Pilkada
dan Prospektus Kota
Arif Afandi ; Ketum
BKS-BUMD-SI dan Dirut Wira Jatim Group
|
JAWA
POS, 12 Februari 2015
TAHUN ini, sejumlah kota dan kabupaten menggelar pemilihan
kepala daerah (pilkada) secara serentak. Jika tidak ada perubahan, di Jawa
Timur saja ada 18 kota dan kabupaten yang akan menggelar agenda politik lima
tahunan tersebut. Bayangkan gegap gempitanya. Lebih dari sepertiga daerah di
provinsi ini menggelar pilkada barengan. Sebagian, pasti akan muncul figur
baru memimpin daerah tersebut. Sebagian, mungkin incumbent masih tetap
berjaya.
Lantas apa yang diharapkan dari pelaksanaan pilkada serentak di
seluruh Indonesia itu? Tentu kualitas pilkada yang lebih baik daripada
sebelumnya. Kualitas dalam pelaksanaannya, pengawasannya, dan hasil yang
diperolehnya. Selain untuk mengurangi penyimpangan, pilkada serentak
dimaksudkan untuk menghasilkan kepala daerah terpilih yang lebih baik.
Persoalannya adalah kepala daerah yang bagaimana yang dibutuhkan
bangsa ini ke depan? Apakah pilkada serentak tersebut masih akan bisa
menghasilkan tampilnya anak bangsa dari daerah yang baik-baik seperti selama
ini? Apakah standar kepemimpinan yang dibutuhkan daerah ke depan sama seperti
sebelum ini? Semua pertanyaan itu menarik untuk dikaji.
Dilema Parpol
Pilkada di Indonesia memasuki putaran ketiga pemilihan secara
langsung. Sejak diterapkannya desentralisasi pemerintahan pada 2001, pilkada
langsung pertama digelar 2005. Sebelumnya kepala daerah dipilih DPRD. Nuansa
desentralisasi memang sudah terasa sejak bupati dan wali kota dipilih DPRD.
Namun semakin terasa setelah digelar pilkada langsung. Sejumlah wali kota dan
bupati yang menonjol merupakan hasil pilkada langsung.
Kalau kita cermati dari proses pilkada langsung selama ini, ada
dua fase pemilihan. Pertama, ketika partai politik (parpol) masih sangat kuat
dan menjadi preferensi pemilih dalam menentukan kepala daerahnya. Kedua, fase
ketika pamor parpol mulai menurun. Pada fase ini, figur dan popularitas
personal calon sangat menentukan. Pada fase pertama, kekuatan jaringan sangat
menentukan. Sedangkan pada fase kedua, proses pencitraan menjadi kunci
keberhasilan.
Akankah fase pilkada berikutnya masih seperti fase sebelumnya?
Kita masih harus melihat hasil pilkada serentak mendatang. Namun, bisa diperkirakan,
citra parpol sebagai kekuatan pengusung dan pendukung masih belum pulih
seperti semula. Ini tantangan bagi para pimpinan parpol untuk mengembalikan
citranya. Apa pun, parpol sangat dibutuhkan karena amanat konstitusi. Parpol
sangat dibutuhkan sebagai pilar penting bagi demokrasi.
Hanya, ketika citra partai dalam kondisi jeblok, ia tidak akan
menjadi rujukan pemilih. Bahkan, pada fase kedua pilkada langsung, banyak
calon kepala daerah yang berusaha menjaga jarak dengan partai dalam proses
kampanye sampai pemilihan. Partai dianggap menjadi ”beban” yang mengganggu
citra figur mereka. Singkatnya, pada fase kedua pilkada langsung, partai
hanya berfungsi sebagai pengusung.
Memasuki fase ketiga pilkada langsung ini, ternyata parpol belum
berhasil memoles dirinya. Mereka belum sukses mengembalikan kepercayaan
publik sebagai lembaga pembawa aspirasi rakyat. Dalam posisi seperti ini,
parpol masih membutuhkan calon yang mempunyai kekuatan personal. Mereka tidak
akan bisa mengandalkan mesin dan jaringan partai untuk memenangi pilkada
selama figur calonnya tidak kuat secara personal.
Bagi parpol, inilah fase tersulit. Mengusung figur kuat nonkader
berisiko ditinggalkan setelah pilkada selesai. Jika mengusung kader tanpa
mempertimbangkan kekuatan personal calonnya, kemungkinan kalah makin besar.
Tampaknya, parpol masih harus berkompromi dengan memilih calon dengan
kemungkinan punya loyalitas yang cukup terhadap partai pengusungnya. Masih
dibutuhkan waktu untuk mendongkrak kepercayaan publik sehingga dipercaya pula
saat mengusung calon.
Prospektus
Ketika figur masih menjadi andalan dalam proses memenangi
pilkada, kekuatan personal seorang calon menjadi andalan. Personalitas itu
harus diketahui publik. Personalitas dibangun atas dasar rekam jejak. Rekam
jejak yang baik tersebut harus tersebar ke publik. Maka, rekam jejak yang
baik dengan dukungan polesan citra akan menjadi modal besar dalam memenangi
pemilihan. Dalam konteksnya ini, popularitas menjadi syarat awal kandidat
untuk sukses.
Namun, makin maju masyarakat, popularitas saja tidak cukup.
Makin dibutuhkan tambahan alasan rasional dalam memilih. Apa itu? Program
yang ditawarkan. Dalam terminologi korporasi disebut prospektus. Yakni
gambaran tentang profil kota saat ini dan masa depan. Melalui gambaran
tersebut, seseorang bisa memprediksi masa depan perusahaan atau kota itu.
Melalui prospektus perusahaan, seseorang akan memutuskan akan membeli saham
atau tidak.
Ke depan, sebuah kota bisa dibayangkan sebagai perusahaan. Wali
kota atau bupati adalah CEO (chief
executive officer) yang me-manage kota. Dia yang menentukan apakah
kotanya nyaman dihuni, punya prospek ekonomi yang memadai, dan masa depan
yang menjanjikan. Seorang CEO tidak hanya membuat regulasi dan memikirkan
pendapatan. Tapi juga mengelola uang pajak yang dibayar warga untuk mendorong
perputaran ekonomi ke depan. Hanya dengan perputaran ekonomi yang bagus,
warga bisa disejahterakan.
Pemerintah kota tak hanya menjadi pemberi izin dan mengatur tata
kota. Tapi juga memberikan jaminan agar izin itu mempunyai prospek yang
menjanjikan. Orang yang berinvestasi di kota tersebut mau mengeluarkan uang
jika secara bisnis memberikan prospek yang menjanjikan. Contohnya, pemerintah
tak hanya mengobral izin pendirian hotel. Mereka juga bertanggung jawab
bagaimana mendatangkan orang ke kota itu, mengisi jumlah kamar yang tersedia.
Tampaknya, ke depan makin dibutuhkan para kepala daerah yang
CEO. Bisa me-manage sumber daya kota dengan baik, dapat membuat prospektus
yang menggiurkan, dan tentu punya komitmen membangun sistem parpol yang
tepercaya. Dibutuhkan sosok negarawan. Tidak hanya berpikir kesuksesan dalam
memimpin kota. Tapi juga memikirkan kelanjutan sistem politik kotanya. Semoga
ada dan bisa! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar