Asa
dari Praperadilan
M Issamsudin ; Peminat
Masalah Hukum, Tinggal di Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 04 Februari 2015
AKHIR Januari 2015, ada dua pengajuan permohonan
praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Pertama; terkait
dengan penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua; terkait dengan penangkapan Wakil Ketua
KPK Bambang Widjojanto oleh Polri. Dua permohonan itu setidak-tidaknya
menjadi bukti bahwa praperadilan menjadi tempat bertaruh asa para pemohon
guna mendapatkan keadilan.
Praperadilan adalah sarana menegakkan hukum dan melindungi
hak-hak hukum warga negara dari tindakan aparat hukum yang tidak dibenarkan
oleh hukum. Adapun asa itu adalah PN melalui putusan hakim tunggalnya
menyatakan objek gugatan praperadilan yang diajukan pemohon tidak sah menurut
hukum.
Putusan sah atau tidaknya objek yang digugat akan
menentukan berlanjut atau tidaknya proses hukum terhadap diri Budi ataupun
Bambang. Namun semua itu bergantung dari banyak hal, selain alasan dan
bukti-bukti yang diajukan pemohon harus kuat, materi gugatan benar-benar
objek praperadilan, serta objektivitas dari praperadilan tersebut.
Hal yang patut jadi pijakan utama adalah materi gugatan
termasuk ranah objek praperadilan atau bukan? Hal itu tidak boleh diabaikan
oleh siapa pun. Pasal 77 UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara
Pidana menyebutkan PN berwenang memeriksa serta memutus sah tidak sahnya
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, dan
permintaan ganti rugi atau rehabilitasi bila perkara tak diajukan ke
pengadilan.
Tidak Termasuk
Mendasarkan ketentuan tersebut berarti penetapan seseorang
sebagai tersangka dalam suatu kasus pidana, tidak termasuk objek gugatan yang
bisa dimohonkan praperadilan. Konsekuensinya, hakim dituntut oleh hukum untuk
tidak menerima gugatan praperadilan tersebut. Dasarnya, yang digugat bukan
termasuk objek yang jadi kewenangan PN untuk memeriksa dan memutus perkara
itu. Jadi, hakim tidak dapat memeriksanya lebih lanjut.
Konsekuensinya, tersangka harus mengikuti proses hukum.
Apalagi kalau pengajuan praperadilan itu dijadikan alasan oleh Budi Gunawan
untuk tidak menghadiri panggilan KPK. Bila yang digugat itu tidak termasuk
objek praperadilan tapi hakim tetap memeriksa/memutus permohonan praperadilan
itu mendasarkan Pasal 5 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
berarti hakim mengabaikan arti dari praperadilan itu sendiri.
Pasal 5 memang mewajibkan seorang hakim untuk menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Namun kewajiban itu tidak boleh mengabaikan hakikat
praperadilan dengan disertai tanggung jawab kepada Tuhan YME.
Di sisi lain, bila objek gugatan praperadilannya adalah
proses penangkapan dan/atau penahanan, pengadilan wajib menerima dan
memeriksa bila syarat formal dan material dari gugatan praperadilan
terpenuhi.
Konsekuensi, hakim wajib memeriksa secara cepat dan
memutus sah tidaknya objek gugatan paling lambat 7 hari sejak dimulainya
persidangan. Bila diputuskan proses penangkapan atau penahanannya tidak sah
maka penyidik atau penuntut umum harus segera membebaskan tersangka.
Sebaliknya, bila sah maka tersangka harus mengikuti proses hukum lebih
lanjut.
Lalu, kapan penangkapan/penahanan itu dinyatakan sah
menurut hukum? Penangkapan, menurut Pasal 1 Butir 20 KUHAP adalah tindakan
penyidik dalam bentuk pengekangan sementara waktu kebebasan
tersangka/terdakwa bila terdapat cukup bukti untuk menyidik, dan proses hukum
selanjutnya.
Proses penangkapannya pun tidak bisa sewenang-wenang.
Berdasar Pasal 18 KUHAP, penangkapan harus dilakukan petugas Polri dan hanya
sah bila memenuhi beberapa syarat. Pertama; menunjukkan surat perintah
penangkapan yang dikeluarkan penyidik/penyidik pembantu.
Kedua; menyerahkan surat perintah penangkapan kepada
tersangka dengan pencantuman identitas, alasan penangkapan, uraian singkat
mengenai kejahatan (tentu dengan pasal pidananya) yang disangkakan dan
informasi mengenai tempat pemeriksaan. Ketiga; setelah menangkap, polisi
harus menyerahkan tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga
tersangka.
Bukan Penculikan
Keabsahan dan kejelasan ini penting supaya bisa
menjelaskan bahwa penangkapan terhadap seseorang itu bukanlah penculikan (disappearance). Terlebih soal
penerapan pasal dan tindakan petugas yang menangkap, harus sesuai dengan
aturan hukum. Sewaktu menjalani pemeriksaan pun dan ditahan, tersangka punya
hak didampingi kuasa hukum dan tidak mendapat perlakuan yang berunsur
kekerasan.
Bila penangkapan atau penahanan itu tidak sesuai dengan
aturan hukum maka hal itu layak diputus tidak sah dengan segala
konsekuensinya. Terlepas dari apa pun hasil persidangan praperadilan yang
diajukan terkait Budi Gunawan (dimulai Senin, 2/2 tapi ditunda) atau Bambang
Widjojanto (dimulai Senin, 9/2), praperadilan keduanya akan jadi pertaruhan
bagi hakim yang mengadili, dan lembaganya.
Terutama terkait otoritas dan kebebasan penegakan hukum
dan HAM yang bebas intervensi dari apa dan siapa pun kecuali kebenaran, keadilan,
dan tegaknya hukum.
Mengingat kedua gugatan praperadilan itu juga menjadi asa
banyak pihak di luar para pemohon, apa pun putusannya semua pihak harus
menghormati. Masalah puas dan tidak puas atas putusan hakim praperadilan,
itu wajar. Yang penting, permohonan praperadilan bisa menyadarkan siapa pun
bahwa hukum telah memberi jaminan perlindungan atas hak-hak warga negara,
termasuk hak-hak dalam bidang hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar