Nalar
Transisi Korupsi
Arifuddin Hamid ; Peneliti
di Center on Policy Innovation, Jakarta;
Pegiat Studi Hukum UI
|
JAWA
POS, 31 Januari 2015
Reformasi yang telah berjalan hampir dua windu
meninggalkan berbagai sengkarut yang tidak saja berada pada lokus empirik,
melainkan juga paradigmatik. Secara empiris, hal ini terlihat dari jumlah
pelaku korupsi yang tidak secara konsisten menunjukkan grafik menurun. Bahkan
tidak ada tanda untuk berakhir. Data dari berbagai institusi menyatakan bahwa
perbuatan koruptif, baik tindak pidana korupsi sendiri sebagaimana diatur
dalam UU 31/1999 dan perubahannya UU 20/2001 (UU Tipikor) maupun pencucian
uang dalam UU 8/2010 (UU TPPU) kian bertambah dari tahun ke tahun.
Sementara secara paradigmatik, banyak elemen bangsa ini
yang masih memakluminya sebagai suatu keniscayaan masa transisi. Terdapat
semacam apalogia, bahwa korupsi belum berakhir karena reformasi baru saja
berjalan kurang dari dua dekade. Apologia serupa kerap dihubungkan secara
historis, dengan menuduh rezim Orde baru melakukan korupsi dengan sedemikian
masif dan sistemik. Terhadap klaim ini, pertanyaan perlu diajukan: kapan masa
transisi ini berakhir?
Menggugat Nalar
Dari sisi teoritik, transisi adalah konsep determinis.
Thomas Carothers (The End of The
Transition Paradigm, 2002) memberikan lima asumsi utama mengenai
paradigma transisi. Pertama, negara yang bergerak menjauh dari
diktatorianisme dapat dianggap sebagai negara yang bertransisi menuju
demokrasi. Kedua, demokratisasi mengarah pada adanya tahapan-tahapan
tertentu, yakni periode keterbukaan ketika demokrasi bertunas dan keterbukaan
politik mulai tampak menggoncang rezim diktator. Kemudian diikuti oleh adanya
terobosan dengan hadirnya pemerintah baru yang dilahirkan oleh pemilihan
secara nasional dan pembentukan struktur institusi demokrasi, yang biasanya
diikuti oleh pengumuman adanya konstitusi yang baru. Perkembangan terakhir
memasuki era konsolidasi, yakni proses dimana bentuk demokrasi berubah
menjadi lebih substantif melalui reformasi institusi-institusi negara,
peraturan mengenai pemilihan, dan penguatan masyarakat sipil, dan secara
menyeluruh adanya habituasi masyarakat ke dalam era demokrasi baru yang
mengedepankan tata aturan yang baku dan diakui bersama.
Ketiga, kepercayaan mengenai penting dan menentukannya
pemilihan. Pada titik ini, para penganjur demokrasi tidak hanya meyakini bahwa pemilihan
sebagai sumber legitimasi pemerintahan selepas era diktatorial, namun
pemilihan juga memperluas dan mempertajam partisipasi politik dan
akuntabilitas demokrasi negara pada warganya. Keempat, kondisi yang mendasari
negara yang sedang dalam masa transisi, baik terkait dengan tingkat perkembangan
ekonominya, sejarah politik, warisan kelembagaan, tradisi sosio kultural,
atau aneka institusi struktural lainnya, bukanlah faktor utama dalam masukan
ataupun keluaran dari proses transisi. Kelima, paradigma transisi berakhir
pada asumsi bahwa transisi demokrasi mencapai gelombang demokrasi ketiga.
Proses demokratisasi kelihatannya mencakup desain ulang institusi-institusi
negara—pembentukan institusi elektoral baru, reformasi parlementarian, dan
reformasi peradilan—tetapi hal tersebut merupakan perubahan bahwa negara
telah berfungsi.
Terhadap determinasi tersebut, kita semua patut merasa
ragu. Hal ini karena secara logis dan empirik, Indonesia telah layak
disematkan sebagai negara demokratis—berakhirnya masa transisi. Dari sisi
hukum, keraguan tersebut ternyata menemukan landasan faktualnya. Berbicara
transisi, tidak dapat dilepaskan dari fakta objektif mengenai prasyarat bagi
cita negara bebas korupsi. Secara konseptual, korupsi dapat diberantas, atau
setidaknya dapat diminimalisir pada kondisi maklum, pada dua sistem
pemerintahan. Di satu sisi, pada sistem pemerintahan otoriter, dengan
kepemimpinan yang kuat, penegakan aturan dapat lebih terjamin. Di sisi lain,
korupsi juga dapat ditekan pada sistem pemerintahan demokratis, dengan sikap
proaktif masyarakat sipil.
Terhadap preposisi pertama, meskipun acapkali meleset,
dapat dibayangkan secara logis. Artinya, keberhasilan tersebut bergantung
pada komitmen penguasa tertinggi, sehingga satuan pemerintahan yang lebih
rendah tidak memiliki ruang gerak untuk melakukan tindak koruptif.
Keberhasilan pada situasi ini juga sangat bergantung pada berjalannya kendali
internal pemerintahan. Sebaliknya pada pemerintahan demokratis, ruang gerak
juga terbatas karena kuatnya pengawasan oleh publik, dengan faktorial transparansi
dan akuntabilitas kepada masyarakat.
Namun sebagaimana adagium hukum, yang konseptual tidak
berjalan paralel dengan fakta empiris. Sejarah bangsa ini justru menemukan
anomali dan paradoksnya sendiri. Pada rezim Orde Baru, korupsi malah terjadi
dengan sedemikian parah, dengan lumpuhnya pengawasan internal. Bahkan
kalaupun aturan ditegakkan, terbatas hanya pada pemerintahan berlevel rendah.
Akibatnya, korupsi berjalan signifikan, dengan kualitas mencengangkan. Tidak
aneh kemudian korupsi yang bersifat oligarkis ini melumpuhkan republik dengan
derajat endemik.
Hal yang sama juga terjadi pada pemerintahan demokratis
pasca reformasi ini. Objektifikasi bagi keberhasilan antikorupsi justru
berlajur simpang. Dengan predikat negara demokrasi terbesar ketiga, yang
pengisian kekuasaannya meniscayakan keterlibatan publik, serta tren kuatnya
masyarakat sipil, korupsi justru tumbuh subur. Dalam bidang ekonomi, negara
ini telah sepakat menempuh jalur liberal yang ditandai oleh rezim devisa
bebas, investasi asing dan beberapa kesepakatan perdagangan bebas regional.
Dengan deretan fakta ini, bagaimana kita menjelaskan Indonesia belum memenuhi
syarat minimal negara demokratis?
Apabila mendasarkan pada tabulasi perkara korupsi yang
dihimpun KPK (per 31 Desember 2014), data perkara korupsi tidak menunjukkan
pola sistematis, bahkan yang ada justru memiliki pola yang acak. Pada
instansi kementerian/ lembaga misalnya, meskipun pada tahun 2014 ini menurun
(26 perkara) ketimbang tahun 2013 (46 perkara), pada pemerintah provinsi
justru trennya menaik (11 perkara pada 2014 dan 4 perkara pada 2013). Data
ini setidaknya menunjukkan bahwa volatilitas korupsi di Indonesia sangat
tinggi. Dari sisi penyelamatan uang negara, KPK hanya mampu mengembalikan
Rp1.21 Triliun ke kas negara selama satu dasawarsa keberadaannya. Dengan
fakta seperti ini, bagaimana demokrasi dapat menjamin pemberantasan korupsi
dapat berlangsung optimal dan berhasil guna?
Pada akhirnya dibutuhkan upaya ekstra dan inovasi taktis
dalam melawan korupsi. Aksi gemuruh yang dilakoni secara kolektif hari ini
justru menyemai persoalan yang jauh lebih pokok dan mendasar. Bahwa demokrasi
sebagai sumber legitimasi pembentukan institusi pejuang antikorupsi, baik di
tataran struktural negara maupun kultural di kalangan masyarakat sipil, harus
dapat menjawab klaim teknokratiknya sendiri yakni demokrasi jauh lebih
efektif dalam mengurangi korupsi (Kolstad
dan Wiig, 2011). Sebab kalau tidak, demokrasi sedang menyimpan bara di
tungku republik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar