Polemik
Larangan Sepeda Motor
Abdul Salam Taba ; Alumnus
Fakultas Hukum Universitas Bosowa 45 Makassar
dan School of Economics the University of Newcastel,
Australia
|
KOMPAS,
14 Februari 2015
LARANGAN pengendara sepeda motor melintas di sepanjang ruas
Jalan Medan Merdeka Barat hingga Jalan MH Thamrin menimbulkan polemik.
Indonesia Traffic Watch mengajukan permohonan uji materi kepada Mahkamah
Agung terhadap ketentuan hukum yang menjadi dasar pelarangan.
Selain berdampak yuridis dan ekonomi bagi masyarakat, khususnya
bagi golongan masyarakat menengah ke bawah yang menggunakan kendaraan roda
dua, berbagai argumentasi dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar
pelarangan itu memang perlu dikaji ulang keabsahannya.
Ambil contoh, argumentasi Dinas Perhubungan Pemerintah Provinsi
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (Dishub Pemprov DKI Jakarta) yang menyatakan
bahwa pengendara sepeda motor berkontribusi terhadap tingginya kecelakaan dan
korban lalu lintas.
Data Polda Metro Jaya—dikutip dari rilis Dishub Pemprov DKI
Jakarta—menunjukkan orang yang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas dalam
tiga tahun terakhir berjumlah 2.593 orang. Dari jumlah itu, 1.944 orang (75
persen) adalah pengguna kendaraan roda dua.
Namun, argumentasi itu mengandung banyak kelemahan karena
informasi jumlah dan lokasi kecelakaan yang menyebabkan pengendara motor
meninggal, apakah hanya di sepanjang Jalan Thamrin dan Medan Merdeka Barat
atau juga di ruas jalan lainnya, tidak ada penjelasannya.
Penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas sepeda motor, seperti
ditabrak atau tabrakan antarsesama pengendara motor ataupun dengan kendaraan
roda empat, dan kapan, juga tidak ada.
Demikian halnya data Polda Metro Jaya tentang pelanggaran lalu
lintas dalam empat tahun terakhir yang didominasi pengendara motor. Ada
781.829 pelanggaran dan pengendara motor per tahun berkontribusi 518.136 (66
persen), sementara pengendara roda empat per tahun hanya 263.692 (34 persen).
Namun, tetap saja motor bukan penyebab tunggal kemacetan.
Aspek ekonomi
Kenyataannya, pelanggaran lalu lintas terjadi di wilayah
Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jadetabek), bukan semata di sepanjang
ruas Jalan MH Thamrin dan Medan Merdeka Barat. Pelanggaran lalu lintas yang
menimbulkan kemacetan juga diakibatkan pengendara mobil.
Lagi pula, diakui atau tidak, ketidaktertiban dan
ketidakdisiplinan pengendara sepeda motor tidak lepas dari peran Pemprov DKI
(khususnya dinas perhubungan) dan pihak kepolisian yang belum maksimal
”membudidayakan” tertib berlalu lintas (safety
riding course).
Kebijakan melarang pengguna motor melaju di sepanjang Jalan MH
Thamrin dan Jalan Medan Merdeka Barat diskriminatif karena merugikan
masyarakat golongan menengah dan kelas bawah, seperti buruh, kurir, dan
karyawan, yang memakai motor. Padahal, mereka juga pembayar pajak (kendaraan
roda dua) yang notabene berhak melintas di jalan protokol.
Secara ekonomi, larangan itu berdampak pula terhadap kegiatan
perekonomian di Ibu Kota, khususnya di sepanjang kedua ruas jalan protokol
itu. Banyak pelaku ekonomi, terutama pelaku usaha kecil dan karyawan/buruh
pengguna sepeda motor, yang akan terhambat aktivitas dan produktivitasnya.
Selain merugikan, larangan itu pun hanya berdampak pada
melimpahnya sepeda motor dan mobil di seluruh jalan alternatif sekitar jalan
protokol. Dengan kata lain, larangan tersebut tidak menyelesaikan masalah dan
lalu lintas kendaraan tetap macet, baik di kedua ruas jalan protokol maupun
wilayah di sekitarnya.
Berbagai dampak di atas akan memicu berbagai efek negatif lainnya.
Misalnya, masyarakat yang beraktivitas di Ibu Kota akan cenderung menggunakan
kendaraan roda empat sehingga tujuan Pemprov DKI Jakarta mengurangi jumlah
kendaraan di jalan protokol tidak terwujud. Pun, sulit memacu masyarakat
Jakarta menggunakan bus (transjakarta) karena transportasi alternatif memang
belum memadai.
Aspek hukum
Kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang tertuang dalam Peraturan
Gubernur DKI Jakarta (Pergub DKI Jakarta) Nomor 195 Tahun 2014 tentang
Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor tersebut secara yuridis juga bermasalah
dengan beberapa alasan.
Pertama, ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan tidak melarang pengguna sepeda motor
melintas di jalan, termasuk di jalan protokol sekalipun.
Kedua, secara substansi Pergub DKI Jakarta Nomor 195 Tahun 2014
juga bertentangan dengan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Pasalnya, pergub tersebut melanggar asas hukum yang menyatakan
bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sebagaimana diatur
Pasal 7 Ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011.
Ketiga, menurut hierarki peraturan perundang-undangan yang
diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 telah ditetapkan bahwa peraturan
perundang-undangan terendah yang mengikat masyarakat di provinsi ataupun
kabupaten/kota adalah peraturan daerah (perda) dan bukan pergub.
Keempat, meskipun keberadaan pergub dimungkinkan dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah, larangan pengguna sepeda motor melintas di Jalan MH
Thamrin dan Jalan Medan Merdeka Barat seharusnya diatur dengan perda.
Selain kedudukan hukum Permendagri Nomor 53 Tahun 2011 tersebut
lebih rendah dari UU Nomor 12 Tahun 2011, larangan itu menyangkut hayat hidup
orang banyak sehingga kebijakan dimaksud harus mendapat persetujuan DPRD DKI
Jakarta sebagai representasi masyarakat DKI Jakarta.
Dari paparan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa Pergub DKI
Jakarta Nomor 159 Tahun 2014 harus dianulir dan dinyatakan tidak berlaku
karena bertentangan dengan ketentuan hukum yang lebih tinggi dan asas hukum
pembuatan peraturan perundang-undangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar