri di luar negeri. Hingga saya mengakhiri tugas tahun lalu dan
Marty juga melepas jabatan sebagai menteri luar negeri, nasib ’’wong cilik’’
di Kemenlu belum dipikirkan dengan serius.
Tampaknya, para pejabat Kemenlu enggan mengambil risiko
memperjuangkan nasib orang lain sepanjang tidak menyangkut diri sendiri.
Itulah sebabnya, jangan mengharapkan mereka juga melaksanakan tugas
melindungi WNI di luar negeri dengan baik karena mereka juga tahu nasib
mereka sebagai ’’wong cilik’’ dalam bingkai Kemenlu, juga tidak diperhatikan
para pembesar di Pejambon. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar