Jakarta
Belum Aman
Dicke Nazzary Akbar ; Kandidat
Doktor di Hafencity University Hamburg
|
KOMPAS,
10 Februari 2015
LAPORAN hasil survei Economist Intelligence Unit yang
menggelari Jakarta sebagai kota paling tidak aman dari 50 kota besar dunia
merupakan kritik yang baik bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sayangnya,
cara mengantisipasi laporan ini—dengan meningkatkan razia dan patroli,
memasang CCTV di setiap sudut Ibu Kota, bahkan yang paling ekstrem
menempatkan penembak jitu di titik-titik rawan kejahatan—menunjukkan
ketidakpahaman yang mendalam terhadap hasil survei tersebut.
Pertama-tama, perlu diluruskan
bahwa indikator yang digunakan dalam survei tersebut berjumlah 44 buah,
dibagi lagi menjadi 4 kelompok besar, yaitu keamanan digital, kesehatan,
infrastruktur, dan personal.
Dari seluruh indikator, angka
kematian korban bencana alam merupakan indikator terburuk Kota Jakarta
(peringkat ke-50), diikuti dengan akses terhadap kesehatan (49), jumlah
ketersediaan dokter (49), akses makanan yang aman dan berkualitas (49), dan
kualitas pelayanan kesehatan (48).
Adapun beberapa indikator
kriminalitas mendapatkan nilai pada ambang rata-rata, seperti persepsi
keamanan (peringkat ke-33), kegiatan kelompok kriminal (23), dan kejahatan
berat (16). Artinya, pokok masalah ”ketidakamanan” Jakarta bukan bertumpu
pada masalah kriminalitas.
Kapasitas layanan
Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang
diluncurkan pada awal pemerintahan Jakarta Baru, mulai 10 November 2012,
masih merupakan terobosan terbaik dari seluruh program kerja. Keterjaminan
warga, terutama golongan miskin dan rentan miskin, pada akses kesehatan
dipastikan akan mendorong kualitas hidup warga Kota Jakarta.
Laporan akhir tahun Kompas (31/12)
yang memaparkan pertumbuhan pasien pengguna KJS 300.000 pasien per tahun
signifikan menunjukkan pemenuhan kebutuhan warga. Berbagai program inisiatif,
seperti klinik layanan di rumah susun, layanan gawat darurat melalui telepon,
dan peningkatan kelas puskesmas menunjukkan usaha pemerintah meningkatkan
kinerja KJS.
Namun, pekerjaan rumah pemerintah
masih cukup banyak. Kasus-kasus penolakan pasien akibat kamar penuh atau
fasilitas tidak tersedia masih terjadi (Kompas, 2/12).
Dalam survei Economist
Intelligence Unit (EIU), jumlah ketersediaan dokter dan tempat tidur rumah
sakit di Jakarta masih tertinggal jauh dibandingkan dengan kota negara
tetangga, seperti Bangkok dan Ho Chi Minh City. Dengan rencana awal target
peserta KJS 4,7 juta jiwa, tentu saja kapasitas sumber daya pelayanan
kesehatan harus menjadi prioritas utama pemerintah sekarang ini.
Rumitnya proses administrasi yang
sering menghambat warga terhadap akses pelayanan harus segera diselesaikan.
Keberadaan program Kartu Indonesia Sehat sebagai pengembangan Jaminan
Kesehatan Nasional pun sempat dikhawatirkan memperumit program KJS. Integrasi
data dari berbagai program sosial ini menjadi satu kesatuan dalam E-KTP harus
menjadi impian, setidaknya untuk menjawab ketumpang tindihan metode ”kartu”.
Korban banjir
Sejauh ini, apabila dibandingkan
dengan musim hujan tahun-tahun sebelumnya, frekuensi dan lama kejadian banjir
genangan di beberapa titik terlihat menurun. Namun, masalah utama Kota
Jakarta ini masih jauh dari kata selesai.
Sebagai ancaman bencana alam
terbesar perkotaan versi PBB, banjir memang bukan perkara yang mudah.
Terlebih lagi bagi Jakarta yang secara geografis sudah mengundang genangan.
Maka, Jakarta perlu waktu dan usaha ekstra untuk menghadapi masalah ini.
Selain itu, dampak pasca banjir,
seperti penyakit leptospirosis, harus pula menjadi perhatian utama
pemerintah. Walaupun tidak mengambil korban materiil seperti banjir, penyakit
ini pada 2014 merenggut korban jiwa 18 orang, dengan total keseluruhan 104
kasus. Artinya, angka korban kematian akibat penyakit pasca banjir hampir
sejajar dengan korban kematian bencana banjir pada tahun yang sama. Padahal,
angka ini belum ditambah dengan korban dari penyakit lain yang berhubungan
langsung dengan banjir ataupun musim hujan, seperti diare, demam berdarah,
dan infeksi saluran pernapasan.
Keterjaminan pedestrian
Kewajiban penyertaan jalur
pedestrian atau trotoar pada setiap jalan lalu lintas umum tersurat secara
jelas dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kenyataannya,
Koalisi Pejalan Kaki memperkirakan hanya 6 persen dari jalanan di Kota
Jakarta yang memiliki trotoar dan 80 persennya dalam kondisi tidak layak.
Pantaslah jika survei EIU menempatkan Kota Jakarta pada indikator keramahan
jalur pedestrian di peringkat ke-39.
Apabila kondisi ini tidak
ditindaklanjuti dengan usaha serius pemerintah meningkatkan ketersediaan
jalur pedestrian, dapat dipastikan program pemerintah mengembangkan
infrastruktur transportasi massal, seperti MRT, monorel, dan bus berjalur khusus,
pun akan menjadi sia-sia. Pada hakikatnya, jalur pedestrian adalah tulang
punggung transportasi massal.
Selain ketersediaan trotoar,
kenyamanan dan keamanan kaum pedestrian pun masih jauh dari harapan. Kasus
pengguna sepeda motor yang menaiki trotoar atau menggunakannya sebagai lahan
parkir masih terus terjadi. Padahal, menurut hierarki, pedestrian memiliki
takhta tertinggi dibandingkan pengguna moda transportasi lainnya.
Di persimpangan kecil negara
maju—yang sudah memahami betul hierarki ini—pengguna kendaraan bermotor akan
selalu berhenti, memberikan kesempatan bagi kaum pedestrian untuk menyeberang
terlebih dahulu. Sebuah budaya yang masih menjadi mimpi di Kota Jakarta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar