Menanti
Palu Jokowi
Refly Harun ; Pengamat dan
Pengajar Hukum Tata Negara
|
DETIKNEWS,
10 Februari 2015
Perdebatan mengenai calon Kapolri saat ini, bisa jadi,
bukan lagi soal dilantik atau tidaknya Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG),
melainkan siapa calon baru yang akan diajukan. Sinyal untuk mengajukan calon
baru itu sesungguhnya sudah terlihat ketika pada 16 Januari lalu Presiden
Jokowi memutuskan untuk ‘menunda’ pelantikan BG dan lebih memilih Komjen
Badrodin Haiti (BH), sang Wakapolri, untuk melaksanakan tugas, wewewang, dan
tanggung jawab Kapolri.
Dari sisi politik, pilihan untuk melantik BG ibarat jalan
bebas hambatan. Paripurna DPR telah menyetujui untuk memberhentikan Jendral
Sutarman dan menggantikannya dengan BG. Status tersangka BG tak mengurangi
hasrat hampir semua kekuatan politik untuk menjadikan mantan ajudan Presiden
Megawati itu sebagai Kapolri.
Bila Jokowi melantik BG, tak akan ada protes DPR. Satu-dua
pakar hukum pun ikut nimbrung dengan menyatakan bahwa tidak ada pilihan bagi
Jokowi karena BG sudah disetujui DPR. Persetujuan DPR diibaratkan persetujuan
rakyat. Karena rakyat sudah setuju BG jadi Kapolri, Jokowi harus melantik,
terlepas apa pun status yang sedang disandang BG saat ini. Tak peduli pula
bahwa dengan menjadi tersangka, BG sudah pasti akan menjadi terdakwa. Sudah
pasti pula BG akan ditahan sebelum digiring ke pengadilan tindak pidana
korupsi.
Isyarat Mundur
Nyatanya, Jokowi tidak memilih persetujuan yang sudah
diberikan tersebut. Sutarman tetap diberhentikan, tetapi nasib BG digantung
hingga ada kejelasan terhadap proses hukumnya. Padahal, siapa pun tahu,
penyelesaian status hukum BG hingga berkekuatan hukum tetap tidak mungkin
selesai dalam jangka waktu satu-dua minggu.
Akil Mochtar saja, sejak ditangkap pada 2 Oktober 2013 dan
dinyatakan sebagai tersangka keesokan harinya, hingga kini masih menunggu
putusan yang berkekuatan hukum tetap (in
kraacht). Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu masih menunggu putusan MA
atas upaya kasasi yang ia ajukan setelah pengadilan negeri menjatuhkan
putusan penjara seumur hidup, yang kemudian dikuatkan pengadilan tinggi.
Fakta ini harusnya dapat menggiring BG untuk menjadi tahu
dan sadar diri. Jokowi menjalankan komunikasi politik Jawa, tidak menyatakan
secara eksplisit apa yang dimaui. Lebih mengandalkan bahasa tersirat
ketimbang tersurat. Padahal, maksud Jokowi tegas: BG mundur saja agar Presiden
tidak terbelenggu.
Maksud itu lebih jelas lagi ketika dua pewarta
menyampaikan pesan Jokowi. Pertama, pernyataan Menteri Sekretaris Negara
Pratikno, bahwa “akan lebih indah bila BG mundur”. Yang lebih gamblang adalah
pesan yang disampaikan Buya Syafii Maarif. Jokowi, kata mantan Ketua PP
Muhammadiyah tersebut, menyatakan melalui telepon tidak akan melantik BG.
Satu isyarat dan dua pesan dari dua pewarta tersebut tetap
tak membuat BG mundur. Bisa dimengerti bila pilihannya begitu, karena siapa
pun yang sudah ditetapkan sebagai tersangka KPK selama ini tidak bisa lolos.
Semua pesakitan KPK menjadi terpidana. Semua dihukum. Belum ada sang
pengecuali.
Beberapa waktu lalu, saat membela kliennya, pengacara Anas
Urbaningrum sangat yakin mampu memecahkan telur tidak pernah kalah KPK. Ia
yakin mampu membebaskan mantan Ketua Umum Partai Demokrat tersebut. Nyatanya,
Anas tetap dihukum. Baru-baru ini, pengadilan tinggi hanya mengurangi lamanya
hukuman, dari delapan menjadi tujuh tahun. Anas tetap bersalah.
Dalam kasus BG, keteguhan tidak mau mundur itu karena back
up politik yang kuat. Empat orang yang ditengarai paling berpengaruh bagi
Jokowi – Megawati, Surya Paloh, Jusuf Kalla, dan Hendropriyono – semuanya
menginginkan BG dilantik. Tidak hanya ingin, tetapi juga mendesak. Bisa juga
dikatakan memaksa.
Praperadilan
Lagi-lagi Jokowi bergeming, tidak bergeser dari posisi
awal untuk cenderung tidak melantik. Angin Jokowi akan mengumumkan calon
Kapolri baru berembus kencang sebelum keberangkatan ke luar negeri, 5
Februari lalu. Namun, Megawati dan para petinggi Koalisi Indonesia Hebat
(KIH) bertandang ke istana. Entah apa yang disoal, tetapi satu yang
terkonfirmasi adalah pelantikan menunggu proses praperadilan.
Praperadilan, bisa jadi, diharapkan menjadi juru selamat
BG. Skenarionya, bila permohonan praperadilan atas penetapan status tersangka
BG dikabulkan, bola panas akan mengarah ke Jokowi lagi. Desakan untuk
melantik BG akan bertambah kencang. Lain halnya bila permohonan praperadilan
ditolak.
Padahal, pemula hukum pidana pun tahu, status tersangka
tak bisa dipraperadilankan. Bila mekanisme praperadilan diberi kewenangan
untuk bisa menguji satus tersangka, jelas akan menjadi lonceng kematian bagi
KPK. Semua tersangka akan berbondong-bondong membawa status mereka ke hadapan
hakim tunggal di pengadilan negeri.
Namun, yang perlu digarisbawahi, andaipun praperadilan
dimenangkan oleh BG, KPK tetap dapat melakukan dua hal. Pertama, mengajukan
peninjauan kembali ke MA dan kedua menetapkan kembali BG sebagai tersangka
dengan prosedur yang dianggap benar. Tindakan ini seperti ketika polisi
disalahkan dalam proses penangkapan dan penahanan. Tangkapan tinggal
dilepaskan, lalu ditahan lagi dengan prosedur yang dianggap benar.
Praperadilan sama sekali tidak menyentuh substansi soal dugaan tindak pidana
korupsi oleh BG.
Bagi seorang pejabat publik sekelas Kapolri, substansi
jauh lebih penting ketimbang prosedur. Dalam diri pejabat publik sekelas
Kapolri, tidak melulu hak yang harus diketengahkan, melainkan juga
kepercayaan publik. Diakui atau tidak, kewarasan publik pasti menghendaki
Kapolri yang tidak terbelit masalah hukum. Lantai kotor hanya bisa
dibersihkan dengan sapu bersih.
Lalu, apa lagi yang harus ditunggu Jokowi? Dijepit banyak
karang kepentingan memang tidak enak bagi sang Presiden, yang notabene bukan
darah biru partai – hingga kerap dicap “petugas partai”. Terlebih, penjepit
untuk segera melantik BG justru mengalir deras dari PDIP sendiri, partai
pengusung utama.
Namun, sesulit apa pun keputusan yang harus diambil,
seorang pemimpin pada akhirnya memang harus mengambil keputusan. Risiko
selalu akan menghadang. Keberanian dan kecermatan menghitung risiko menjadi
taruhan. Mudah-mudahan keputusan yang diambil itu bukan dengan mengorbankan
hari nurani, akal sehat, dan janji politik sebagaimana tertuang dalam Nawa
Cita: memilih Kapolri yang bersih.
Pukul 1.20 WIB dini hari ketika saya menyelesaikan tulisan
ini, whats up saya dikirimi berita Presiden sudah mendarat di Bandara Halim
Perdanakusuma. Welcome back Pak Jokowi. Kami menanti ketukan palu Bapak
sebagai Presiden yang kami pilih, bukan sebagai ‘petugas partai’. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar