Menatap
KPK Lumpuh
Mahfudz Ali ; Dosen Pascasarjana Untag Semarang, Pembina
KP2KKN Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 07 Februari 2015
DARAH mahasiswa yang tertumpah di kampus Universitas
Trisaksi dan sejumlah kejadian memprihatinkan yang mengiringi kelahiran era
reformasi, sekarang ini seolah-olah terkubur tanpa makna. Pada masa itu, di
antara sejumlah tuntutan masyarakat adalah pemberantasan korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN).
Lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan
kehakiman dinilai ’’tidak mampu’’ memberantas KKN. Dirasa mendesak mewujudkan
institusi baru dengan sejumlah kewenangan besar supaya mampu memberantas
budaya KKN.
Perdebatan antarelite politik, pegiat LSM antikorupsi,
akademisi, dan elemen masyarakat berujung pada kelahiran lembaga baru dengan
otoritas memadai, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kini, pelemahan
KPK sudah sampai tahap memprihatinkan, dan dalam hitungan hari komisi itu
bisa lumpuh. Setelah komisioner Busyro Muqoddas mengakhiri masa baktinya,
sampai kini belum diputuskan penggantinya.
Berikutnya, Bambang Widjojanto sudah berstatus tersangka,
sedangkan tiga lainnya, yaitu Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, dan
Zulkarnain, berstatus terlapor dan bisa dipastikan berubah menjadi tersangka.
Konsekuensi hukum setelah berstatus tersangka, menurut UU Nomor 30 Tahun 2002
tentang KPK, komisioner harus nonaktif dari jabatannya (Pasal 32 Ayat 2)
sehingga komisi tersebut lumpuh.
Sejumlah saksi dan tersangka yang dipanggil KPK,
seolah-olah kompak untuk mangkir dari panggilan itu, dan KPK tak berdaya
memaksanya. Fenomena pelumpuhan, bahkan penghancuran lembaga antikorupsi
bukanlah gejala khas Indonesia mengingat beberapa negara mengalami nasib
serupa.
Komisi sejenis di Korea Selatan yang awalnya demikian
perkasa memberantas korupsi, dalam perjalanannya harus menelan pil pahit dan
tak berdaya karena berubah fungsi sebagai pencegah korupsi. Demikian pula di
Thailand yang awalnya bisa memperkarakan sejumlah menteri, berikut perdana
menteri, belakangan harus menerima dalam kekangan rezim penguasa.
Tampaknya tinggal lembaga antikorupsi di Hong Kong dan
Tiongkok yang masih berjaya. Apakah KPK bakal senasib dengan lembaga serupa
di Korsel dan Thailand? Senyatanya, pelemahan KPK bukanlah cerita baru.
Beberapa upaya telah dilakukan politikus busuk, pengusaha
hitam, penyelenggara negara dan pejabat pemerintah yang korup. Modusnya dari
mempereteli otoritas dan anggaran, perekrutan SDM, hingga tembakan langsung
ke sasaran seperti sekarang, yaitu memperkarakan para komisioner dan
penyidiknya.
Sulit untuk tidak menyimpulkan begitu mendengarkan
persidangan di MK tahun 2009, sewaktu penegak hukum mengkriminalisasikan
komisioner KPK Chandra Hamzah-Bibit Samad Riyanto. Seandainya Jokowi
istikamah pada mekanisme pengisian penyelenggara negara dengan melibatkan
PPATK dan KPK, sebagaimana saat mengangkat menteri maka sengkarut
antarlembaga penegak hukum tidak berhilir seperti ini.
Sudah terang-benderang bahwa yang dia ajukan sebagai calon
kapolri terkena spidol merah dari PPATK dan KPK, kenapa tetap diajukan?
Ketika calon itu menjalani tes di DPR, lalu keluar penetapan status
tersangka, kenapa Jokowi tidak menarik pengajuannya? Terlepas siapa yang
mengusulkan nama Budi Gunawan kepada Presiden, yang pasti pengangkatan dan
pemberhentian kapolri adalah tanggung jawab presiden, bukan tanggung jawab
pengusul.
Tantang Jokowi
Mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Sydney Australia
menantang keberanian Jokowi-JK untuk mewujudkan Nawacita yang dulu gencar
digemakan dalam kampanye Pilpres 2014. Visi misi ke-4 Nawacita adalah menolak
negara lemah, dengan mereformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas
korupsi, kata mahasiswa dari University of Sydney, Yuna Farhan, Senin
(2/2/15).
Mahasiswa dan masyarakat di Sydney yang tergabung dalam
Jaringan Mahasiswa dan Masyarakat Antikorupsi Indonesia di Sydney
(Jarimanis), menyatakan saat ini kepentingan oligarki menyandera Jokowi dan
berujung pada pelemahan KPK dan kriminalisasi komisionernya. Presiden harus
segera menyelamatkan KPK, dan dia yang dipilih langsung oleh rakyat harus
hadir sebagai representasi rakyat, bukan representasi partai. Jokowi harus
berani kehilangan dukungan elite politik ketimbang dukungan rakyat.’
Semasa pemerintahan SBY-Hatta
Rajasa, ketika komisioner KPK tinggal dua orang, Presiden SBY
menerbitkan perppu untuk posisi plt menggantikan Antasari Azhar dan Chandra-Bibit
yang menjadi tersangka. Kini, setelah komisioner KPK hampir pasti tidak ada
yang tersisa, apakah Jokowi mau mengikuti jejak SBYdalam kerangka
penyelamatan KPK? Semua terpulang pada kenegarawanan Jokowi, atau membiarkan
KPK bernasib sama dengan lembaga sejenis di Korsel dan Thailand? Jangan
biarkan koruptor berpesta-pora menatap KPK lumpuh dan mati suri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar