Mimpi
PDIP Menyapu Pilkada
Didik Supriyanto ; Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan
Demokrasi (Perludem)
|
KORAN
SINDO, 10 Februari 2015
Presiden Jokowi meminta pemilihan kepala daerah (pilkada)
serentak digelar pada September 2015. Pilkada ini meliputi pemilihan 8
gubernur, 26 wali kota, dan 170 bupati, yang tersebar di 23 provinsi.
Hal ini disampaikan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo seusai
menghadap Presiden di Istana, Rabu (4/2). Permintaan Jokowi ini terasa aneh
di tengah usulan banyak pihak untuk memundurkan jadwal pilkada serentak pada
2016. Seperti diketahui, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu No
1/2014) telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU No 1/2015).
Namun, undang-undang ini tidak bisa langsung
diimplementasikan karena banyaknya materi muatan yang bermasalah: kekosongan
hukum, tumpang tindih, kontradiksi, dan pelanggaran konstitusi. Beberapa
kegiatan dan tahapan diatur berpanjang- panjang sampai seluruh tahapan (tanpa
putaran kedua) membutuhkan waktu 13 bulan sehingga berpotensi menimbulkan
masalah baru.
Oleh karena itu, DPR sepakat untuk merevisi undang-undang
tersebut. Menurut Pasal 201 ayat (1) UU No 1/2015, pemungutan suara serentak
dilakukan pada 2015 bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir
pada 2015. Berdasarkan ketentuan ini, KPU merencanakan pilkada serentak pada
Desember 2015. Jika rencana itu diwujudkan, tahapan pertama pilkada yakni
pendaftaran bakal calon, dimulai pada 26 Februari.
Namun, Komisi II DPR meminta KPU tidak menyiapkan
peraturan- peraturan teknis penyelenggaraan pilkada, termasuk tentang jadwal
tahapan, sampai revisi UU No 1/2015 selesai. Komisi II DPR me-nargetkan
revisi undang-undang akan diketuk pada sidang paripurna DPR pada 17 Februari
nanti.
Terhadap situasi di atas ada beberapa kemungkinan. Jika
DPR dan pemerintah gagal menyepakati revisi UU No 1/ 2015 maka bisa
dipastikan pilkada serentak tidak bisa segera dilaksanakan; jikapun KPU
dipaksa melaksanakan berdasarkan UU No 1/2015 maka akan banyak masalah karena
undang-undangnya tidak bisa diimplementasikan.
Sebaliknya, jika DPR dan pemerintah menyepakati revisi UU
No 1/2015 maka ada dua kemungkinan: pertama, jika waktu tahapan tetap (tidak
direvisi) maka sesuai rencana KPU, tahapan pertama pil-kada dimulai 26
Februari agar pemungutan suara bisa Desember; kedua, jika waktu pendaftaran
bakal calon hingga pemungutan suara diperpendek menjadi enam bulan (seperti
pengalaman pilkada sebelumnya), mengacu rencana KPU (pemungutan suara
Desember 2015) maka tahapan pertama bisa dimulai Juni; sedangkan jika hendak
memenuhi permintaan Presiden (pemungutan suara September 2015), tahapan
pertama mulai Februari.
Salah Informasi?
Katakanlah, revisi UU No 1/2015 benar disahkan pada 17
Februari dan KPU berusaha keras memenuhi permintaan Presiden untuk menggelar
pilkada serentak pada September 2015; maka langkah pertama KPU adalah membuat
peraturan KPU tentang pedoman pelaksanaan teknis pilkada yang jumlahnya
puluhan.
Peraturan ini harus diselesaikan dalam waktu sepekan,
mengingat tahapan pertama pilkada harus dimulai akhir Februari. Masalahnya,
apa mungkin hal itu dilakukan KPU? Jawabannya, tidak! Sebab dalam membuat
peraturan, KPU tidak bisa memutuskan sendiri.
Sebelum disahkan, semua rancangan peraturan harus
dikonsultasikan dengan DPR dan pemerintah. Jadi, permintaan Presiden Jokowi
untuk menggelar pilkada serentak pada September 2015 mustahil bisa dipenuhi.
Sebagai politisi yang sudah tiga kali mengikuti pilkada langsung (dua kali di
Solo dan satu kali di DKI Jakarta), Jokowi mestinya tahu bahwa pelaksanaan
tahapan pilkada tak bisa serta-merta dilakukan begitu undang-undang disahkan.
Butuh waktu untuk penyusunan peraturan teknis,
perencanaan, penganggaran, dan persiapan operasional lain. Namun karena dalam
pilkada keterlibatannya hanya sebatas sebagai calon, mungkin saja Jokowi
tidak paham sepenuhnya tentang manajemen pelaksanaan pilkada tersebut. Oleh
karena itu, saya menduga Jokowi mendapat masukan yang salah dari anak buahnya
sehingga dia meminta agar pilkada serentak digelar pada September 2015.
Di sinilah peran penting Mendagri Tjahjo Kumolo. Sebagai
menteri yang membawahi urusan pemerintah daerah, sudah semestinya dia
mengetahui tentang berbagai macam masalah penyelenggaraan pilkada sehingga
masukan yang disampaikan ke presiden tepat. Rasanya tidak mungkin sebagai
politisi senior yang membidangi politik dan pemerintahan, Tjahjo tidak
memahami kompleksitas penyelenggaraan pilkada serentak.
Saya justru curiga, sebagai mantan sekretaris jenderal
PDIP, Tjahjo menyelipkan kepentingan partai dalam memberi masukan ke Presiden
agar pilkada serentak digelar September 2015. Apalagi, kehendak untuk tidak
menunda pelaksanaan pilkada serentak juga disuarakan dengan keras oleh Fraksi
PDIP di DPR. Tujuannya tidak lain adalah PDIP menang dalam pilkada serentak
nanti.
Tjahjo meyakini bahwa semakin cepat pilkada serentak
digelar, semakin besar peluang partainya memenangkan pilkada di banyak
daerah. Mengapa? Karena Tjahjo dan PDIP percaya kemenangan PDIP dan Jokowi
dalam Pemilu 2014 akan berpengaruh positif terhadap kemenangan dalam pilkada
serentak. Dan, pengaruh itu semakin kuat manakala jadwal pelaksanaan pilkada
serentak lebih dekat dengan jadwal Pemilu 2014.
Mengulang Taktik SBY
Situasi politik menjelang pilkada saat ini hampir sama
dengan lima tahun lalu, pasca Pemilu 2009. Menjelang pilkada gelombang kedua
yang dimulai pada Juni 2010, terjadi kesemrawutan dalam pengaturan teknis,
menyusul berlakunya UU No 12/2008 yang mengubah UU No 32/2004.
Kali ini terdapat silang sengkarut masalah ketersediaan
anggaran, sampai- sampai Komisi II DPR dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi
sepakat untuk memundurkan jadwal ke tahun berikutnya. Namun atas usulan ini,
rupanya Presiden SBY menolak. SBY yang juga ketua dewan penasihat Partai
Demokrat bersikeras agar pilkada dipaksakan tetap sesuai jadwal, mulai Juni
2010.
Bagi SBY dan Partai Demokrat, pelaksanaan pilkada sesuai
jadwal terlihat lebih menguntungkan karena kemenangan Partai Demokrat dan SBY
dalam satu putaran pada Pemilu 2009 akan bisa mengatrol perolehan suara
calon-calon yang didukung Partai Demokrat. Kenyataannya harapan itu jauh
panggang dari api. Jika kali ini Jokowi, Tjahjo Kumolo, dan PDIP menghendaki
pilkada digelar pada September 2015, alasan sebenarnya kurang lebih sama
dengan SBY dan Partai Demokrat lima tahun lalu.
Pelaksanaan pilkada tanpa persiapan matang itulah yang
menyebabkan pilkada gelombang kedua (2010-2013) menurun kualitasnya juga dibandingkan
dengan gelombang pertama (2005-2008). Sebab pokoknya adalah KPU daerah selaku
penyelenggara pilkada diintervensi kepala daerah dengan memainkan politik
anggaran akibat bolong-bolong peraturan yang terkait dengan penyelenggaraan
pilkada.
Karena KPU daerah bekerja dalam tekanan, mereka tidak bisa
melaksanakan tahapan pilkada dengan baik, termasuk mengantisipasi politik
uang dan kecurangan. MahkamahKonstitusi pun kebanjiran perkara sengketa hasil
pilkada.
Permintaan Jokowi, Tjahjo Kumolo, dan PDIP untuk
memaksakan pelaksanaan pilkada serentak pada September 2015, tentu tidak akan
terjadi jika mereka berkaca pada kekacauan pilkada Juni 2010. Apalagi,
kemenangan yang dibayangkan oleh SBY dan Partai Demokrat, juga tidak terjadi.
Dalam hal ini kepentingan bangsa, keselamatan negara, dan
pembangunan demokrasi, mestinya jadi pertimbangan utama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar