Neg
Politik, Obatnya Nonton Sitcom
Azrul Ananda ; Dirut
Jawa Pos Koran
|
JAWA
POS, 04 Februari 2015
RASANYA neg. Rasanya mual. Rasanya kepala ini penuh sesak.
Rasanya ingin marah, tapi nggak tahu harus bagaimana. Rasanya pengin
memaki-maki, tapi sepertinya tidak ada gunanya.
Penyebabnya: membaca berita atau melihat tayangan yang
sekarang sedang ramai. Itu lho, berita politik atau politik-politikan atau
hal-hal yang dipolitikkan.
Aaaaaarrrrrggghhhhhhhh! Menyebalkan!
Untung, saya punya kesukaan yang bisa membantu membuat
pikiran tenang dan memudahkan untuk tidur lebih tenang di malam hari…
Sejak zaman dahulu kala, waktu saya masih usia remaja,
saya sudah punya kesukaan khusus di depan layar kaca, yang sekarang sudah
berevolusi menjadi layar LED.
Kesukaan itu membantu saya jadi lebih rileks (kata orang,
saya termasuk tipe intens) plus membantu saya belajar bahasa Inggris lebih
cepat, khususnya dalam hal listening dan conversation.
Kesukaan ini adalah nonton sitcom alias situation comedy.
Saya benar-benar huge fan nonton sitcom. Waktu kecil sudah
suka nonton Growing Pains, The Cosby Show, atau Fresh Prince of Bel Air.
Tapi, ketika pertukaran pelajar SMA di Amerika, kesukaan itu semakin
menjadi-jadi.
Waktu SMA, kesukaan saya nonton Saved by the Bell, tentang
sekelompok anak SMA dan keseharian mereka di sekolah.
Ketika mulai kuliah, seperti jutaan atau miliaran orang
lain di dunia, saya ngefans berat nonton Friends. Karakter favorit: Joey.
Karena 1990-an (khususnya akhir dekade itu) adalah era emas
sitcom, setiap hari saya dibahagiakan nonton serial-serial yang punya
keunikan masing-masing.
Saya maniak Wings, tentang kakak beradik pilot dan
kehidupan mereka di pulau kecil Nantucket (dekat Boston). Waktu SMA, saya
tinggal dan bersekolah di Ellinwood, Kansas, yang populasinya hanya 2.800
orang. Jadi, sitcom ini membantu saya memahami dinamika kota kecil Amerika,
di mana berita beredar lebih cepat daripada angin berembus (dan waktu itu
belum ada e-mail!).
Saya juga maniak Married… With Children, serial yang
sangat ”komik” tentang Al Bundy, seorang penjual sepatu, dan ”hidup apes”-nya
mendapatkan istri tak bekerja (tapi terus belanja), anak perempuan dungu, dan
anak laki-laki yang selalu horny.
Al selalu menyesali pernikahannya, tapi tak pernah meninggalkan
keluarganya. ”Jangan pernah mencoba memahami perempuan. Para perempuan itu
memahami satu sama lain dan mereka selalu menyindir satu sama lain…” adalah
salah satu kutipan populer Al Bundy.
Ketika makin dewasa dan pola pikir saya makin complicated,
Seinfeld menjadi sitcom favorit. Sebuah serial genius yang bercerita tentang
kehidupan sehari-hari yang sebenarnya sangat biasa (a show about nothing,
klaimnya). Tentang lupa tempat memarkir mobil, ketinggalan pesawat, nonton
TV, makan di restoran, dan hal-hal simpel lainnya.
Sindirannya pun bisa kita terapkan untuk sehari-hari.
Contoh kutipan Jerry Seinfeld, ”Melihat belahan dada (perempuan) itu seperti
melihat matahari. Kita tidak bisa memelototinya, terlalu berisiko. Kita cukup
mendapatkan kesan, lalu menoleh ke arah lain…”
Semua sitcom itu, dulunya, saya rekam satu-satu pakai
kaset VHS (generasi sekarang mungkin tidak tahu ini apa). Selama tujuh tahun
di Amerika, begitu banyak kaset VHS kosong yang saya beli untuk merekam
semuanya.
Teman-teman saya dulu sampai geleng-geleng kepala dengan
kebiasaan itu. Beberapa mantan pacar pun pusing/sebel/ngambek dengan kesukaan
tersebut.
Sampai sekarang, VHS-VHS itu masih tersimpan rapi di rumah
saya di Surabaya. Padahal, video aslinya kemudian juga saya beli, begitu pula
ketika keluar versi VCD dan DVD. Saya bahkan sampai beli dua set untuk
tiap-tiap serial. Satu set untuk ditonton berulang-ulang, satu set lagi
disimpan rapi, tak pernah keluar dari packaging-nya.
Asal tahu saja, saking doyannya nonton dan mengulang-ulang
tontonan itu, saya sampai hafal kata per kata untuk begitu banyak adegan dan
episode…
Belakangan, ada dua sitcom yang berulang-ulang saya
tonton. Sampai harus ada televisi tambahan di rumah supaya istri dan anak
saya tidak terganggu/bosan (dan saya tidak terganggu/bosan dengan tontonan
mereka, wkwkwkwkwk…).
Dua sitcom itu adalah Two and a Half Men serta The Big
Bang Theory. Yang pertama memang dewasa banget. Bermula dari Charlie Harper
(diperankan Charlie Sheen) yang suka main perempuan. Berlanjut dengan Walden
Schmidt (Ashton Kutcher), yang dunianya juga tidak jauh dengan hal-hal
”dewasa banget”.
Tapi, The Big Bang Theory (TBBT) sekarang meroket masuk
daftar favorit saya sepanjang masa. Masuk lima besar saya bersama Wings,
Seinfeld, Married… With Children, dan –tentu saja– Friends.
Bagi yang tidak familier, TBBT bercerita tentang
sekelompok teman yang semuanya scientist (ilmuwan) genius dan punya tetangga
”gadis normal” yang cantik.
Kalau sitcom yang dulu membantu saya memperlancar kemampuan
listening dan conversation, TBBT membantu saya memberi apresiasi terhadap
fisika, kimia, dan pelajaran-pelajaran lain yang dulu sebisa mungkin saya
hindari saat sekolah/kuliah.
TBBT mampu membuat image kutu buku(nerd) jadi keren. Dan
saya adalah seorang nerd besar!
Biasanya, sebelum tidur, saat anak-anak sudah tidur atau
istri sudah tidak nonton TV lagi, saya menekan tombol play dan memutar DVD
sitcom. Kalau pas di Warner TV, Hits, atau channel lain sedang ada sitcom, ya
saya menonton lewat itu.
Kadang tidak nonton sampai habis karena tertidur. Dan saat
saya tidur, TV terus menyala (ini kebiasaan belasan tahun).
Kadang saya tertawa terpingkal-pingkal, kadang saya hanya
cekikikan, kadang saya terus senyum-senyum ketika sitcom itu diputar (sampai
istri saya sangat sering bertanya, ”Apaan sih????”).
Tapi, itu sangat membantu mindset saya jadi tenang dan
terhibur, kemudian bisa tidur dengan tenang.
Sampai akhirnya harus bangun pagi, lalu membaca dan
menonton lagi hal-hal yang bikin nek… ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar