Mempertaruhkan
Marwah
Anto Prabowo ; Wartawan
Suara Merdeka, Aktif di Budi Santoso Foundation (BSF) dan Lembaga Studi Pers
Informasi (LeSPI)
|
SUARA
MERDEKA, 02 Februari 2015
DALAM Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata marwah
berarti kehormatan diri atau harga diri. Makna lain yang kurang lebih sama
bisa kita sandingkan padanya, seperti martabat dan pamor. Beberapa hari
belakangan ini, marwah beberapa lembaga penting di negeri ini dipertaruhkan,
sehubungan dengan perseteruan orang-orang di KPK dan Polri.
Mereka adalah KPK, Polri, PDIP, serta Jokowi, baik sebagai
personal maupun institusi. Uniknya, gangguan dari marwah itu datang dari diri
sendiri, sebagian tindakan yang tampaknya heroik untuk membela martabat
lembaganya. Pertama; gangguan atas marwah Jokowi datang dari dirinya sendiri
ketika memberhentikan Sutarman sebagai kapolri, dan menetapkan Budi Gunawan
sebagai calon tunggal penggantinya.
Ada apa dengan Sutarman? Apa urgensinya diganti? Siapa
Budi? Apa istimewanya? Lalu, saat KPK melalui Abraham Samad menetapkan Budi
sebagai tersangka, masyarakat pun makin bingung. Apa yang sesungguhnya
terjadi di balik peristiwa itu? Mengapa Presiden tidak segera mencabut
penunjukannya ketika KPK sudah menetapkan Budi sebagai tersangka? Mengapa Presiden
membiarkannya meluncur ke DPR? Mengharapkan DPR menganulirnya? Setelah DPR
menilai Budi layak jadi kapolri, posisi Jokowi makin dilematis.
Pada kondisi itu, dia melakukan langkah cerdas yang
mengundang banyak pujian. Dia tidak segera melantik Budi sampai urusan
hukumnya dengan KPK selesai. Ternyata persoalan belum rampung. Semua pihak
yang terlibat seakan-akan tidak sabar menunggu.
Adalah Hasto Kristiyanto yang memulainya. Ia menuduh
Abraham punya sentimen pribadi terhadap Budi. Sulit untuk percaya bahwa Hasto
berpendapat seperti itu. Banyak yang percaya, dia mewakili kepeentingan tokoh
lebih besar, yaitu Megawati, Ketua Umum PDIP. Maka muncul pertanyaan mengapa
Megawati sangat mendukung Budi? Dampak dari manuver Hasto bagi Jokowi sungguh
luar biasa besarnya.
Dengan semakin banyak orang percaya bahwa Megawati di
balik pencalonan Budi maka memori kolektif masyarakat yang muncul saat
kampanye Pilpres 2014 — yaitu ”petugas partai” dan ”presiden boneka”— kembali
mengemuka.
Jokowi menjadi sosok tidak mandiri, tidak berdaulat atas
diri sendiri. Kredibilitasnya sebagai presiden sangat dipertaruhkan. Kedua;
marwah KPK memang dirongrong oleh pihak-pihak di luar lembaga itu, seperti
Hasto, Bareskrim yang mengkriminalisasi Bambang Widjojanto, ataupun orang-orang
yang mengadukan para komisioner KPK yang dinilai punya ”dosa” masa lalu.
Tapi kebocoran informasi yang sesungguhnya rahasia bahwa
Budi pernah diusulkan dalam penyusunan kabinet namun diberi tanda merah,
menjadi noktah yang merongrong marwah lembaga itu sendiri.
Ketiga; marwah Polri dirongrong oleh tindakan orang
Barekskrim menangkap Bambang dan menjadikannya tersangka. Mereka seakan-akan
ingin mengomunikasikan pesan, ’’memangnya
hanya KPK yang bisa menetapkan orang sebagai tersangka? Polri pun bisa!’’
Tindakan ini seakan-akan gagah. Personel Bareskrim ingin menjadi pahlawan
membela Polri. Tapi bagi masyarakat, aksi itu sungguh mengada-ada.
Dalih penangkapannya adalah Bambang menyuruh saksi
memberikan keterangan palsu, saat ia jadi pengacara dalam sengketa Pilkada
Kotawaringin Barat, 10 tahun lalu. Kasus itu sendiri sudah diverifikasi dan
divalidasi, setidaknya oleh DPR dan tim seleksi KPK, saat Bambang maju jadi
calon komisioner.
Artinya, polisi dari Bareskrim yang menangkap dan
menjadikan tersangka Bambang tidak menghargai eksistensi DPR dan tim seleksi
KPK yang telah meloloskannya jadi komisioner KPK. Proses penangkapannya juga
sungguh tidak menghargai kaidah kesopanan. Bayangkan, untuk pimpinan lembaga
prestisius KPK saja polisi bisa semenamena. Bagaimana terhadap masyarakat
biasa?
Jauh Merosot
Keempat; bagaimana dengan marwah PDIP? Manuver Hasto makin
membuat gamblang bahwa PDIP atau Megawati berada di balik pemberhentian
Sutarman dan pencalonan Budi yang berstatus tersangka sebagai kapolri. Marwah
lembaga ini pada saat ini dipertaruhkan. Apakah bila Budi menjadi kapolri
marwah PDIP meningkat? Saya kira tidak.
Sebaliknya, baik marwah PDIP maupun Presiden merosot.
Persepsi Jokowi ”presiden boneka” dan ”petugas partai” menguat. Eksistensinya
sebagai sosok presiden berdaulat terganggu. Pada saat sama, persepsi bahwa
PDIPdan Megawati sebagai pihak yang menggerogoti kedaulatan Jokowi menguat.
Andai itu terjadi, kekacauan sosial dan politik akan makin meningkat.
Boleh jadi, pada Pemilu 2019, perolehan suara PDIP akan
jauh merosot. Pada saat ini marwah empat lembaga: KPK, Polri, PDIP, dan
Presiden, tengah terganggu dan harus berusaha meningkatkan marwah
masing-masing. Dari berbagai peristiwa, upaya penyelamatan marwah secara
egoistis, kekanak-kanakan, dengan melemahkan marwah pihak lain, justru
berdampak buruk.
Perlu dicari langkah lebih cerdas demi kepentingan lebih
besar: negara bangsa. Pada saat ini Presiden Jokowi memperoleh tantangan
sangat serius. Ia tengah meniti buih di tengah ombak besar. Tantangan ini
sekaligus merupakan peluang baginya untuk menunjukkan sebagai pemimpin
sejati.
Tidak ada pemimpin besar yang dilahirkan dari kondisi
nyaman. Saya percaya, Jokowi punya seni untuk menyelesaikannya, dengan
keberanian mengambil berbagai risiko. Saya percaya, ia bisa berdaulat dalam
mengambil keputusan-keputusan itu. Saya percaya… ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar