Sejarah
Sunyi Neruda
Agus Hernawan ; Pekerja Kebudayaan yang lahir di
Palembang
|
KOMPAS,
08 Februari 2015
Pernikahan Ferdinand of Aragon dengan Isabella of Castile
menyatukan dua dominasi, melahirkan Spanyol sebagai bangsa dalam satu
kesatuan dan realitas. Granada direbut kembali melalui pembantaian orang Moor
atas nama perang suci Abad Pertengahan. Sang Ratu Isabella pun ditasbihkan
oleh Pope Alexander VI sebagai ”pemilik dan tuan” Dunia Baru setelah Columbus
bersama armadanya merapat di pulau
karang berbentuk cincin yang dinamai San Salvador.
Tetapi, bagi Neruda, Granada telah hilang untuk selamanya.
Kematian Lorca, perang saudara di Spanyol, dan simpatiknya ke kaum
Republiken, membawa Neruda kembali ke Cile. Ia mengakhiri mimpi buruk: memanggul
beban kesunyian 550 tawanan Indian yang diangkut Columbus, persembahan bagi
Sang Ratu, the patroness of the Holy
Inquisition. Neruda—seorang yang
ingin berterima di tanah beradab—mendapati dirinya memikul beban kesunyian
budak Indian yang mati kedinginan dan dicampakkan ke laut.
”Kami menenggelamkan mereka, tidak
jauh dari daratan Spanyol,” tulis Michele de Cuneo (dalam Journal and Other Documents on the life and Voyages of Christopher
Columbus (ed) Morison, 1963). Sementara sisanya, tulis Galeano, dijual
sebagai budak di Sevilla dan mati sengsara. Tetapi, saat kembali Neruda
mendapati Amerika Latin bukan ”the New World” yang eksotik seperti
termuat dalam peta perjalanan ke Dunia Timur di Biblioteca Marciana sejak
pangkal Abad ke-16. Ia mendapati sejarah yang menghampar di atas kekejaman
pelatuk senapan. Dengan nada geram, dalam Explico
Algunas Cosas, Neruda menulis:
Dan kau akan bertanya: mengapa puisi-puisinya tidak
berbicara tentang anggur mimpi dan
dedaun gugur dan kemegahan jubah gunung emas tanah asalnya? Datang dan lihat
kematian menggenang di jalan-jalan. Datang dan lihat darah di jalan-jalan.
Datang dan lihat darah menggenang di jalan-jalan!
Sejarah modernitas adalah sejarah benua yang hilang. The primitive accumulation of capital
di balik serbuan Barat, buruh-buruh imigran Irlandia yang dimiskinkan,
budak-budak Asia dan Afrika yang diangkut kapal Portugis menuju Brasil, dan
90 juta kaum pribumi yang musnah dalam 500 tahun kolonialisme. Neruda pun
mendatangi sebuah pangkal, sebelum waktu imperial. Ia berziarah ke ketinggian Pegunungan Andes, ke
reruntuhan kota kuno. Ia mendatangi Macchu Picchu untuk menemukan akarnya.
Ziarah ke Macchu Picchu mengawali kemunculan puisi-puisi
Neruda yang memanggul kewajiban dan etis pada hidup. Suara untuk kematian masa lalu, untuk
bebatu, dan di atas segalanya, untuk sejarah yang ditenggelamkan. Pedro
Orgambide menyebut Neruda dalam Ganto General-nya menyuguhkan suara yang
sangat politis, suara Amerika Latin dengan sejarah yang drastis dan penuh
lubang peluru.
Amerika Latin adalah tempat sastra menafsir ”realitas”
sekaligus mentransformasikannya. Ia menjadi kesastraan yang penuh risiko
karena menempatkan bahasa bukan melodi, melainkan ”suara dan gema” di dalam
sistem komunikasi yang dimonopoli kekuasaan. Di keseluruhan Amerika Latin,
kediktatoran militer yang didukung Barat meletakkan kebebasan berpikir di
bawah bayang-bayang bayonet. Monopoli atas ”kata” (the monopoly of the world) membuat bahasa menjadi properti
kekuasaan. Neruda jauh lebih beruntung dibandingkan Otto Rene Castilio,
penyair paling menjanjikan dari Guatemala yang dibakar di Zacapa oleh rezim
militer—layaknya serdadu Portugis dan Spanyol yang membuat unggun dari tubuh
laki-laki, perempuan, dan anak-anak Indian yang jadi kayu bakar.
Akibat surat terbuka berisi kritik pedas ke Presiden
Gonzalez Videla, Neruda terpaksa bersembunyi, menyusuri Pegunungan Andes, dan
menuju Argentina. Eksil adalah jarak, satu kemewahan di tengah ketiadaan lagi
alternatif. Eksil menjadi semacam takdir sastrawan dan intelektual Amerika
Latin, ujar Galeano. Masa bersembunyi di rumah-rumah petani itu membawa
puisi-puisi Neruda menjadi ledakan dari ruang sejarah orang-orang yang
diabaikan. Puisi-puisi Neruda lebih sederhana, tetapi sangat politis. Satu
utang budi ke compesinos yang
melindunginya, satu kemurnian protogonisme pada kediktatoran yang
mengakuisisi bahasa sebagai properti dan kata sebagai kutukan.
Dalam Deber del Poeta, Neruda menulis:
...untuk siapa pun yang dibungkam
di rumah atau di gedung-gedung
pemerintah,
buruh atau perempuan, yang
terlempar di jalanan
di lubang lubang tambang, atau
dinistakan di balik sel penjara panas
untuk mereka aku datang...
Di tahun 1970, melalui pemilihan yang paling demokratis
dalam sejarah Cile, Salvador Allende terpilih sebagai presiden. Tiga tahun
kepemimpinannya, Cile menasionalisasi industri tembaga, perbankan, dan sistem
telekomunikasi. Menggulirkan program pendidikan bagi semua, jaminan
kesehatan, distribusi tanah, dan menerbitkan undang-undang yang mengakui
hak-hak perempuan dan kaum pekerja. Di masa Allende, Neruda menduduki pos
duta besar di Perancis. Itulah masa kegemilangan Neruda melayani Cile baik
sebagai penyair dengan mempersembahkan
Nobel Kesastraan (1971). Juga sebagai politisi, ia ikut mendirikan satu
pemerintahan demokratis yang dibayangkannya akan kekal.
Kesehatan yang memburuk membawa Neruda, di tahun 1973, kembali ke Cile. Di
rumahnya, di Isla Negra, Neruda terbaring sakit. Di Luar, Santiago de Chile
dikepung junta militer dipimpin Augusto Pinochet—didukung oleh CIA lewat
sandi operasi bernama Operasi Djakarta. Allende gugur dalam kudeta 11 September 1973 dan Cile pun
kembali penuh lubang peluru dalam 17 tahun kediktatoran Augusto Pinochet.
Sepanjang 1973-1990, sekitar 3.000
orang tewas atau hilang. Dalam Descubridores de Chile, Neruda menulis ...kesunyian terbaring di
sepanjang garis.
Tema kesunyian muncul tetapi lebih getir dibandingkan Amor
America atau Los Rios Acuden. Bahkan, dijajarkan dengan the Heights of Macchu Picchu (alturas
de Macchu Picchu) yang penuh gairah dan kedalaman puitis yang politis, Descubridores de Chile terbaca
kesunyian yang sangat muram. Di puisi yang hanya beberapa baris itu setiap
kata seperti kesunyian yang terbaring abadi jalur sempit pantai barat.
Kesunyian yang membawa Cile, negeri ujung daratan Benua Amerika itu,
berhadapan langsung dengan lautan sejarah yang tidak pernah tenang, dengan
Samudra Pasifik yang penuh badai dan gejolak.
Pinochet, dengan tangan besinya, membawa Cile menjadi
kelinci percobaan pasar bebas dan agenda neoliberal. Kediktatoran dan ekonomi
liberal yang diterapkan Pinochet, tulis Orlando Letelier, adalah dua sisi
dari satu keping koin. Separuh industri yang sudah dinasionalisasi Allende
dikembalikan Pinochet ke pemiliknya, separuh lagi dijual. Restorasi Pinochet
ini telah mengembalikan ekonomi Cile dimonopoli segelintir elite.
Duncan Green dalam Silent Revolution: The Rise and Crisis
of Market Economics in Latin America mengisahkan bagaimana tak lama setelah
berkuasa, Pinochet mengundang para ekonom University of Chicago (Milton
Friedman, Friedrich von Hayek, dan Arnold Harberger) untuk mengarsiteki
ekonomi Cile. Mereka yang dijuluki ”Chicago Boys” itu merekomendasi prinsip-prinsip ekonomi
liberal. Sebanyak 400 lebih perusahaan negara diprivatisasi, diikuti PHK
10.000 pekerja publik. Prinsip ekonomi liberal dari Chicago dipaksakan dengan
mata penuh kebencian dan kecurigaan ke serikat pekerja dan organisasi
politik.
Agenda pasar bebas telah membuat negara kehilangan kontrol
untuk
berbagai produk. Susu yang jadi perhatian khusus masa
Allende, sejak 1975, mengikuti mekanisme pasar. Hasilnya, harga ke konsumen
menaik sampai ke 40 persen, sebaliknya
harga ke produsen terjun 22 persen. Dan, kematian bayi meningkat
drastis, tulis Galeano dalam Sevent
Years After. Hanya satu kuarter setelah kejatuhan Allende, program
charity asing membanjiri kaum miskin Cile. Satu cara cuci tangan sekaligus
menciptakan dependensi baru. Neruda, dalam Demasiodas Nombres, demikian
liris, ”...semua kita debu atau pasir/semua kita berkubur sunyi tangis...”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar