Polisi
Ajaib, Labora namanya
Lestantya R Baskoro ; Wartawan
Tempo
|
KORAN
TEMPO, 16 Februari 2015
Bos Jamu Jago, Jaya Suprana, perlu terbang ke Sorong untuk
memberi penghargaan rekor Muri kepada Labora Sitorus. Polisi berpangkat ajun
inspektur satu ini memiliki banyak predikat "ter-ter", syarat utama
yang ditetapkan pianis tambun itu, untuk tercatat namanya dalam Museum
Rekor-Dunia Indonesia miliknya.
Labora, misalnya, bisa mendapat penghargaan sebagai polisi
"terbanyak" pengawalnya; polisi level bintara ke bawah
"tergendut" rekeningnya (kalau untuk pangkat lebih tinggi
kemungkinan ia "kalah") atau juga polisi "terlama" yang
tetap menerima gaji kendati tidak pernah masuk kantor.
Pekan-pekan ini, jika aparat hukum masih tidak mampu
mengeksekusi pria yang sudah divonis 15 tahun penjara oleh Mahkamah Agung
itu, rekor lain bisa ditambahkan: polisi "tersulit" dieksekusi.
Sejak awal Januari lalu, kepolisian dan kejaksaan terus berapat mencari jalan
"menaklukkan" Labora. Hasilnya kita tahu, eksekusi itu tak pernah
terjadi.
Kepada majalah Tempo, dalam wawancaranya di rumahnya, di
kawasan Tampa Garam, Sorong, Labora menyatakan masih menerima gaji. Di
kediamannya, yang siapa pun aparat hukum di sana pasti tahu, ia hidup
"bebas merdeka". Labora leyeh-leyeh mengawasi 500-an karyawannya
yang sekaligus merangkap pengawalnya bekerja di pabrik kayunya yang luas. Ia
menyebut aparat kejaksaan dan kepolisian kerap datang ke rumahnya. Padahal
selama ini petinggi dua lembaga itu menyatakan tengah mencari-cari Labora.
Hukum memang seperti di bawah ketiak Labora. Dan itu
ditunjukkan Labora sejak awal. Sejak ia ditetapkan sebagai tersangka, saat
diadili, hingga ditahan. Bagaimana mungkin ada tahanan yang mendapat izin
berobat ternyata tidak balik ke penjara, pulang ke rumah, dan pemberi izin
(kepala lembaga pemasyarakatan) membiarkannya berbulan-bulan? Bagaimana
mungkin seorang tersangka yang sudah mendapat vonis berkekuatan hukum berani
melakukan perlawanan terang-terangan dan aparat hukum, kejaksaan serta
kepolisian, seperti tak berkutik?
Jika Labora berani melakukan itu, tentu karena ia memiliki
banyak hal yang bisa ia pegang sebagai "kartu truf". Dan ketika
kartu truf itu ternyata ia tahu tak mempan, maka yang terjadi adalah
kemarahan. Satu-satunya cara untuk itu, pada akhirnya, mengerahkan mereka
yang bergantung piring nasinya terhadap dirinya: para pekerjanya.
Sejak awal kita melihat Labora dibiarkan
"bermain" dan para atasannya membiarkan sepanjang dia
"bermanfaat" dan bisa dimanfaatkan. Sebagai polisi, Labora bisa
berpekan-pekan tidak masuk dan lebih banyak mengurus kayu dan bisnis
minyaknya ketimbang duduk di kursinya di Kepolisian Resor Raja Ampat. Ia
tidak mendapat sanksi karena ia menjelma menjadi "ATM". Saat semua
kejahatannya terbongkar dan ia melihat semua yang dibantunya lepas tangan
lalu lolos dari hukum-sementara ia sudah membeberkan siapa saja penerima
upetinya-sejak itulah ia melawan. Itulah yang dilakukan Labora sekarang.
Bagaimanapun, Labora harus masuk penjara. Jika pekan-pekan
ini Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kepolisian Daerah Papua Barat tak bisa
juga menangkap Labora, keduanya lebih baik meletakkan jabatan. Kejaksaan
Agung dan Polri bisa membuat sayembara: menantang siapa jaksa dan polisi yang
berani mengambil Labora dari rumahnya dan menentengnya ke Jakarta. Ya,
Labora, polisi "ajaib" ini tak boleh dibiarkan dalam tahanan mana
pun di Sorong. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar