Kacamata
Kuda versus Teropong Lebar
Firoz Gaffar ; Chairman
Figa Institute of Law and Economics (FILE)
|
KORAN
TEMPO, 17 Februari 2015
Apa warna hukum? Bisa merah, kuning, hijau, atau lainnya.
Maksudnya, kinerja hakim dalam penegakan hukum bisa colorful. Publik di
Indonesia saat ini tegang menunggu beleid dan vonis dari pemegang kekuasaan
formal, yakni eksekutif dan yudikatif, dalam kasus calon Kepala Polri.
Di satu sisi, Presiden baru melantik atau tidak Budi
Gunawan sebagai orang nomor satu kepolisian hanya bila pengadilan sudah
memutus permintaan praperadilan. Di sisi lain, hakim menilai keabsahan
prosedur pada tahap penyidikan atau penuntutan-sesuai dengan nama
"praperadilan"-sebelum substansi perkara diperiksa nantinya.
Banyak aspek yang bisa diuji di sini, yakni wewenang
komisioner KPK yang tidak lengkap dalam penetapan tersangka, status Budi
Gunawan saat perkara sebagai penyelenggara negara atau penegak hukum, dan
sebagainya. Salah satu yang signifikan adalah pengujian obyek praperadilan
menurut Pasal 1 angka 10, Pasal 77, Pasal 82, dan Pasal 95 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam hal ini, kita bisa menyorot masalah ini dari
perspektif teori hukum. Spektrum tinjauan beragam, dari ekstrem kiri sampai
ekstrem kanan, tradisional sampai pasca-modern, dan stabilitas sampai
perubahan persepsi. Teori akan menunjukkan pijakan bagi decision maker dan
menjernihkan gambaran buat masyarakat atas perkara. Dari sekian banyak
aliran, barangkali ada dua pandangan yang sudah panjang umurnya, universal
berlakunya, dan berseberangan duduknya, yang patut ditimbang.
Teori pertama adalah positivisme. Hukum dalam ajaran ini
dideskripsikan berlaku pada waktu dan tempat tertentu. Pelopor aliran ini,
John Austin, berkata, "Inti dari yurisprudensi adalah hukum positif:
hukum yang secara sederhana dan ketat, atau hukum yang secara politik
diberlakukan kelompok yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah." (The Province of Jurisprudence Determined,
1832).
Ada dua kesimpulan. Pertama, hukum yang secara sederhana
dan ketat disebut hukum adalah "hukum yang ada" (law as it is) yang mutlak dibedakan
dengan "hukum yang seharusnya" (law
as it ought to be). Kedua, kebenaran hukum hanya ditentukan oleh
"otoritas politik". Hikmahnya bahwa hukum dipisahkan dari parameter
moral, agama, etika, atau apa pun yang bersifat non-yuridis. Tidak ada relasi
hukum dengan kebaikan atau keburukan. Selama hukum sudah ditentukan penguasa
yang sah, berlakulah hukum.
KUHAP menyebutkan obyek praperadilan, yaitu validitas
empat perbuatan hukum, yakni penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan
dan penuntutan, serta permintaan rehabilitasi pihak yang perkaranya dihentikan.
Penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka secara eksplisit tidak termasuk di
dalam kategori "hukum yang ada". Selain itu, KUHAP adalah produk
hukum yang secara sah dilahirkan oleh presiden dan DPR sebagai "otoritas
politik" yang sah. Dengan kacamata kuda positivisme, hakim dengan mudah
menolak permintaan praperadilan. Tapi ternyata hakim mengabulkan permohonan.
Teori kedua adalah realisme. Tidak seperti ajaran
positivisme, hukum menurut aliran realisme adalah kenyataan hidup. Terdapat
dua konklusi. Pertama, "hukum tidak logis" atau tidak dapat
ditemukan melalui pola pikir silogisme, melainkan berdasarkan pengalaman.
Kedua, "efek fenomena non-yudisial" seperti moral, politik,
intuisi, pengakuan, prasangka, adalah faktor yang mempengaruhi eksistensi
hukum. Pelajarannya, hukum tidak asosial, melainkan kental berinteraksi
dengan wacana publik. Dalam bahasa lain, hukum tidak lagi independen dan
super, bila bertentangan dengan misi berbangsa dan bernegara.
Dalam kenyataannya, penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka
berada dalam rentetan waktu yang berdekatan dengan pencalonan dirinya menjadi
Kepala Polri. Setelah dicalonkan Kompolnas ke Presiden dan selanjutnya
diajukan Presiden ke DPR, beliau ditetapkan sebagai tersangka. Padahal DPR
telah menyetujui dan berikutnya Presiden tinggal melantik. Karena "hukum
tidak logis", tahap demi tahap proses ketatanegaraan tersebut tidak
kebal terhadap koreksi menurut nilai yang hidup.
Di samping itu, tuntutan integritas pejabat, ancaman
kompleksitas politik nasional, keyakinan diri hakim, kesadaran pribadi Budi
Gunawan, prasangka negatif publik, menjadi "efek fenomena
non-yudisial" yang mewarnai vonis. Dengan teropong lebar realisme, hakim
seyogianya menolak permohonan praperadilan. Namun hakim ternyata menerima
gugatan.
Hakikat praperadilan adalah proses cepat dan sederhana.
Cukuplah alas vonis ialah positivisme atau realisme. Vonis hakim telah jatuh:
menerima gugatan praperadilan dengan mengesampingkan kedua teori. Baik dari
sisi keilmuan ataupun sisi kebangsaan, teori dibuat mandul. Penguasa-termasuk
hakim-mestinya bertugas mensejahterakan, bukan menyengsarakan masyarakatnya.
"Tugas gembala yang baik adalah mencukur ternaknya, bukan
mengulitinya" (Boni pastoris est
tondere pecus, non deglubere). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar