Implikasi
Hukum dan Politik jika BG Dilantik
Tjipta Lesmana ; Mantan Anggota Komisi Konstitusi MPR
|
KORAN
SINDO, 18 Februari 2015
Setelah sidang praperadilan pada Senin (16/2) mengabulkan
gugatan Komjen Pol Budi Gunawan (BG), opsi paling kuat bagi Presiden Joko
Widodo (Jokowi) tampaknya melantik perwira tinggi polisi itu sebagai kepala
Polri.
Kemarin, Selasa (17/2), Wakil
Presiden Jusuf Kalla juga sudah mengatakan, dia akan melantik BG sebagai
kepala Polri ”Kalau saya presiden!”
Menurut pemikiran linear dan logis, memang tidak ada alasan bagi
Presiden untuk tidak melantik BG. Bukankah hakim tunggal, Sarpin Rizaldi,
dengan tegas memutus bahwa penetapan BG sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sah dan oleh sebab itu hakim mengabulkan
gugatan BG? Konkretnya, masih menurut pemikiran linear dan logis, BG sejak 16
Februari 2015 bukan seorang tersangka.
Lalu, apa lagi yang ditunggu Presiden? Bukankah sampai
Minggu (15/2) malam di Istana Bogor, Presiden masih mengatakan kepada para
awak pers bahwa dia harus menunggu putusan sidang praperadilan? Ketika Surya
Paloh, ketua umum Partai NasDem, kemarin sore sekitar pukul 16.00 menghadap
Presiden di Istana Negara, sinyal pelantikan BG semakin terang.
Megawati Soekarnoputri dan Surya Paloh adalah dua politisi
KIH yang sejak awal mendesak Presiden tidak ragu-ragu melantik BG sebagai
kepala Polri. Saya berpikir Presiden akan melantik BG kemarin. Tapi, rupanya
Presiden masih harus berpikir-pikir, juga dengan alasan ada masalah penting
lain yang mendesak yaitu persiapan peringatan Konferensi Asia-Afrika (KAA)
pada April mendatang.
Saya yakin alasan ini hanya dibuat-buat. Jelas dong,
putusan tentang BG jauh lebih penting dan lebih mendesak ketimbang persiapan
peringatan KAA! Maka itu, hampir dipastikan bahwa Presiden masih membutuhkan
renungan dan timbang-timbang lagi sebelum mengeluarkan keputusan final,
melantik BG atau melantik perwira bintang tiga lain sebagai kepala Polri?
Kenapa Presiden Masih Saja Ragu?
Menurut saya, pernyataan Wakil Ketua Tim 9 Prof Jimly
Asshiddiqie merupakan jawaban yang jitu. Di mata Prof Jimly, Presiden
mendapatkan dua tekanan yang sama-sama kuat dan harus dipertimbangkan
masak-masak. Pertama, dari para politisi partai-partai pendukungnya maupun
dari Koalisi Merah Putih. Kedua, dari rakyat.
Tekanan dari rakyat, kalau diabaikan, bisa menimbulkan
risiko anjloknya integritas dan popularitas Presiden. Lima tahun ke depan dia
akan ditinggalkan para pendukungnya. Sebaliknya, tekanan dari kalangan
politisi ”berumur sehari-hari”. Dia akan digempur terus oleh politisi kalau
Presiden tidak segera melantik BG sebagai kepala Polri.
Lalu, mana yang akan dipilih Presiden, risiko ditinggal
rakyat banyak pendukungnya pada 2019 atau risiko berhadapan dengan DPR sehari-hari?
Keduanya memang sama-sama tidak enak. Tapi, Presiden harus segera ambil
keputusan! Seorang pemimpin, apalagi pemimpin negara dan bangsa, harus
memiliki ketegasan dan keberanian mengambil keputusan secepatnya, sekaligus
siap menanggung risiko apa pun yang timbul akibat keputusan yang diambilnya
itu! Pemimpin yang tidak berani ambil risiko dan selalu merasa ketakutan ya
dia tidak pantas memimpin negara.
Sekali lagi, kalau kita bertanya, kenapa
Presiden membutuhkan satu bulan lebih untuk memutuskan masalah BG? Saya yakin
seyakin-yakinnya, dalam hati sanubari yang paling dalam, Pak Presiden
sesungguhnya tidak mau melantik BG.
Kenapa? Pertama , dia percaya penuh pada masukan ”9
Pendekar” yang tergabung dalam Tim 9 bentuk Presiden sendiri. Sembilan orang,
semua, terdiri atas putra-putra Indonesia yang sangat bagus integritasnya,
apalagi ada figur-figur seperti Buya Syafii Maarif, Prof Jimly Asshiddiqie,
dan Prof Hikmahanto Juwana. Orang-orang ini juga yang berjuang mati-matian
menopang Presiden ke kursi RI-1. ”Sialnya”, Tim 9 sejak awal sudah membisiki
Presiden untuk membuang nama Budi Gunawan.
Kedua, Presiden rasanya tidak pernah lupa peristiwa 16
Januari 2015. Hari itu massa besar relawan Presiden turun ke jalan, termasuk
di depan Istana, mendesak supaya Presiden tidak melantik. Ketika itu mereka
sudah bersiap-siap balik badan, menarik dukungannya kepada Presiden.
Presiden sedikit panik dan lewat ajudan mengundang Fajroel
Rahman, ketua Gerakan Salam Dua Jari, ke Istana. Tapi, bukankah pengadilan
sudah menyatakan penetapan tersangka BG tidak sah? Jawaban atas pertanyaan
ini, saya persilakan Anda buka media sosial dua pekan terakhir ini.
Ketiga, Presiden bukan tidak membaca dan tidak
memperhatikan komentar-komentar para pakar hukum terkait putusan sidang
praperadilan Senin lalu. Banyak sekali yang mengecam putusan yang dijatuhkan
hakim Sarpin Rizaldi. Mantan Hakim Agung Djoko Sarwoko
misalnya mengecam putusan Sarpin Rizaldi yang membatalkan status tersangka
Komjen Budi Gunawan. ”Hakimnya
tersesat! Ngawur..... Hakim terbawa arus!” Maka itu, Djoko Sarwono menyarankan KPK tidak usah indahkan
putusan yang melanggar KUHAP itu.
Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin Tumpa berpendapat
yang sama. ”Memperluas kewenangan
praperadilan dengan alasan tidak diatur itu kan ngaco. Praperadilan sudah
diatur dengan jelas kewenangannya.”
Menurut Jimly Asshiddiqie, mantan ketua Mahkamah
Konstitusi, suatu saat KPK bisa memperbaiki proses penetapan tersangka. ”Bisa saja minggu depan, satu bulan depan,
dua bulan lagi, Budi Gunawan dijadikan tersangka lagi. Bisa saja itu
terjadi!” Sebab itu, Jimly ”membisiki” Budi Gunawan untuk tidak cepat-cepat
merasa di atas angin. Maka itu, hampir dipastikan KPK akan mengajukan PK
terhadap putusan praperadilan yang memenangkan BG.
Putusan praperadilan itu memang aneh bin ajaib. Pertama,
putusan itu menjungkirbalikkan isi Pasal 7 KUHAP. Kedua, jika putusan
tersebut memiliki kekuatan hukum tetap, siapa pun yang jadi tersangka dapat
menggugat ke sidang praperadilan dan pengadilan tidak dapat menolak karena
sudah ada yurisprudensinya yaitu putusan praperadilan di Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan pada 16 Februari lalu.
Ketiga, segera bakal banyak tersangka yang ”antre”
menggugat ketetapan hukum atas diri mereka yang dinilai ”sewenang-wenang”
seperti yang dikatakan hakim Sarpin Rizaldi. Jangan lupa, MA pernah menguji
putusan praperadilan kasus PT Chevron. Saat itu, 27 September 2012, hakim
tunggal di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Suko Harsono, memutus bahwa
penetapan tersangka korupsi Bachtiar Abdul Fatah tidak sah. Tapi,
dalam putusan kasasinya, Mahkamah Agung menyatakan hakim Suko telah melampaui
kewenangannya. Kewenangan memutus legalitas penetapan tersangka tak termaktub
dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Itulah sebabnya, Presiden atas masukan para penasihat
hukumnya juga bimbang. Kalau BG dilantik dan putusan praperadilan 16 Februari
2015 kemudian dibatalkan oleh kasasi Mahkamah Agung, berarti BG tetap
tersangka dan pasti akan secepatnya diproses oleh KPK untuk diajukan ke
Pengadilan Tipikor. Lalu, seorang pakar hukum di Surabaya mengatakan Presiden
bisa dimakzulkan bila dia tetap melantik BG sebagai kepala Polri!
Maka itu, pendapat yang mendesak Presiden segera melantik
BG dengan alasan the case is closed
setelah praperadilan memutus gugatan BG, menurut saya, hanyalah pendapat
linear dan logis, tidak memperhatikan implikasi hukum dan politik yang lebih
jauh. Atau pendapat yang terlalu simplistis. Faktanya, masalah tidak begitu
mudah. Masalahnya, putusan hakim Sarpin Rizaldi bakal dikasasi ke Mahkamah
Agung.
Dua mantan ketua Mahkamah Agung yang amat terhormat serta
seorang mantan Hakim Agung yang terhormat sudah mengeluarkan ”legal opinion” yang sama bahwa
putusan Sarpin Rizaldi ngawur dan ngaco. Presiden kini dalam posisi
terjepit. Marilah kita sama-sama berdoa agar Pak Presiden pada akhirnya
mengambil keputusan berdasarkan hati nuraninya yang paling dalam dan petunjuk
Allah Yang Maha Penyayang lagi Pengasih.. Amin.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar