Meneguhkan
Moderasi Beragama
Masykuri Abdillah ; Guru Besar UIN Jakarta
|
KOMPAS,
09 Februari 2015
Majelis Ulama Indonesia menyelenggarakan Kongres Umat
Islam Indonesia di Yogyakarta, 8-11 Februari 2015. Acara ini bertujuan
mengonsolidasikan agenda keislaman dan kebangsaan. Untuk mencapai tujuan itu,
salah satu materi yang dibahas adalah format strategis penguatan peran
politik umat yang kontributif bagi umat Islam dan protektif bagi empat
komitmen kebangsaan (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika).
Peran ini bisa diwujudkan jika umat Islam tetap menjaga moderasi
(wasathiyyah) dalam keberagamaan.
Sebagaimana diketahui, dalam 15 tahun terakhir dunia
disibukkan perilaku sebagian kelompok gerakan Islam yang mendukung serta
mempraktikkan fanatisme dan radikalisme. Sebagian kecil dari mereka
mempraktikkan ekstremisme, bahkan terorisme, atas nama jihad.
Secara historis, perilaku tersebut tidak bisa dilepaskan
dari ideologi atau pemikiran Ikhwan al-Muslimun dan Salafi (Wahhabi). Kedua aliran
ini menekankan purifikasi ajaran Islam dan pelaksanaannya secara ketat.
Salafi lebih menekankan pada purifikasi keesaan Allah (tauhid uluhiyyah dan
rububiyyah), sedangkan Ikhwan lebih menekankan supremasi hukum Allah dalam
negara (tauhid hakimiyyah).
Di kalangan Ikhwan memang bisa dibedakan antara faksi
Hudaibiyyah (pengikut Hasan al-Hudaibi) dan faksi Quthbiyyah (pengikut Sayyid
Quthb). Yang pertama (disebut faksi Ikhwan Tarbiyah) adalah faksi moderat
atau agak moderat, yang terakhir adalah faksi radikal. Bahkan, di antara
pengikut aliran Quthbiyyah ini ada yang menyempal dan membentuk gerakan
ekstrem, yang kemudian dianggap sebagai Ikhwan Jihadi, yakni Jama’ah
Islamiyyah, Tanzim al-Jihad (Al-Jihad al-Islami), dan Al-Takfir wal-Hijrah.
Ikhwan Jihadi ini dianggap tak sejalan dengan ideologi Ikhwan mainstream.
Sementara di kalangan Salafi, baik faksi dakwah—bagian
dari Wahhabi—maupun faksi politik atau Sururi (pengikut Muhammad Surur), juga
masih bisa dianggap agak moderat walaupun cenderung puritan yang fanatik
dengan menganggap kelompok lain sebagai bid’ah dan syirik. Di antara kelompok
Salafi ini juga ada faksi yang ekstrem, yang disebut Salafi Jihadi. Faksi ini
pun dianggap tak sejalan dengan sistem Salafi mainstream.
Secara umum, pimpinan Al Qaedah (Abdullah Azzam, Osamah
bin Laden, dan kini Ayman al-Zawahiri) pengikut ideologi Ikhwan Jihadi dan
Salafi Jihadi. Kini, ideologi Jihadi sudah menyebar ke seluruh dunia.
Kelompok Jihadi pun terdapat di banyak negara dengan berbagai nama, seperti
NIIS/ISIS, Taliban, Al-Shabab, Boko Haram, dan Mujahidin Asia Tenggara.
Konsep moderasi
Di dalam Al Quran ada beberapa ayat yang menunjukkan misi
agama Islam, karakteristik ajaran Islam, dan karakteristik umat Islam. Misi
Islam adalah sebagai rahmat bagi semesta alam (QS Al-Anbiya’: 107). Adapun
karakteristik ajaran Islam adalah agama yang sesuai dengan kemanusiaan
(Al-Rum: 30), sedangkan karakteristik umat Islam adalah umat yang moderat
(Al-Baqarah: 143). Terdapat pula ayat yang memerintahkan agar umat Islam berpihak
pada kebenaran (Al-Rum: 30) serta menegakkan keadilan (Al-Maidah: 8) dan
kebaikan agar menjadi umat terbaik (Ali ’Imran: 110).
Ayat-ayat itu memperkuat perlunya beragama dengan sikap
moderat (tawassuth) yang digambarkan sebagai umatan wasathan sehingga banyak
ulama mempromosikan konsep moderasi Islam (wasathiyyah al-Islam). Memang ada
juga kelompok yang tak setuju konsep moderasi karena dianggap menjual agama
kepada pihak lain. Secara bahasa, wasathiyyah berarti jalan tengah di antara dua hal atau pihak yang
berhadapan atau berlawanan.
Adapun pengertian dan rambu-rambu tentang moderasi ini
cukup bervariasi, tak terlepas dari pemahaman dan sikap keagamaan setiap
ulama. Salah satunya adalah Yusuf al-Qaradhawi. Dia mengungkapkan 30 rambu
moderasi ini, antara lain (1) pemahaman Islam secara komprehensif; (2)
keseimbangan antara ketetapan syariah dan perubahan zaman; (3) dukungan
kepada kedamaian dan penghormatan nilai-nilai kemanusiaan; (4) pengakuan akan
pluralitas agama, budaya, dan politik; dan (5) pengakuan terhadap hak-hak
minoritas.
Namun, para intelektual Muslim dan pengamat lebih banyak
menggunakan kata moderasi ini untuk sikap atau perilaku umat Islam daripada
untuk menyifati Islam. Saya juga lebih cenderung pada penggunaan ini karena
kata ummatan wasathan pada QS al-Baqarah : 143 tersebut menunjukkan
pengertian ini. Di samping itu, Islam adalah satu dengan sumber dasar yang
sama, yakni Al Quran dan hadis. Jika dalam kenyataannya ada berbagai aliran,
mazhab, dan orientasi politik yang berbeda-beda, hal ini disebabkan perbedaan
pemahaman dan sikap keberagamaan dalam menghadapi realitas yang ada, baik di
satu negara maupun di dunia internasional.
Konteks Indonesia
Dalam sidang-sidang BPUPKI pada 1945, awalnya para tokoh
Islam mendukung Islam sebagai dasar negara, sementara kubu nasionalis
mendukung negara sekuler. Maka, kedua kubu ini melakukan kompromi mengambil
jalan tengah dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, yang berarti
negara ini bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler, melainkan negara
modern yang tetap menjunjung tinggi eksistensi agama. Selain Pancasila,
konsensus nasional lainnya adalah UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Kenyataannya, mayoritas umat Islam di Indonesia adalah
moderat, yang diwakili Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, serta ditandai
dukungan pada empat konsensus nasional tersebut. Dengan sikap moderasi ini,
umat Islam di Indonesia menjadi model dalam hal kehidupan masyarakat dan
negara yang damai serta hormoni antara Islam dan demokrasi. Hanya saja, kini
kita juga dihadapkan pada munculnya berbagai aliran keagamaan yang dapat
mengganggu karakteristik moderasi ini.
Sebagaimana di negara-negara mayoritas Muslim lainnya,
kelompok fanatik puritan, radikal, atau ekstrem ini juga muncul di Indonesia,
terutama di era reformasi yang mendukung kebebasan. Hal ini mengakibatkan
munculnya sejumlah kasus ketegangan, intoleransi, dan konflik horizontal
dalam masyarakat. Bahkan, muncul juga konflik vertikal antara kelompok
ekstremis atau Jihadi dan negara dalam bentuk terorisme.
Menghadapi hal ini diperlukan dua pendekatan: penegakan
hukum dan persuasif. Pendekatan hukum hanya pada pelaku kekerasan, sedangkan
pendekatan persuasif dilakukan melalui upaya sosialisasi paham Islam moderat
dan wawasan kebangsaan serta counter terhadap radikalisme. Para ulama dan
tokoh Islam dengan dukungan Kementerian Agama dan lembaga terkait perlu
melakukan hal ini, antara lain melalui forum-forum sarasehan bagi para tokoh
agama dan kaderisasi calon ulama moderat.
Kita berharap agar acara Kongres Umat Islam Indonesia kali
ini dijadikan momentum untuk meneguhkan kembali keberagamaan secara moderat.
Sebab, hanya dengan moderasi (al-wasathiyyah) inilah bangsa Indonesia yang
plural ini bisa mampu meraih kemajuan dalam kehidupan masyarakat dan negara
yang damai dan demokratis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar