Beban Baru dari Penguasa Baru
Kusfiardi ; Analis Ekonomi
Politik
|
KORAN
SINDO, 13 Februari 2015
Hari ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dijadwalkan akan
mengesahkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan
(RAPBN-P) Tahun Anggaran 2015 menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Perubahan (APBN-P) Tahun Anggaran 2015.
Mengiringi pengesahan RAPBN-P 2015 menjadi APBN-P 2015,
perlu rasanya mengemukakan beberapa hal penting menyangkut arah kebijakan
pemerintah. Dalam Nota Keuangan (NK) RAPBNP Tahun Anggaran 2015 pemerintah
membatasi diri dalam mengoptimalkan upaya penerimaan pajak. Alasan pembatasan
itu agar tidak mengganggu perkembangan investasi dan dunia usaha.
Bahkan pemerintah tak segan memberikan insentif perpajakan
dan bea masuk yang ditanggung pemerintah bagi sektor-sektor usaha tertentu.
Pemerintah sendiri tidak menjelaskan lebih jauh mengenai sektor tertentu yang
dimaksud. Pada alokasi pendapatan negara, pemerintah justru menggenjot
kenaikan penerimaan dari pajak pertambahan nilai (PPn), pajak bumi dan
bangunan (PBB), serta cukai.
Penerimaan PPn dalam APBN 2015 dipatok Rp524,97 triliun,
sementara di RAPBN-P 2015 angka itu melonjak menjadi Rp576,47 triliun. Angka
itu sudah disepakati dalam postur sementara RAPBN-P 2015. Kemudian penerimaan
PBB dalam APBN 2015 sebesar Rp26,68 triliun juga digenjot menjadi Rp26,69
triliun di RAPBN-P 2015 dan sudah disepakati dalam postur sementara RAPBN-P
2015.
Lalu penerimaan cukai dalam APBN 2015 sebesar Rp26,68
triliun juga dinaikkan menjadi Rp26,69 triliun dalam RAPBN-P 2015 dan
disepakati dalam postur sementara RAPBN-P 2015. Kenaikan target penerimaan
dari PPn, PBB, dan cukai bukan saja berdampak menekan daya beli, tapi juga
bisa menambah berat beban rakyat. Hal inilah yang harus juga mendapat
perhatian pemerintah.
Beban rakyat masih akan bertambah seiring dengan keputusan
pemerintah melakukan penghapusan subsidi BBM jenis premium pada sisi belanja
negara. Bersamaan dengan itu pemerintah mengurangi subsidi untuk BBM jenis
solar melalui alokasi subsidi tetap. Alokasi belanja subsidi bahan bakar
minyak (BBM), liquefied petroleumgas (LPG), dan bahan bakar nabati (BBN) yang
di APBN 2015 berjumlah Rp276 triliun dibabat habis menjadi hanya Rp81,8
triliun dalam RAPBN-P2015.
Angka itu masih dipangkas lagi sehingga dalam postur
sementara RAPBN 2015 menjadi RP64,7 triliun. Kebijakan menghapuskan subsidi
tersebut berpotensi menimbulkan rentetan ketidakstabilan ekonomi yang dipicu
volatilitas harga BBM. Bahkan lebih jauh hal itu sangat berpotensi mendorong
kenaikan harga barang dan jasa. Secara akumulatif kondisi tersebut akan
berpengaruh buruk pada kesejahteraan rakyat dan dapat memicu naiknya angka
kemiskinan dan pengangguran.
Tampaknya pemerintah tidak peduli bahwa BBM adalah faktor
produksi penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak.
Pemerintah juga seolah tak peduli keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang
menyatakan bahwa kebijakan menyerahkan harga BBM mengikuti mekanisme pasar
bertentangan dengan konstitusi.
Menambah Utang
Meskipun sudah menghapus subsidi premium dan memangkas
subsidi BBM lainnya dengan alasan efisiensi, ternyata kebijakan itu tak
berpengaruh banyak pada defisit anggaran. Defisit dalam APBN 2015 tercatat
mencapai Rp245,9 triliun, pada RAPBN-P 2015 menjadi Rp225,9 triliun, dan di
postur sementara RAPBN-P 2015 menjadi Rp224,1 triliun.
Pada sisi pembiayaan untuk menutupi defisit, pemerintah
menegaskan masih akan setia menggunakan pembiayaan yang bersumber dari
pinjaman luar negeri. Dalam APBN 2015 penarikan pinjaman luar negeri (bruto)
sebesar Rp47 triliun, kemudian dalam RAPBN-P 2105 naik menjadi Rp49,2 triliun.
Dalam postur sementara RAPBN-P 2015 disepakati menjadi Rp48,6 triliun.
Pemerintah juga melakukan komitmen pinjaman siaga sebesar
Rp61 triliun yang bersumber dari Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB),
Japan Bank for International Cooperation (JBIC), dan Pemerintah Australia.
Pemerintah juga menerbitkan surat utang negara (SUN). Penerbitan SUN oleh
pemerintah tidak hanya dengan denominasi rupiah, tetapi juga dalam denominasi
valuta asing. Pemerintah menambah penerbitan surat berharga negara (SBN).
Pemerintah berencana mendapatkan pembiayaan melalui
penjualan SBN denominasi rupiah dan dolar AS sebesar Rp38 triliun. Penambahan
utang tersebut dilakukan pemerintah untuk membiayai penyertaan modal negara
(PMN). Dalam APBN 2015 alokasi PMN hanya Rp5,1 triliun. Namun angka itu
melonjak drastis dalam RAPBN-P 2015 menjadi Rp72,9 triliun. Kemudian dalam
postur sementara RAPBN-P 2015 menjadi Rp64,8 triliun.
Jauh dari Harapan Rakyat
Potret kebijakan anggaran yang tecermin dalam NKRAPBN- P
2015 menunjukkan bahwa pemerintahan baru belum mengakomodasi perubahan sesuai
harapan rakyat. Tentu rakyat berharap agar pemerintahan baru bisa menjalankan
kebijakan yang dapat membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Harapan
tersebut bukan saja wajar, tetapi juga mendapatkan legitimasi dari konstitusi
UUD 1945.
Pasal-pasal dalam konstitusi negara secara jelas
mengamanatkan kepada pemerintahan untuk senantiasa melindungi segenap tumpah
darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum,
dan ikut serta dalam menciptakan perdamaian dunia. Namun, sayang, pemerintahan baru yang saat ini berkuasa
masih berwatak sama dengan rezim terdahulu. Tampak tak hendak bersungguh-sungguh
menjalankan amanat konstitusi. Sebaliknya kuat sekali kesan patuh pada
investor dan pengusaha walaupun harus melanggar konstitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar