Raja
Abdullah dan Dialog
Hajriyanto Y Thohari ; Wakil
Ketua MPR Periode 2009-2014
|
REPUBLIKA,
06 Februari 2015
Wafatnya Raja Abdullah bin Abdulazis al-Saud (23 Januari
2015) ternyata menjadi momentum bagi orang-orang yang kritis untuk mengekspresikan
kritisismenya terhadap Kerajaan Arab Saudi (al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-Su’udiyah). Kritik tersebut berkisar
pada persoalan demokrasi, hak-hak sipil, hak perempuan, dan kebebasan
beragama.
Tetapi, kritik dan kecaman yang paling keras datang dari
kalangan Islam sendiri dan itu terkait dengan paham (keagamaan) Wahabiyah
(wahabisme) yang kaku, ortodoks, dan konservatif yang katanya dianut secara
resmi oleh kerajaan ini. Berdirinya Kerajaan Arab Saudi yang meliputi daerah
Najd, Hijaz, dan sekitarnya, termasuk Makkah dan Madinah,ring semakin
merosotnya kekuasaan Ottoman Empire yang legendaris itu, memang hasil aliansi
atau kolaborasi antara Muhammad Ibn Saud (wafat 1765) pemimpin klan Saudi dan
Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792), pemimpin aliran Wahabi.
Meski tidak tertulis dalam konstitusi, Kerajaan Arab Saudi
memang menganut paham Wahabi, paham yang mengajarkan kemurnian tauhid secara
ketat, semacam monoteisme yang tanpa kompromi. Paham keagamaan ini
mengajarkan gerakan pemurnian kepercayaan (akidah) dan amalan yang dianggap
mengotori ketauhidan, seperti takhayul, bid’ah, dan khurafat.
Mungkin dalam kerangka paham ini segala yang dalam
perspektif Wahabisme dipandang berpotensi menjurus pada kemusyrikan, seperti
kuburan para wali atau tokoh tarekat dan objek lain yang selama ini
dikeramatkan, bahkan tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW, dihancurkan. Lihat
saja prosesi pemakaman Raja Abdullah, Jumat 23 Januari 2015: begitu
sederhana, tanpa peti jenazah. Nyaris tanpa upacara kecuali shalat jenazah di
masjid di Kota Riyadh, tanpa tangisan, dan kuburannya pun tanpa nisan,
apalagi bangunan semacam cungkup seperti yang kita kenal!
Oleh para pengkritiknya, Wahabisme dikatakan sebagai
aliran keagamaan yang rigid, radikal, dan keras yang selama ini telah
membantu (politik dan finansial) gerakan puritanisme radikal yang menjadi
cikal gerakan intoleransi di berbagai penjuru dunia. Paham inilah yang
mengilhami gerakan Padri di Sumatra Barat, seperti yang digambarkan Mohammad
Hatta dalam Memoir-nya (1979) bahwa
Perang Padri (1920-an) bermula dari pendukung aliran wahabi yang ingin
memurnikan ajaran Islam dari bid’ah, takhayul, khurafat, dan unsur non-Islam
lainnya.
Hatta menulis, "Perang
Padri berasal dari pertentangan antara kaum adat dan kaum agama. Guru-guru
agama yang baru kembali dari Makkah yang terpengaruh di sana dengan sikap
keras dan murni kaum Wahabi, mau membersihkan agama Islam di Minangkabau dari
berbagai perbuatan yang diadatkan, seperti mengadu ayam, makan sirih, dan
mengisap cerutu.” (Memoir, Tintamas,
Jakarta, 1979, halaman 1).
Saya tidak akan membahas kritik tersebut. Saya hanya ingin
menunjukkan sisi lain dari Arab Saudi yang harus dicatat. Di samping
menyebarkan pahamnya dan memberikan bantuan pendidikan, pendirian
masjid-masjid, Alquran dan terjemahannya, dan kitab-kitab lainya kepada umat
Islam di banyak negara, Kerajaan Arab Saudi mulai sejak di bawah kepemimpinan
Raja Abdullah banyak mengampanyekan dan bahkan mensponsori kegiatan dialog
antaraagama dan peradaban, baik intern Islam maupun antara Islam-Barat. Dalam
perspektif ini Raja Abdullah telah memulai langkah yang sangat historis.
Keterlibatan aktif Arab Saudi sebagai negara ini sungguh
sangat fenomenal dan menarik dikaji. Dialog antaragama yang banyak digelar
sejak dekade 1970-an biasanya, pertama, diprakarsai masyarakat atau lembaga
swadaya masyarakat (LSM), dan kedua, Arab Saudi, baik elemen-elemen
masyarakatnya maupun apalagi negara, tidak pernah ikut berpartisipasi di
dalamnya. Ada kesan, benar atau salah, Arab Saudi enggan terlibat dalam
forum-forum dialog antaragama.
Tetapi, sejak memimpin Kerajaan Arab Saudi (2005), Raja
Abdullah menyeruak ke depan dengan penuh antusiasme bukan hanya sekadar hadir
berpartisipasi, melainkan mengambil prakarsa menggelar dialog agama. Raja Abdullah
bin Abdul Azis setelah pada 2007 secara mengejutkan melakukan kunjungan resmi
ke Vatikan, pusat Katolikisme dunia, dan berdialog dengan Paus Benediktus XVI
(bayangkan dua pihak yang sama-sama konservatif bertemu), Sang Raja kemudian
memelopori Alliance of Civilization
First Forum (2008) di Madrid, Spanyol, yang diikuti pemimpin-pemimpin
agama dunia.
Raja Abdullah juga menggandeng para ulama Suni dan Syi’ah
ke Majelis Dialog di Makkah (Maret 2008). Dialog Suni-Syi’i ini sangat
relevan, penting, dan strategis oleh karena pascainvasi AS di Irak hubungan
kedua aliran teologi Islam ini penuh ketegangan dan sarat dengan
kesalahpahaman. Bahkan, konflik-konflik sektarian terus saja terjadi di
berbagai kawasan Timur Tengah. Betapa pentingnya Majelis Dialog ini terlebih
lagi ketika rivalitas politik yang sektarianistik ini terus berlangsung di
dunia Islam sampai hari ini.
Selanjutnya, dengan kewibawaan agama, politik, dan ekonomi
yang dimilikinya, Raja Abdullah juga berhasil dengan gemilang mensponsori the UN General Assembly Special Session
for the Interfaith Dialogue (2008) di markas besar PBB, New York. Dia
bukan hanya bertindak sebagai sponsor yang mendanai, tapi juga menunggui
sidang-sidang yang berlangsung dua hari itu dari awal sampai akhir. Sidang
dengan sesi dialog interfaith ini
menghadirkan 54 kepala negara, termasuk Amerika Serikat, dan tokoh-tokoh
dunia.
Pada 2012, dia mendirikan the King Abdullah bin Abdulazis Centre for Intereligious and
Intercultural Dialogue yang diresmikan di Wina, bekerja sama dengan Raja
Spanyol dan Austria. Dalam salah satu pidatonya sebagai keynote speech, Raja
Abdullah mengatakan, "Our concerns
for the dialogue stems from our Islamic faith and values, and our compassion
for the human condition in order to overcome its miseries. We will continue
what we have commenced, extending our hand to all those advocating peace,
justice and tolerance."
Adalah peristiwa yang sangat fenomenal seorang Wahabi
puritan yang sering dituding secara sepihak sebagai pendukung ideologi Islam garis
keras mempromosikan dialog antaragama. Dengan prakarsa Kerajaaan Arab Saudi
dialog antaragama kini mendapatkan bentuk dan momentum baru: menegara!
Moderasi dan mediasi dalam bentuk dialog bukan hanya telah menjadi pilihan
masyarakat, melainkan juga negara seluruhnya.
Pandangan bahwa kita hidup dalam satu dunia: "satu
kemanusiaan, satu nasib, dan satu tanggung jawab" ini membawa hadirnya
kesadaran bahwa benturan peradaban bukanlah masa depan. Pilihan bagi kita
umat manusia tidak banyak.
Raja Saudi yang --orang boleh suka atau tidak-- mengklaim
sebagai "penjaga dua Tanah Haram" (khodimu l-haramayn), memandang penting jalan dialog untuk
mengikis tembok prasangka dengan memilih jalan dialog antaragama. Sebuah
fenomena baru dan sekaligus momentum baru untuk perdamaian dunia! Kini
suksesor almarhum Raja Abdullah, Raja Salman bin Abdul Azis, dengan segala
kewibawaannya, diharapkan melanjutkan langkah-langkah indah mendiang
pendahulunya itu. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar