Membangun
dari “Pinggiran”
Mudrajad Kuncoro ; Guru Besar Ilmu Ekonomi FEB UGM
|
KOMPAS,
09 Februari 2015
Dua warisan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono setelah 10
tahun berkuasa adalah menurunnya kemiskinan, tetapi diikuti dengan
ketimpangan yang cenderung meningkat. Pertanyaannya, mengapa selama 10 tahun
terakhir kemiskinan Indonesia hanya berkurang 5,7 persen, padahal dana APBN
dan APBD untuk mengurangi kemiskinan telah digelontorkan hingga ratusan
triliun rupiah? Bagaimana pemerintah Joko Widodo membalik arah pembangunan
yang terkonsentrasi secara geografis di Jawa-Sumatera dan perkotaan menjadi
membangun dari pinggiran dan desa?
Data BPS, Januari 2015, menunjukkan tingkat kemiskinan
turun dari 16,66 persen di awal SBY memerintah (2004) menjadi 14,15 persen di
akhir era Kabinet Indonesia Bersatu I (2009), bahkan 10,96 persen pada
September 2014 dengan jumlah penduduk miskin masih 27,73 juta orang. Angka
terakhir ini hanya berkurang 0,87 juta orang dibandingkan dengan September
2013 yang 28,6 juta orang (11,46 persen). Rekor kemiskinan ini paling rendah,
baik besaran maupun persentasenya, sejak 1970. Namun, penurunan kemiskinan
masih di bawah target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
dan terjadi pelambatan penurunan kemiskinan di akhir era SBY.
Mencermati fakta ini, tantangan utama pemerintah Jokowi
adalah bagaimana menurunkan ketimpangan pendapatan antardaerah dan
antargolongan pendapatan yang cenderung meningkat (lihat Mudrajad Kuncoro,
”Mengurangi Ketimpangan”, Kompas, 2/3/2013), dan kemiskinan yang masih
substansial? Dalam dokumen resmi Kabinet Kerja yang tertuang dalam RPJMN
2015-2019, Jokowi-JK menetapkan sasaran nasional hingga 2019: (1) pertumbuhan
ekonomi 5,8-8 persen; (2) kemiskinan menjadi 8-10,5 persen; (3) pengangguran
turun menjadi 7-8 persen; (4) indeks gini turun dari 0,41 ke 0,36.
”Pinggiran” Indonesia
Secara spasial, setidaknya ada dua pola kemiskinan yang
mencolok di Indonesia. Pertama, kemiskinan di daerah perdesaan selalu lebih
tinggi daripada perkotaan. Selama 2004-2014, persentase penduduk miskin di
perdesaan berkisar 14-20 persen, sementara di perkotaan 8-14 persen. Kedua,
kantong kemiskinan terkonsentrasi di kawasan timur Indonesia (KTI), pantai
selatan Jawa, dan pantai barat Sumatera. Dari data Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (KDPD2T), masih ada 183
kabupaten tergolong tertinggal pada 2015, dengan 70 persen ada di KTI. Jumlah
ini terdiri dari 149 kabupaten yang masih berstatus daerah tertinggal selama
2004-2009 dan 34 daerah kabupaten baru hasil pemekaran.
Penyebab utama suatu kabupaten tergolong daerah
tertinggal: (1) letak geografis terpencil dan sulit dijangkau, (2) kondisi
infrastruktur sosial ekonomi kurang memadai, (3) kegiatan investasi dan
produksi masih minim, (4) berada di kawasan perbatasan antarnegara. Inilah
asal muasal mengapa daerah tertinggal di Indonesia dicap sebagai daerah
”pinggiran” karena berada di kawasan perbatasan, sulit dijangkau, bahkan
terisolasi secara ekonomi, tingkat kesejahteraannya relatif rendah, dan
memiliki infrastruktur seadanya.
Akibatnya, hingga akhir 2014, struktur perekonomian
Indonesia secara spasial masih didominasi kelompok provinsi dan
kabupaten/kota di Jawa yang memberikan kontribusi terhadap PDB Indonesia
sekitar 58,51 persen, diikuti Sumatera sekitar 23,63 persen. KTI, sebagai
kawasan pinggiran, hanya sekitar 17,96 persen. Singkatnya, pola pembangunan
yang timpang masih terus terjadi, tecermin dari kuatnya ”pusat”
(Jawa-Sumatera) sebagai gravitasi pembangunan dan menyisakan ”pinggiran” (KTI
dan desa).
Untuk mengurangi ketimpangan dan mewujudkan kesejahteraan
masyarakat yang lebih merata, Jokowi-JK memberi mandat kepada KDPD2T, yang
disebut Nawakerja Prioritas. Menteri KDPD2T Marwan Jafar menjabarkan,
Nawakerja Prioritas meliputi sembilan program jangka pendek unggulan yang
harus segera diimplementasikan: (1) peluncuran ”Gerakan Desa Mandiri” di
5.000 desa, (2) pendampingan dan penguatan kapasitas kelembagaan dan aparatur
di 5.000 desa, (3) pembentukan dan pengembangan 5.000 badan usaha milik desa,
(4) revitalisasi pasar desa di 5.000 desa/kawasan perdesaan, (5) pembangunan
infrastruktur jalan pendukung pengembangan produk unggulan di 5.000 Desa
Mandiri.
Kemudian, (6) penyiapan implementasi penyaluran dana desa
Rp 1,4 miliar per desa secara bertahap, (7) penyaluran modal bagi
koperasi/UMKM di 5.000 desa, (8) proyek percontohan pelayanan publik jaringan
koneksi online di 5.000 desa, (9) save villages di daerah perbatasan dan
pulau-pulau terdepan, terluar, dan terpencil. Tujuan besar dari sembilan
program ini adalah mewujudkan desa mandiri, membangun infrastruktur yang
menunjang perekonomian desa, menyalurkan modal untuk koperasi, meluncurkan
sistem pelayanan publik online, dan menjaga desa-desa di wilayah perbatasan.
Langkah strategis
Pembangunan desa dan pengentasan daerah tertinggal tentu
bukan suatu hal yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Jelas ini bukan
tugas KDPD2T saja. Kabinet Kerja Jokowi perlu melaksanakan UU Desa No 6/2014
secara sistematis dan berkelanjutan melalui koordinasi, fasilitasi,
supervisi, dan pendampingan kepada pemerintah desa, lembaga desa, dan rakyat
desa, dengan beberapa langkah strategis dan ”revolusioner”. Pertama, perlu
konsolidasi satuan kerja lintas kementerian/ lembaga untuk memastikan berbagai
perangkat peraturan pelaksanaan UU Desa sejalan dengan substansi, jiwa, dan
semangat UU Desa. Termasuk, penyusunan sejumlah peraturan pemerintah, yang
diperlukan agar distribusi dan alokasi dana desa berjalan efektif, tak bocor
(dikorupsi), dan bertahap. Mayoritas dana ini harus diprioritaskan untuk
pemberdayaan rakyat, usaha ekonomi desa, pasar, penguatan modal bagi UKM dan
koperasi, pembangunan jalan/jembatan, serta penguatan BUMDES.
Kedua, menyelesaikan secepatnya masalah ”perebutan
wewenang” antara KDPD2T dan Kementerian Dalam Negeri dalam menangani desa.
Tumpang tindih ini terjadi setelah Presiden Jokowi mengumumkan nomenklatur
baru Kementerian Desa, yang sebelumnya pengelolaan dana desa memang dilakukan
Kemendagri. Dalam RAPBN-P 2015, pemerintah menambah alokasi anggaran desa
dari Rp 9 triliun menjadi Rp 20 triliun sehingga setiap desa akan memperoleh
anggaran Rp 750 juta untuk satu tahun anggaran. Rakyat sebenarnya tak kaget
jika Mendagri Tjahjo Kumolo (PDI-P) dan Menteri Desa Marwan Jafar (PKB)
terkesan ”berebut dana desa”. Keberhasilan membangun desa agaknya merupakan
agenda politik kedua partai untuk Pemilu 2019. Nuansa politiknya dinilai
kental, bahkan dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap implementasi
pembangunan desa dan penyaluran dana desa. Presiden Jokowi, didampingi Wapres
Jusuf Kalla, dikabarkan telah memimpin rapat terbatas kabinet guna membahas
urusan desa beserta kelembagaan dan penganggarannya (13/1/2015). Jokowi perlu
segera mengambil sikap tegas untuk mengakhiri konflik di antara kedua
kementerian ini.
Ketiga, penanggulangan kemiskinan perlu dikombinasikan
dengan pengembangan usaha ekonomi rakyat desa, termasuk di permukiman
transmigrasi. Beberapa strategi diperlukan untuk memfasilitasi pengelolaan
BUMDES, meningkatkan ketersediaan sarana prasarana produksi, khususnya benih,
pupuk, pasca panen, pengolahan produk pertanian dan perikanan skala rumah
tangga desa, pembinaan, maupun pendampingan dalam pengembangan usaha, bantuan
permodalan, kesempatan berusaha, pemasaran dan kewirausahaan, serta
meningkatkan kapasitas masyarakat desa dalam pemanfaatan teknologi tepat
guna. Miskin terhadap akses modal merupakan masalah mendasar UKM di
perdesaan. Selama ini, UKM dianggap tak layak dapat kredit perbankan
(unbankable) karena ketiadaan dan atau kurangnya agunan. Untuk itu, perlu
diperbanyak Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah, seperti Jawa Timur dan Bali,
yang menjamin risiko kredit yang diajukan UKM. Filosofi Grameen Bank,
organisasi kredit mikro yang dimulai di Banglades dan diadopsi hampir 130
negara yang memberikan pinjaman kredit kepada orang kurang mampu tanpa
agunan, layak diterapkan karena sistem ini berangkat dari ide bahwa orang
miskin punya kemampuan yang kurang digunakan.
Penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia tidak signifikan
bisa jadi karena beberapa hal. Faktor yang dominan karena program kemiskinan
terdistribusi di sejumlah kementerian dan dinas, jalan sendiri-sendiri, dan
tidak terpadu. Ironisnya, kantong kemiskinan di tiap kabupaten/kota kurang
tersentuh program anti kemiskinan. Pola ini disebut spaceless, tak
memperhatikan di mana lokasi kaum duafa berada. Peta spasial kemiskinan
diperlukan agar dana desa dan pemberantasan kemiskinan lebih terfokus.
Tantangan yang dihadapi pejabat dan pegiat anti kemiskinan
tak mudah. Alasannya: (1) sebagian besar alokasi APBN/ APBD selama ini
terserap untuk membiayai belanja pegawai, termasuk gaji, belanja barang yang
ditujukan untuk menggerakkan ”mesin birokrasi daerah”. Tak banyak ruang untuk
mengurangi angka kemiskinan dengan biaya dan rencana inisiatif daerah. (2)
Program pemberantasan kemiskinan tak bisa dilepaskan dari program
pemberantasan buta huruf, peningkatan akses air bersih, peningkatan akses
kesehatan, dan penurunan angka anak balita kurang gizi. Untuk itu, perlu dirancang
program anti kemiskinan yang lebih menyentuh akar masalah kemiskinan dan tak
”karitatif”. Kemudian, (3) permasalahan yang dihadapi adalah ketidakcocokan
data rumah tangga miskin dengan kenyataan. Pihak kelurahan dan ketua RT
jarang dilibatkan langsung dalam pendataan keluarga miskin. Kelemahan
pendataan rakyat miskin adalah langsung dilakukan tim kemiskinan (gabungan
beberapa instansi), tetapi hasilnya tidak diklarifikasikan dengan kelurahan
sehingga banyak data tak valid.
Ketimpangan
Langkah strategis keempat, RPJMN 2015-2019 menggariskan
pembangunan bukan hanya untuk kelompok tertentu, melainkan untuk seluruh
masyarakat di seluruh wilayah. Pembangunan harus dapat memperkecil
ketimpangan, baik antarkelompok pendapatan maupun antarwilayah, dengan prioritas
wilayah desa (penduduk miskin sebagian besar tinggal di desa) dan wilayah
pinggiran, khususnya luar Jawa-Sumatera atau KTI. Dalam konteks ini, menarik
menyimak laporan tahunan Bank Dunia, ”World Development Report 2009:
Reshaping Economic Geography”. Bank Dunia menganjurkan proses transformasi
spasial di Asia Timur, termasuk Indonesia, dengan membangun 3D, yaitu:
kepadatan (density), mengurangi jarak (distance), dan menghilangkan sekat
atau ketimpangan (division), dalam upaya membuat pembangunan ekonomi menjadi
lebih pesat dan inklusif.
Makin tinggi kepadatan penduduk justru mendorong
pertumbuhan kota. Makin pendek jarak antarlokasi, makin cepat perusahaan dan
tenaga kerja berpindah mendekati peluang ekonomi. Makin kecil sekat atau
ketimpangan antardaerah, akan memperkecil hambatan masuk ke pasar global.
Implikasinya bagi Indonesia, pengembangan ekonomi kawasan perdesaan, termasuk
kawasan transmigrasi, perlu diintegrasikan dengan pengembangan perkotaan dan
mendorong keterkaitan ekonomi desa-kota, pusat-pinggiran, kawasan timur
Indonesia dan kawasan barat Indonesia. Sudah saatnya pemerintah Jokowi
melanjutkan sisi positif Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia di era SBY, sekaligus menyusun peta jalan bagaimana mengintegrasikan
program unggulan Nawa Cita (kedaulatan pangan, kedaulatan energi dan
ketenagalistrikan, kemaritiman dan kelautan, serta pariwisata dan industri)
dengan pengembangan wilayah (desa, kota, kawasan).
Kelima, koordinasi merupakan kata kunci yang mudah diucapkan,
tetapi sering lemah dalam implementasi. Perang melawan kemiskinan dan
ketimpangan sudah selayaknya jadi agenda prioritas pusat dan daerah. Kerja,
kerja, kerja! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar