Rekonsiliasi
Bangsa
Rendy Pahrun Wadipalapa ; Pengajar
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
|
KOMPAS,
07 Februari 2015
TAK banyak yang tahu, Hari Hak Asasi Manusia yang
berlangsung setiap 10 Desember pada tahun lalu diperingati dengan memutar film
Senyap (Look of Silence). Ini adalah
film dokumenter karya sineas Joshua Oppenheimer, yang bertolak dari peristiwa
1965 di Sumatera Utara dan kemudian dikontekskan dengan kekinian.
Film ini berfokus pada tokoh Adi
Rukun, tukang kacamata yang kakaknya, Ramli, menjadi salah satu korban
pembunuhan anti komunis secara kejam, dengan luka di perut dan sekujur tubuh.
Dikisahkan di sana upaya Adi Rukun
menjumpai satu per satu tokoh yang menjagal kakaknya, yang seluruhnya kini
telah renta dan mulai pikun. Adi hanya menuntut pengakuan dan permintaan maaf,
sebuah ikhtiar rekonsiliasi yang sulit dibayangkan bisa terjadi pada sebuah
tragedi kemanusiaan yang makin dilupakan.
Pada film Senyap, frustrasi
keluarga korban mencuat secara menyakitkan. Mereka dicampakkan bukan hanya
secara sosial, melainkan juga secara politik. Negara berada dalam posisi absen,
tetapi pada saat yang bersamaan juga hadir.
Negara absen tatkala tidak ada satu
saluran pun dapat dipakai keluarga korban untuk sekadar mengadu, apalagi
menuntut keadilan. Akan tetapi, negara juga hadir ketika satu per satu para
jagal itu mengaku bahwa militer—dan ini adalah representasi negara—secara aktif
memfasilitasi pembunuhan masyarakat sipil oleh sesamanya.
Pada situasi ini, sempurnalah kekacauan bellum
omnium contra omnes, semua memangsa semua, dengan andil negara di dalamnya.
Keadaan antara hadir dan tak hadir
itu mendatangkan kesenyapan, yakni menguapnya bunyi dan hilangnya kata yang
mampu melukiskan sekaligus merangkum derita keluarga korban.
Fobia
sejarah
Senyap telah banyak
mendatangkan kontroversi. Di kota Malang, pemutaran bersama film ini dilarang
dan diancam dibubarkan. Fobia atas komunisme dan PKI menjadi dasar dari aksi
itu.
Pertanyaannya, apa relevansinya
ketakutan terhadap ideologi yang telah lama bangkrut dan kini ditinggalkan? Apa
sensasinya memelihara fobia atas sebuah partai politik yang telah lebih dari
separuh abad kandas dari jagat politik Indonesia?
Kekhawatiran itu bukan saja
mengada-ada, melainkan justru menjadi bukti paling kuat bahwa tak banyak dari
kita yang berniat baik rekonsiliasi.
Itu sebabnya, mendiskusikan
komunisme di Indonesia berarti mendiskusikan frustrasi. Usaha untuk membuka
kembali upaya rekonsiliasi antara negara dan korban peristiwa 1965 senantiasa
menemui beberapa kendala.
Pertama, pembunuhan orang-orang yang
diduga bagian dari Partai Komunis Indonesia tak pernah menjadi perhatian serius
negara.
Harapan sempat menyembul tatkala
Presiden Abdurrahman Wahid hendak mencabut TAP MPRS tentang pelarangan Marxisme-Leninisme
Nomor XXV/MPR/1966 meski pupus di tengah jalan karena ditentang MPR.
Harapan lain adalah wacana UU Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi yang, lagi-lagi, tak begitu jelas nasibnya kini.
Perasaan frustrasi atas negara itu
digambarkan dalam Senyap, yaitu bahwa kalau keadilan atas pembunuhan kakak
Adi tak bisa didapat di dunia, maka Tuhan-lah yang akan menjadi hakimnya kelak
di akhirat.
Artinya, keadilan tak lagi
diletakkan dalam porsinya di hadapan hukum negara, tetapi pada sebuah panggilan
dan tuntutan metafisika karena keputusasaan yang teramat sangat.
Kedua, komunis dan komunisme justru
makin populer karena ia simbol paling mudah dan ringkas sebagai label
stigmatisasi. Dalam perpolitikan, makin wajar andai seorang elite mendakwa
kompetitornya sebagai komunis tanpa memerlukan bukti dan verifikasi.
Label itu dikukuhkan historiografi
melalui buku-buku sejarah di bangku sekolah yang masih enggan untuk memberi
data dan fakta proporsional tentang peristiwa 1965. Terhadap stigmatisasi yang
terang-terang keliru ini, negara tak pernah beringsut dari sikap diamnya.
Ketiga, keterbukaan selalu dilawan
dengan ketertutupan. Membuka ruang diskusi atas peristiwa 1965 selalu ditutup
dengan kekhawatiran bahwa itu semua akan membangkitkan luka lama.
Anehnya, dari mana datangnya
pemikiran bahwa luka itu telah tertutup dan sembuh? Di mana logikanya sebuah
peristiwa besar dengan akibat ratusan ribu orang mati (bahkan jutaan, dalam
versi lain) bisa dianggap sebagai luka yang telah sembuh dan kini ditakutkan
akan terbuka kembali?
Kebenaran
kepompong
Pada adegan di akhir
film Senyap, Rohani, ibu Ramli; dan Adi Rukun takjub sekaligus
bertanya-tanya kepada sebuah kepompong yang bergoyang-goyang.
Rohani penasaran mengapa ia tak
pernah bisa melihat ulat di balik kepompong, sementara ia tahu persis bahwa
yang menggerakkan adalah sesuatu yang bersembunyi di dalam bungkus kepompong
itu.
Perasaan penasaran itu merefleksikan
kerinduan atas kebenaran dan keadilan dari kematian anak terkasihnya.
Sementara ulat, kebenaran itu
sendiri, terus bersembunyi tanpa pernah muncul ke permukaan.
Puitisasi adegan Rohani ini
menyakitkan justru karena kita semua tahu secara presisi bahwa kebenaran dan
fakta pembantaian itu ada di sana tanpa bisa dibantah, tetapi tak ada cara lain
yang disediakan untuk menemukan kebenaran dan membukanya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar