Jumat, 01 November 2013

Serius dari Densus Antikorupsi

Serius dari Densus Antikorupsi
Herie Purwanto  ;   Kasat Binmas Polres Pekalongan Kota,
Dosen Fakultas Hukum Univer­sitas Pekalongan (Unikal)
SUARA MERDEKA, 31 Oktober 2013 


“Tak sulit mewujudkan densus antikorupsi. Pertanyaan kritisnya, benarkah Polri serius ingin memberantas korupsi?”

SATU hal menarik saat uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) Komjen Sutarman di hadapan Komisi III DPR yang akhirnya menyetujuinya menjadi Kapolri adalah usulan mengenai perlunya Polri membentuk detasemen khusus (densus) antikorupsi. Adalah Bambang Soesatyo, politikus Partai Golkar yang melontarkan usulan tersebut. Apa yang menarik dari usulan ini? Apakah berpeluang ditindaklanjuti oleh Sutarman, yang menggantikan Jenderal Timur Pradopo?

Bila Sutarman komit terhadap penyataannya saat ia menerima kehadiran anggota Komisi III DPR di kediamannya, sebelum ia menjalani uji kelayakan dan kepatutan maka usulan itu menjadi sebuah jawaban atas komitmennya tersebut.

Pada kesempatan tersebut Sutarman menyatakan akan bersikap tegas dalam memberantas korupsi, termasuk korupsi di tubuh Polri. Alasan lain yang juga patut untuk menjadi pertimbangan adalah, pertama; setelah penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, kita bisa mengatakan Indonesia berada dalam kondisi nyaris darurat korupsi.

Dalam konteks darurat korupsi ini, sudah selayaknya diambil langkah-langkah progresif, dan itu harus dilakukan oleh lembaga negara yang diberi kewenangan dalam penegakan hukum terhadap korupsi. Dalam konteks itu, KPK, kejaksaan dan Polri perlu segera mengambil langkah strategis sehingga bangsa ini bisa cepat terselamatkan dari virus korupsi. KPK sudah menunjukkan taring dalam pemberantasan korupsi. Tinggal dua lembaga lainnya harus bisa mengimbangi.

Sebagai usulan, pembentukan detasemen khusus antikorupsi menjadi pilihan logis. Polri sudah teruji dan mampu unjuk gigi dalam menangani terorisme di Indonesia, dengan membentuk Detasemen Khusus (Densus) Anti Teror, yang kerap disebut Densus 88. Terorisme sebagai kejahatan yang satu level dengan tindak pidana korupsi yaitu sebagai extraordinary crime harus diberantas dengan cara-cara luar biasa pula.

Faktanya meski dana operasional sudah dianggarkan setara dengan anggaran penyidikan KPK, penyidik tipikor Polri yang sudah dibentuk hingga tingkat satuan setingkat polres, belum bisa bekerja secara maksimal. Bahkan banyak satuan polres tidak mampu menyerap anggaran yang besar itu, hingga pada ujung tahun anggaran 2013 ini. Ini berarti kepercayaan negara terhadap Polri dalam pemberantasan korupsi, belum bisa diberdayakan secara maksimal.

Kewenangan Penyadapan

Kedua; detasemen khusus antikorupsi, tentunya harus beranggotakan penyidik dengan integritas yang kompetitif, dan didukung oleh sarana modern investigasi, semisal berupa kewenangan penyadapan. Tanpa adanya kewenangan ini, detasemen itu berisiko menjadi macan ompong. Operasi tangkap tangan oleh KPK selama ini sangat terbantu oleh adanya kewenangan tersebut.

Fakta selama ini, mengungkap dugaan kasus korupsi hanya dengan mengandalkan penggalian bukti-bukti dokumen, sangat tidak produktif. Tidak mungkin dalam proses penyelidikan, penyidik meminta data dokumen yang terkait dengan dugaan kasus korupsi. Bisa jadi, begitu ada gelagat penyelidikan, bukti-bukti tersebut segera dimusnahkan oleh ’’calon’’ tersangka.
Ada sebuah anekdot, tim penyidik korupsi dengan surat resmi meminta kepada seorang wali kota untuk memberikan data tentang sebuah proyek yang diindikasikan berbau KKN, yang dilaporkan oleh sebuah LSM.

Sewaktu menerima kedatangan penyidik dan menerima surat itu, wali kota tersenyum lebar. Senyum itu menyimpan beragam makna. Apa mungkin wali kota yang sedang dibidik sebagai koruptor akan memberikan data yang kelak akan menjerumuskannya ke penjara?

Jadi, pembentukan detasemen khusus antikorupsi, juga harus didukung oleh political will baik dari eksekutif maupun legislatif. Memerintah seorang prajurit untuk berperang, tentu kesatuan itu harus menyediakan senjata yang diperlukan. Bila tidak, bisa dipastikan hanya akan membuat prajurit tersebut mati konyol serta tidak bisa dicapai apa yang menjadi tujuannya.


Sebenarnya tidak sulit untuk mewujudkan deta­semen khusus antikorupsi, lebih-lebih dalam kondisi bangsa yang tengah terserang virus korupsi. Ekse­kutif yang terwakili dengan penyataan Presiden SBY yang komit dalam pemberantasan korupsi dan legis-latif yang terwakili oleh membidani usulan ini, tentu akan menjadi pendorong kuat bagi Polri untuk merealisasikannya. Rakyat Indonesia tentu akan mendukung. Pertanyaan kritisnya, benarkah Polri serius ingin memberantas korupsi?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar