Ada
Apa Jokowi-PDIP dengan KPK?
Bambang Soesatyo ; Anggota
Komisi III DPR,
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
|
SUARA
MERDEKA, 04 Februari 2015
PEMERINTAH dan PDIP seperti pasang badan menghadapi
kemarahan publik akibat ”serangan” beruntun mereka ke jantung Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Mengapa pemerintahan Joko Widodo dan PDIP mau
mengambil risiko itu? Adakah agenda khusus di balik keberanian menghadapi
tantangan yang tidak ringan tersebut?
Manuver pemerintah dan PDIP serta partai-partai pengusung
Jokowi-JK pada pekan ketiga Januari 2015 cukup mengejutkan dan di luar
perkiraan publik. Tak terpisah dari rangkaian masalah menyusul penetapan
tersangka Komjen Budi Gunawan oleh KPK, menyusul Plt Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto
pada Kamis (22/1) menembakkan peluru tajam ke jantung KPK.
Hasto mengungkap aktivitas politik Ketua KPK Abraham Samad
menjelang Pilpres 2014. Dari penuturannya, publik seperti mendapat pemahaman
bahwa Abraham berambisi jadi cawapres mendamping capres (waktu itu) Joko
Widodo. Dia mengungkapkan Abraham beberapa kali mengadakan pertemuan dengan
elite partai politik pengusung Jokowi.
Belum selesai perang kata-kata KPK versus Hasto, Bareskrim
Mabes Polri menindaklanjuti laporan kader PDIP, Sugianto Sabran tentang
perintah Bambang Widjojanto ketika menjadi pengacara, terkait kesaksian palsu
di MK persidangan sengketa hasil Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan
Tengah. Bareskrim pun menangkap Bambang pada Jumat (23/1) pagi dan menahannya
belasan jam.
Membuktikan Tuduhan
Sabtu (24/1), serangan ke jantung KPK berlanjut dengan
laporan kuasa saham PT Desy Timber, Mukhlis Ramdhan, ke Bareskrim atas kasus
yang melibatkan wakil ketua KPK lainnya, Adnan Pandu Praja. Tiga serangan ini
luar biasa dan publik pun marah. KPK pun sudah menjawab dengan argumentasi.
Persoalannya, semua itu menyangkut kemampuan pemerintah
dan PDIP meyakinkan publik bahwa yang mereka tuduhkan itu benar adanya, dan
bukan isu. Ini jelas bukan pekerjaan gampang mengingat publik terlanjur
menyanjung figur pimpinan KPK. Artinya, pemerintah dan PDIP harus bisa
membuktikan. Andai semua yang dituduhkan itu tak terbukti, benarlah apa yang
dikatakan sebagian orang bahwa pemerintahan Jokowi dan PDIP sedang bunuh diri
politik. PDIP pasti sudah berhitung risikonya jika serangan ke KPK salah
sasaran alias tak terbukti.
Hampir dalam satu dekade terakhir ini, semua unsur di
dalam negeri, termasuk kekuatan politik, enggan berhadap-hadapan secara
terbuka dengan KPK. Memang, beberapa anggota DPR sering melancarkan kritik
tajam, tetapi hal itu dilihat sebagai sikap personal, bukan sikap partai.
Karena itu, ketika Hasto membuka serangan, kemudian dilanjutkan Sugianto
Sabran, publik pun berasumsi institusi PDIP sedang melancarkan serangan balik
ke KPK.
Kenapa PDIP marah? Apakah benar karena KPK telah
mempermalukan Jokowi dalam kasus Budi Gunawan sebagai calon tunggal kapolri?
Tapi sebenarnya manuver Hasto cukup berbahaya. Apakah dia sudah
memperhitungkan risiko maksimal yang bakal dihadapi? Pasalnya sangat mudah
bagi KPK untuk tiap saat ”mengganggu” Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri,
terutama berkait kebijakan release and
discharge bagi obligor BLBI.
Kebijakan yang diterbitkan semasa Megawati menjabat
presiden itu dianggap bermasalah dan sedang didalami KPK. Sejumlah saksi,
termasuk mantan menteri era pemerintahah Megawati, sudah diperiksa. Bahkan
pimpinan KPK menyatakan tidak segan-segan memanggil Megawati untuk
mendengarkan kesaksiannya.
Tidak mengherankan jika publik, termasuk sejumlah ahli
hukum dan pegiat antikorupsi, memaknai serangan beruntun ke KPK itu sebagai
upaya pemerintah dan PDIP melemahkan KPK. Tudingan ini dibantah elite PDIP,
Tjahjo Kumolo, yang kini menjabat Mendagri. Tjahjo menyegarkan ingatan publik
dengan menjelaskan bahwa Megawati berperan dalam pembentukan KPK tahun 2003.
Ia seperti ingin menegaskan bahwa pemerintah dan PDIP tak ingin memperlemah
peran KPK.
Lantas apa motif utama serangan beruntun PDIP ke KPK?
Kalau hanya marah kepada Abraham, mengapa dua komisioner lainnya jadi sasaran
serangan? Bahkan, tiga serangan itu plus tambahan pernyataan Hasto yang
’’menghujat’’ institusi KPK, bukan lagi personal. Padahal, taruhannya besar
jika PDIP dan pemerintahan Jokowi tidak kooperatif dengan KPK, yakni
menyangkut dukungan publik.
Dengan memorakporandakan status hukum unsur kepemimpinan
KPK, apa sesungguhnya agenda pemerintah dan PDIP terkait masa depan komisi
antikorupsi itu? Salah satu jawaban yang cukup relevan bisa didapatkan bila
mengacu pernyataan tambahan Hasto saat dia mengungkap aktivitas politik
Abraham. Hasto megatakan KPK acap kurang maksimal menangani kasus besar
korupsi karena terlalu fokus membuat drama politik di masyarakat.
Status Hasto tak bisa dipisahkan sebagai Plt Sekjen PDIP.
Jelas terlihat bahwa PDIP ingin mengoreksi KPK. Mengingat kepemimpinan KPK
bersifat kolektif kolegial, dua komisioner lainnya pun ikut jadi sasaran.
Yang menimpa KPK bisa dikaitkan dengan masa bakti kepemimpinan rezim Abraham
yang tahun ini berakhir. Serangan beruntun terhadap ketua dan dua wakil ketua
KPK bukan hanya menunjukkan ketidaksukaan PDIP terhadap cara KPK mengelola
persoalan, melainkan juga menunjukkan rasa tidak nyaman PDIP dan pemerintah
terhadap Abraham dan kawan-kawan.
Bila yang dilakukan PDIP sekarang tidak bertujuan untuk
melemahkan KPK maka kemungkinannya pemerintahan Jokowi dan PDIP ingin
menghadirkan rezim baru kepemimpinan di KPK setelah era Abraham Samad dan
kawan-kawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar