Pers
dan Kemuliaan Indonesia
Bandung Mawardi ; Pengelola Jagat Abjad Solo
|
SUARA
MERDEKA, 09 Februari 2015
MARCO Kartodikromo mengabarkan bahwa kerja kaum jurnalis
untuk mengobarkan nasionalisme dan menguatkan kemuliaan Indonesia sering
dihajar oleh penguasa. Wartawan mesti bersiap dihukum atau dipenjara. Marco
dalam puisi berjudul ”Awas Kaoem
Djournalist!” dan dimuat di Islam
Bergerak edisi 10 Juni 1918 berseru,
Djournalist haroes bisa
berdiri,/ Sendiri djoega jang keras hati./ Dan tidak boleh main komedi/ Goena
mentjari enak sendiri.// Koran itoe tooneel oempamanja,/ Toean membatja jang
menontonnja,/ Djournalist djadi pemainnja,/ Hoofdredacteur djadi kepalanja.
Wartawan dan koran bergerak demi kepentingan Indonesia.
Sejak mula, wartawan bertugas menggerakkan berita untuk ”kemadjoean” dan
demokrasi. Tahun demi tahun berlalu. Artikel pendek ”Indonesia Moelia” karangan
penulis berinisial DAS, disajikan di koran Api edisi 9 November 1925 bisa
menjadi acuan mengenang Indonesia masa lalu.
Teks itu ”Indonesia
jang dihiasi dengan pelaboehan-pelaboehan, kota-kota, goedang-goedang,
kantor-kantor, gedong-gedong, villa-villa, roemah-roemah, stasion-stasion,
nampaklah jang betoel-betoel Indonesia ada negeri jang kaja dan moelia.”
Kita mungkin kagum, mengenang Indonesia negeri tanpa
derita dan penjajahan. Artikel itu muncul di surat kabar untuk ”kaoem kromo”
alias ”raíjat djelata” di Indonesia. Pemberitaan tentang Indonesia mulia
justru ingin mengingatkan bahwa Indonesia sedang menanggung kolonialisme dan
ingin bergerak menuju ”kemadjoean”. Penulis artikel sadar tentang kemauan
bumiputra harus memuliakan Indonesia, bebas dari dominasi kolonial dan
mengukuhkan adab kemodernan.
Indonesia masih dijajah tapi berita dan artikel terus
disajikan agar orang-orang tergerak untuk memiliki Indonesia. Surat kabar pun
berperan memberi suguhan ide dan imajinasi agar berbiak etos pemuliaan
Indonesia. Kerja wartawan dan penulis artikel menabur berita atau cerita
mengenai nasionalisme, demokrasi, humanisme, dan adab literasi.
Memori itu pantas kembali disajikan saat kita bergerak
dengan cuilan-cuilan peran pers dalam pemuliaan Indonesia, setelah sanggup
membebaskan diri dari kolonialisme.
Kita bisa mengingat penjelasan Adinegoro dalam Falsafah Ratu Dunia
(1949) mengenai pengaruh pers dalam arus kesejarahan dan perkembangan
Indonesia. Adinegoro berkata bahwa ”ratu dunia” itu opini umum, dimunculkan
dan digerakkan oleh pers. Keberadaan pers bermisi untuk ”demokrasi,
kebudajaan, hak asasi manusia, kedaulatan.”
Pada masa 1950-an, koran dan majalah terbit mengabarkan
tema-tema besar: revolusi, demokrasi, korupsi, dan nasionalisme. Kemunculan
puluhan partai dan pengaruh para pejabat membuat pers sering ”berjoget” untuk
bersuara mengacu fakta atau menebar opini umum demi pamrih picisan. Indonesia
telah menjadi negeri bergelimang berita. Agenda pemodernan melenggang dengan
kontribusi pers.
Pers menjadi mata untuk melihat pekerjaan presiden,
menteri, tentara, polisi, pengusaha, seniman, guru, petani, dan buruh. Sejak
1950-an, pemberitaan korupsi perlahan menguak ketidakberesan kerja birokrasi
dan penegakan hukum. Wartawan berkemungkinan memberitakan melalui siasat
investigasi.
Penulis tajuk rencana dan jajaran redaksi mesti sanggup
memberi argumentasi-argumentasi jika berhadapan dengan tindakan represif dari
pemerintah atau pihak-pihak berkepentingan. Peran pers untuk menanggulangi
korupsi tentu berkonsekuensi sanksi atau pemberedelan.
Pada masa 1970-an, kemuliaan Indonesia masih dinodai
korupsi dan demokrasi ilusif. Rezim Orde Baru tak becus membuktikan
janji-janji mengurusi Indonesia secara beradab dan demokratis. Pers tak mau
diam. Wartawan tetap tekun memberitakan pelbagai kasus korupsi. Koran dan
majalah mesti memperhitungkan risiko pemberitaan dan polemik atas editorial.
Kemauan terlibat dalam pemberantasan korupsi dan pemihakan pada pemerintah
menimbulkan perpecahan di kalangan pers.
Tema Besar
Rosihan Anwar (1983) mengenang bahwa gerakan dan
demonstrasi melawan korupsi oleh mahasiswa dan pelajar meningkat pada masa
1970-an. Pemberitaan di pelbagai koran justru ditanggapi kemarahan oleh
Soeharto dan para pejabat. Kita simak tajuk rencana Indonesia Raya edisi 3
Januari 1970, ditulis oleh Mochtar Lubis: ”…tantangan
korupsi jang meradjalela dan perbaikan administrasi negara adalah dua
tantangan jang harus diatasi setjepat mungkin.”
Korupsi jadi tema besar, memusingkan jutaan orang. Para
pejabat bertambah harta, menikmati kehidupan elitis. Jutaan orang memamah
lakon buruk tentang pembangkrutan Indonesia oleh pejabat-pejabat mata duitan.
Kemuliaan Indonesia cuma ungkapan indah saat mata terpejam dan tubuh
berbaring di atas tikar.
Memori-memori itu bersambung dengan situasi Indonesia
mutakhir. Ikhtiar memberantas korupsi berhadapan aksi-aksi berdalih
kehormatan institusi dan persaingan mendapat pejabat.
Kerja melawan korupsi oleh KPK mendapat serangan tak
beradab. Pers turut bersuara lantang melawan korupsi. Seruan kritis
ditanggapi arogansi sekian pejabat negara, polisi, anggota DPR, dan elite
partai politik. Sekarang, kita mengerti bahwa seruan Marco Kartodikromo
sampai Mochtar Lubis memang pantas dianut: pers bekerja melawan arogansi kekuasaan dan korupsi demi kemuliaan
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar