PLTU
Pembawa Berkah
Andreas Lako ; Guru
Besar Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB),
Kepala LPPM Unika Soegijapranata Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 16 Februari 2015
ADA berita gembira bagi pimpinan dan pemegang saham PT
Bhimasena Power Indonesia (BPI) serta pemerintah Jepang dan warga Batang yang
pendukung pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batang. Berita
itu, pertama; pernyataan Menko Perekonomian Sofyan Djalil bahwa pemerintah
akan membangun PLTU Batang mulai Maret 2015.
Kedua; pemerintah berupaya membebaskan 19 hektare lahan
yang belum mau dilepas warga melalui skema konsinyasi di Pengadilan Negeri
seperti diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum. (SM, 3/2/15). Dalam tiga tahun terakhir,
para pihak itu mendesak pemerintah pusat mengambil alih penyelesaian
permasalahan tersebut.
Sebaliknya, bagi warga yang tanahnya terkena proyek dan
mereka yang masih menolak kehadiran PLTU, pernyataan Menko tersebut merupakan
berita buruk yang perlu disikapi secara cerdas. Beberapa pihak memperkirakan
warga yang kontra itu akan melakukan konsolidaasi internal dan eksternal
sebagai bentuk perlawanan hukum.
Bahkan bisa menjurus perlawanan fisik bila pemerintah dan
perusahaan melakukan upaya paksa dalam membebaskan tanah warga. Eskalasi
konflik antara warga penentang PLTU dan BPI berserta pemerintah dikhawatirkan
makin tinggi setelah Menko mengeluarkan pernyataan tersebut. Sebenarnya tak perlu
terjadi keberlarut-larutan penyelesaian masalah itu.
Penulis pernah menjadi anggota tim pakar independen
penilai amdal PLTU Batang dan beberapa kali bertemu sejumlah tokoh masyarakat
Batang. Kata kuncinya adalah investor dan pemerintah sejak awal berniat
melakukan pendekatan secara kekeluargaan dan mengakomodasi aspirasi warga.
Warga yang terkena dampak menyatakan kecewa terhadap BPI
yang dianggapnya arogan. Mereka menganggap investor menyepelekan dan kurang
ramah karena memperlakukan warga di sekitar lokasi proyek sebagai objek
ekonomi semata. Selain itu, ada pengabaian nilai-nilai sosial, kultural, dan
religiositas masyarakat.
Menurut penilaian warga, perusahaan masih menggunakan
cara-cara yang kurang etis semisal mengadu-domba, menakut-nakuti, dan tidak
transparan menentukan garga ganti rugi harga tanah. Hal ini memunculkan rasa
saling curiga dan konflik antarwarga. Padahal, sebelum ada rencana
pembangunan PLTU, kehidupan antarwarga rukun dan damai.
Selain itu, warga menilai ganti rugi yang ditawarkan
investor terlalu rendah, tidak adil, dan tidak transparan. Besar ganti rugi
yang didasarkan NJOP atau harga pasar, masih terlalu rendah, tidak sepadan
dengan pengorbanan dan kerugian ang ditanggung warga selama PLTU itu
beroperasi.
Warga menilai BPI berlaku tidak adil dan tidak transparan
dalam menawar dan menentukan harga beli tanah warga. Nilai yang ditawarkan
kepada pemilik tanah bisa berbeda-beda. Makin lama warga mempertahankan
tanahnya maka makin tinggi pula tawaran harga beli dari BPI, dan sebaliknya.
Warga yang kontra menganggap BPI tidak bersungguh-sungguh
menindaklanjuti sejumlah rekomendasi rencana kegiatan lingkungan (RKL) di
dokumen amdal. Padahal dokumen itu telah disepakati tim penyusun, BPI, tim
pakar penilai amdal, bahkan sudah disetujui Gubernur Jateng pada 22 Agustus
2013. BPI juga tidak sepenuh hati menjalankan program CSR yang
direkomendasikan dalam dokumen amdal.
Solusi Konflik
Mencermati resistensi warga, penulis khawatir keputusan
pemerintah pusat membebaskan paksa 19 hektare tanah warga dengan skema
konsinyasi lewat pengadilan bisa memicu konflik sosial lebih serius. Justru
pemerintah harus menghindari cara itu mengingat berisiko besar, baik bagi
warga maupun bagi pemerintah dan BPI.
Kesediaan masayarakt Batang menerima kehadiran BPI dan
PLTU sebenarnya masih terbuka lebar. Begitu pula sejumlah pemilik lahan masih
mau melepaskan tanah miliknya demi kepentingan proyek penyediaan energi itu.
Syaratnya, investor dan pemerintah bisa menyelesaikan sejumlah permasalahan
secara bijak lewat cara-cara kekeluargaan.
Penulis berharap Menko Perekonomian, Gubernur Ganjar
Pranowo dan pimpinan BPI perlu kembali berembuk atau bermusyawarah dengan
pemilik lahan dan pihak terkait guna merumuskan solusi pembebasan lahan.
Investor juga perlu membenahi komitmen dan perilakunya dalam membangun relasi
dengan masyarakat sekitar.
Kelayakan harga jual (beli) tanah warga perlu mendapat
perhatian dari pemerintah agar masyarakat tidak merasa dirugikan sehingga
terus melakukan perlawanan. Meskipun kehadiran PLTU Batang sangat strategis
bagi pemenuhan kebutuhan energi listrik nasional, jangan sampai proyek itu
merugikan atau menyengsarakan warga setempat.
Kehadiran BPI dan PLTU sebagai institusi ekonomi/bisnis
haruslah didesain dalam kerangka membawa berkah, kesejahteraan, dan
kemakmuran bagi warga. Konstruksi pemikiran itulah yang sebaiknya jadi
pijakan baru bagi pemerintah dan BPI serta beberapa pihak terkait dalam
merumuskan solusi penyelesaian masalah PLTU Batang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar