Penyalur
Mobil Tetangga
Hendrik Kawilarang Lurungan ; Wakil Sekjen
Bidang Ekonomi DPP Partai Perindo
|
KORAN
SINDO, 12 Februari 2015
Entah apa yang salah dengan negeri ini. Belum selesai kisruh
KPK-Polri. Sepanjang pekan lalu, publik dikejutkan lagi dengan sikap Presiden
Joko Widodo (Jokowi).
Dalam kunjungan kerjanya ke Malaysia, Jumat (6/2), Jokowi
bersama Perdana Menteri Malaysia Najib Razak menyaksikan penandatanganan MoU
pembuatan mobil nasional. Setidaknya itu terlihat dari spanduk yang
terpampang di belakang mereka. Yang kerja sama adalah PT Proton Holding
Berhad dengan PT Adiperkasa Citra Lestari.
Yang pertama, semua sudah tahu adalah produsen mobil Proton
(kependekan dari Perusahaan Otomotif Nasional). Tapi PT ACL milik orang dekat
Jokowi, AM Hendropriyono, belum sekali pun terdengar kiprahnya di bidang
automotif. Sontak muncul kritik dan protes luas di dalam negeri, terutama kepada
Jokowi.
Tapi tak lama berselang, pemerintah ”meluruskan” bahwa itu bukan
program mobil nasional. Itu hanya kerja sama business to business seperti diungkap Menteri Perindustrian Saleh
Husin dan Menko Perekonomian Sofyan Djalil. Namun, tetap saja kontroversi
berlanjut. Ingatan rakyat kemudian mengarah kepada mobil Esemka, produk anak-anak
sekolah menengah kejuruan (SMK) asal Solo.
Soal Esemka ini sebenarnya Presiden tak boleh lupa. Ketika
Jokowi masih menjabat wali Kota Solo diarak menggunakan mobil Esemka dengan
nopol AD 1 A. Bahkan saat jadi gubernur DKI Jakarta, dia terus melempar mimpi
akan menjadikan Esemka sebagai mobil kebanggaan nasional. Dan, mimpi mobil
nasional ini juga yang membawa Pak Jokowi kini menjabat RI 1.
Namun yang terjadi kemudian, impian itu tinggal mimpi belaka.
Setidaknya hingga kini belum ada kebijakan pemerintah mengembangkan industri
mobil nasional. Kucuran keringat dan semangat anak-anak bangsa (baca: SMK)
rupanya hanya dijadikan kendaraan politik untuk mengangkat citra.
Bukan untuk benar-benar membangun industri mobil nasional.
Kesepakatan itu menyatakan pada tahap awal Malaysia akan mengekspor kendaraan
utuh ke Indonesia. Berikutnya kedua perusahaan akan merakit mobil dan membuat
pabrik komponen di Indonesia. ”Nantinya akan menjadi mobil buatan Indonesia,”
kata Mahathir seperti dikutip Bernama .
Proton Berhad dipimpin bekas orang kuat Malaysia, bekas Perdana
Menteri Mahathir Mohammad. Berdiri sejak 1983, Proton awalnya menggandeng
Mitsubishi (Jepang). Kini perusahaan ini menggandeng Lotus (Inggris).
Mitsubishi dan Lotus memasok mesin. Rangka bodi dan desain dikerjakan Proton.
Proton memang sempat meraih angka produksi satu juta unit pada 1996 dan
mengakuisisi mayoritas saham dari Grup Lotus.
Bahkan pada 2001, dia menguasai pasar automotif Malaysia hingga
mencapai 53%. Tapi sejak Januari 2012, perusahaan kebanggaan Malaysia ini ditake over satu konglomerasi sana,
DRB-HicomBerhad, milikTanSri Syed Mokhtar Albukhary. Musababnya sederhana:
kesulitan keuangan. Mengapa bisa? Rupanya Proton tak lagi berjaya di tanah
airnya. Nama besarnya tergerus kendaraan lokal Malaysia lainnya, Perodua.
Berdasarkan data Malaysian
Automotive Institute (MAI) Review and Insight 2014-2015, pangsa pasar
Perodua mencapai 29% sementara Proton 17,4%. Selama ini Proton memiliki
tempat istimewa di industri automotif Malaysia. Mungkin karena peran Mahathir
Mohammad. Selain disubsidi negara, harga jual Proton jauh lebih murah
dibandingkan kendaraan bermerek nonnasional.
Tapi tetap saja proteksi itu tak membuat Proton tambah bersinar.
Proton juga bisa dibilang gagal meraih pasar di beberapa negara, seperti
Australia, Turki, dan Indonesia. Singkat cerita, Proton tengah meredup.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dijadwalkan berjalan akhir 2015 ini. Dari sekitar
600 juta penduduk ASEAN, Indonesia masih menjadi pasar yang menggiurkan.
Jumlahnya mencapai 50%.
Lebih dari setengah populasi ASEAN adalah penduduk negeri ini.
Jadi wajar di balik itu semua Proton mengincar pasar Indonesia dengan bantuan
pemerintah Jokowi. Sementara itu, soal PT ACL dan Hendropriyono masih
menyimpan tanda tanya. PT ACL tak tercatat sebagai perusahaan automotif.
Alamatnya pun tidak jelas. Tentang Hendropriyono agaknya semua sudah paham.
Dia sempat menjadi komisaris utama PT KIA Motor Indonesia (KMI),
penyalur 12 jenis produk KIA, perusahaan Korea Selatan. KIA adalah singkatan
dari Korean International Automotive atau Korea Industrial Autocar. Atau
dalam bahasa Korea-nya adalah ”Terbit di Asia”. Menurut catatan George Junus Aditjondro,
diperusahaan (PT KMI) ini bergabung anaknya dan anak mantan Menteri
Sekretaris Negara Muladi.
Aditjondro mengulas
sebelumnya KIA dibawa Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) untuk menggarap
mobil nasional. Sedangkan Tommy Soeharto melansir nama Timor (Teknologi
Industri Mobil Rakyat) dengan melibatkan insinyur-insinyur tanah air. Padahal
mobil Timor yang digadang-gadang sebagai mobil nasional waktu itu sebenarnya
hanyalah produk KIA Sephia rakitan 1995.
Entah apa alasannya. Waktu itu sempat turun peraturan pemerintah
yang memberi kelonggaran bisnis putra kesayangan Presiden Soeharto itu, namun
tak berlanjut menyusul krisis ekonomi yang berlanjut pergantian kekuasaan.
Nah, di tengah ketidakpastian itu, Hendropriyono mencari jalan keluar.
Dia mendirikan PT KMI. Upaya ini, menurut Aditjondro, merupakan
langkah strategis Hendro mendekat ke Presiden Megawati Soekarnoputri. Hendro
memang dikenal dekat dengan Mega sejak sebelum reformasi. Seusai masa
kepresidenan Megawati, nasib PT KMI tak terdengar. Distribusi mobil KIA
kemudian diambil alih pusatnya, KIA Motor Company di Korea Selatan.
Definisi mobil nasional sederhana: 100% sahamnya harus dimiliki
dalam negeri, dirakit sepenuhnya oleh insinyur dalam negeri. Apakah sudah
ada? Rupanya belum. Kementerian Perindustrian mengaku belum memiliki roadmap
pembangunan mobil nasional tapi baru roadmap pembinaan automotif nasional.
Membuat—apa yang bisa disebut—mobil nasional sebenarnya mudah.
Mungkin hanya butuh beberapa hari saja. Mengingat di sini banyak
tenaga ahli, desainer, mekanik, teknisi motor, dan lainnya. Tercatat sudah
banyak model mobil nasional yang sudah diciptakan anak negeri kita. Mobnas
kita sudah banyak.
Sebut saja Toyota Kijang, Maleo, MR 90, Kalla Motor, Bakrie Beta
97 MPV, Timor, Bimantara, Kancil, Texmaco Macan, Gang Car, Marlip, Arina,
Tawon, Komodo, GEA, Esemka (yang dipakai sebagai kendaraan dinas Jokowi saat
jadi wali Kota Solo), Texmaco Perkasa, Nuri, Wakaba, Mobil Listrik Ahmadi,
Tucuxi (promotor Dahlan Iskan), dan Mobnas Tenaga Listrik.
Toyota Kijang mulai diproduksi 1974. Desain dan mayoritas
komponennya produksi lokal. Bayangkan Kijang sudah ada sebelum Proton berdiri
(1983). Tapi membangun industri mobil nasional jelas lain masalah. Membuat
satu mobil tidak identik dengan membangun industri mobil. Membangun pabrik
tak sama dengan membangun industri. Dalam industri, ada mata rantai pasokan
dan mata rantai nilai tambah.
Membuat ratusan mobil tidak sama dengan membuat ribuan atau
jutaan mobil. Satu mobil saja pada umumnya terdiri atas 20.000-30.000 parts .
Tidak ada sebuah negara atau sebuah industri automotif membuat 20.000 parts
itu sendirian. Pasti ada mata rantai pemasok atau supply chain.
Di situ diperlukan value
chain, mata rantai nilai tambah secara berjenjang dan bertahap. Tiap
industri membangun mata rantai itu. Muncul istilah mata rantai pasokan. Dalam
konteks ini jelas diperlukan pasokan beragam jenis industri raw material yang berkaitan dengan
mata rantai pasokan. Yang paling utama adalah industri baja dasar. Apakah
kita sudah memilikinya? Semua industri mobil raksasa sudah membangun mata
rantai Global Value Chain yang
menggurita.
Mereka bersaing sekaligus saling bekerjasama. Jepang bekerja
sama dengan Amerika, Jepang dengan Eropa, dan Jepang dengan China. Juga
dengan negara-negara ASEAN. Filipina dan Thailand jadi basis produksi mobil
Ford. Bahkan, Hyundai dan KIA (Korea Selatan) pun berkongsi dengan India.
Dengan peta kekuatan industri mobil global seperti di atas
menjadi mengherankan jika mengapa untuk membuat mobil nasional kita harus
bekerja sama dengan Malaysia. Jika lemah beraliansi dengan lemah, apa bisa
kuat? Belajar dari sejarah, selalu saja pihak Indonesia dijadikan agen
penyalur produk asing, termasuk dalam kasus Proton- PT ACL ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar