|
SAAT
ini gerakan antikorupsi mengalami defisit aktivis. Itulah mengapa muncul
istilah tujuh el (7L): ”Lu lagi, lu lagi,
and then lho, lu lagi.”
Maksudnya, dalam setiap pertemuan diskusi, seminar, pelatihan
atau lokakarya, atau mengungkap dan melaporkan kasus korupsi, orangnya itu-itu
juga. Jumlah aktivis antikorupsi bisa dihitung dengan jari.
Mereka ada di kota-kota besar. Namun, seperti volume uang
beredar, mereka juga terkonsentrasi di Jakarta. Makin jauh dari Jakarta, makin
sulit menemukan mereka. Aktivis antikorupsi di daerah yang sukses biasanya juga
ingin hijrah ke Jakarta.
Kelangkaan aktivis antikorupsi jelas sebuah paradoks. Karena,
pertama, reproduksi koruptor berjalan mulus dan sangat cepat. Lihatlah profil
mereka yang dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung
akhir-akhir ini. Mereka mewakili generasi baru dalam kancah kejahatan korupsi,
baik yang sudah terbukti bersalah maupun masih tersangka.
Kedua, kejahatan korupsi mengalami pendalaman. Ini anomali.
Di tempat lain, transisi demokrasi itu melanjut ke tahap penguatan dan
pendalaman demokrasi. Di sini, yang menguat dan mendalam justru korupsinya.
Indikasi pendalaman korupsi cukup jelas. Bidang, jabatan,
atau profesi yang dulu dianggap ”bersih” sekarang terkontaminasi juga. Dari segi
pelaku, jumlah koruptor mencapai ribuan. Hampir setengah jumlah kepala daerah
(gubernur dan bupati/wali kota) dan ribuan anggota DPR/DPRD terlibat korupsi.
Sengketa pilkada dan pengadaan Kitab Suci pun menjadi ajang korupsi. Perguruan
tinggi, dosen, bahkan guru besarnya juga terlibat korupsi.
Reproduksi
alamiah
Mengapa sampai terjadi defisit aktivis? Pertama, jalur,
jenjang, dan prospek karier aktivis antikorupsi dan LSM pada umumnya kurang
jelas. ”Profesi” ini belum cukup dikenal, apalagi mapan.
Risiko keamanan dan keselamatan kerja yang tinggi dalam
advokasi antikorupsi tidak bisa disebut sebagai alasan tidak mau atau enggannya
orang menjalani profesi ini. Sebab pekerjaan atau usaha apa yang tak berisiko?
Buruh pabrik tekstil berisiko tergencet mesin. Petani berisiko gagal panen.
Nelayan berisiko karam ditelan ombak. Pedagang kaki lima berisiko digusur
satpol PP. Jurnalis berisiko diculik dan dihina. Risiko keamanan dan
keselamatan sebenarnya bergantung juga pada strategi dan pendekatan yang
digunakan lembaga dalam mengembangkan advokasi antikorupsinya.
Ada lembaga yang memilih pendekatan keterlibatan konstruktif
dalam kerja-kerja advokasinya. Mereka bekerja lebih pada sisi pencegahan, bukan
penindakan. Di antaranya dengan memberikan bantuan teknis kepada institusi
pemerintah, partai politik, atau korporasi dalam mengembangkan program dan
jaring pengaman antikorupsi.
Lembaga lain mungkin lebih menonjol pada sisi pemberantasan
korupsi. Melakukan litigasi kasus korupsi, melaporkannya kepada institusi penegak
hukum, khususnya KPK, dan memublikasikannya kepada khalayak melalui media.
Menyebut nama dan mempermalukannya di depan publik juga kerap dilakukan dalam
advokasi antikorupsi. Misalnya menyusun dan merilis nama politisi yang memusuhi
gerakan antikorupsi dan KPK. Lebih jauh, mereka juga menganjurkan agar tidak
memilihnya dalam Pemilu 2014.
Memang cukup berisiko. Namun, lanskap sosial, politik, dan
kultural kita saat ini lebih demokratis dan terbuka sehingga risiko keamanan
dan keselamatan dalam kerja-kerja ini sekarang lebih bisa dikelola.
Dulu, di era Orde Baru, tekanan dan intimidasi itu datang
dari negara (vertikal). Secara sembunyi-sembunyi atau terangterangan, negara
menggunakan state repressive apparatus-nya, seperti polisi, tentara, atau
jaksa, untuk membungkam kritik atau laporan penyimpangan. Sekarang tekanan dan
intimidasi itu, kalaupun ada, biasanya datang dari samping, seperti dari preman
atau ormas kepemudaan yang disewa oleh orang yang kepentingan atau
kredibilitasnya terganggu dengan laporan aktivis antikorupsi.
Kedua, tidak ada proses reproduksi (regenerasi) aktivis
antikorupsi yang jelas dan terencana. Di dunia LSM, lahirnya aktivis
antikorupsi lebih karena proses alamiah dan kebetulan. Itu pun tidak banyak;
satu, dua, atau tiga orang saja dalam satu periode tak tentu. Bisa setahun,
atau lebih. Hal ini jelas berbeda dengan institusi militer, kepolisian,
kejaksaan, kehakiman, atau partai politik. Mereka punya proses reproduksi yang
jelas dan ajek. Sekali mereproduksi bisa puluhan, bahkan ratusan, orang.
Kewenangan yang dimiliki dan penguasaan sumber daya yang jelas memungkinkan
mereka mempunyai proses reproduksi personalia yang jelas dan ajek.
Jihadis
antikorupsi
Kita harus segera hijrah dari reproduksi alamiah ke
reproduksi yang disengaja dan terencana dalam memasok aktivis antikorupsi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) bukan hanya sadar akan kegawatan masalahnya,
tetapi juga sudah mengambil langkah nyata dengan mengembangkan sekolah
antikorupsi. Inisiatif seperti ini harus disambut, diperkuat, dan direplikasi.
Penguatan perlu dilakukan dengan pelembagaan teologi
antikorupsi yang bukan hanya bisa menjadikan arena advokasi antikorupsi sebagai
arena jihad, melainkan juga mentransformasikan aktivis antikorupsi sebagai
jihadis (mujahid) antikorupsi. Meskipun istilah jihad sangat kuat berasosiasi
dengan Islam, seharusnya ia bisa dikemas menjadi lintas agama dan keyakinan.
Bagi jihadis antikorupsi, nilai dasar dan motivasi
keterlibatannya dalam gerakan antikorupsi bukan lagi soal memperbaiki tata
kelola sumber daya, atau tata kelola pemerintahan an sich, melainkan
ini adalah pergulatan dan perjuangan memenangkan hak atas kebatilan. Prospeknya
jelas: menang atau mati syahid!
Pelembagaan teologi antikorupsi ini diharapkan akan menarik
pemuda dan orangtua untuk menjadi jihadis antikorupsi. Mereka akan memobilisasi
dan mencurahkan sumber dayanya sendiri untuk menjadi jihadis antikorupsi.
Sumber daya, nyali, dan militansi sebagian orang yang selama
ini dipakai untuk merazia secara ilegal warung yang menjual minuman keras,
lokalisasi pelacuran dan perjudian, dan lain-lain, seharusnya bisa
direalokasikan untuk kepentingan jihad antikorupsi. Energi dan pemikiran
terbaik mereka (jika ada) barangkali akan lebih berguna untuk memproduksi
pusat-pusat pendidikan dan pelatihan jihadis antikorupsi. Dengan cara itu,
reproduksi aktivis antikorupsi bisa lebih terjamin. Stok aktivis antikorupsi
bisa dipenuhi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar